Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) bisa jadi peraturan penting yang mendasari perlindungan bagi kelompok yang rentan terhadap pelanggaran seksual. Namun, tampaknya RUU PKS ini masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan DPR.
Kekerasan seksual terus menjadi perhatian oleh khalayak umum. Bagaimana tidak? kekerasan seksual hari demi hari hadir dalam beberapa macam tindakan yang terus berkembang hingga sekarang dan sudah cukup meresahkan keamanan masyarakat.
Dilansir oleh siaran pers yang dikemukakan oleh Komnas Perempuan bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan di Indonesia cenderung meningkat dalam kurun 11 tahun terakhir, dengan catatan kekerasan terhadap perempuan sebanyak 431.471 kasus pada tahun 2019, yang mana angka ini meningkat 693% dari 2008 yang hanya 54.425 kasus.
Angka ini diibaratkan seperti fenomena gunung es yang semakin menjulang tinggi tanpa bentuk antisipasi sehingga kita sebagai masyarakat patut bertanya sejauh mana perlindungan negara bagi masyarakat terhadap kekerasan seksual.
Mayoritas kekerasan seksual terjadi pada pihak perempuan selaku pihak paling terdampak secara fisik dan batiniah terhadap tindakan yang jauh akan kebaikan tersebut, tetapi penulis tidak menampik bahwa kekerasan seksual dapat juga terjadi pada pihak laki-laki juga. Terlebih lagi, tindakan yang mengancam rasa kenyamanan seseorang perempuan kian berkembang dan muncul dari beberapa sumber tempat yang tidak di sangka-sangka, seperti pada ruang lingkup keluarga maupun ruang lingkup digital.
Berdasarkan data yang diuraikan oleh pihak Komnas Perempuan melalui Catatan Tahunan (CATAHU) pada tahun 2020, tindakan kekerasan seksual pada Anak Perempuan melonjak sebanyak 2.341 kasus dan paling banyak berasal dari kasus inses dengan total 571 kasus ataupun kekerasan seksual pada ruang lingkup digital tercatat 281 kasus atau naik sebesar 300% dengan bentuk tindakan berupa ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video tidak seronok korban. Parahnya lagi perempuan disabilitas menjadi salah satu yang terdampak dengan peningkatan kasus 47%.
Kepekaan dan kemampuan pemerintah seharusnya dapat menjawab fenomena maraknya kekerasaan seksual yang terjadi di kalangan masyarakat. Sayangnya, pemerintah ‘sebelah mata’ terhadap kondisi tersebut.
Hal tersebut dibuktikan dengan dipupuskannya harapan masyarakat dengan mencabut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Prolegnas dengan alasan yang bersifat politis, yaitu ‘pembahasannya agak sulit’ ujar oleh salah anggota DPR komisi VIII DPR.
Padahal, semangat dari RUU PKS bermaksud untuk melindungi para korban kekerasan seksual dan menghapuskan segala macam tindakan kekerasan seksual dengan memberikan kepastian hukum dan keadilan, tetapi faktanya yang terjadi di lapangan, DPR selaku wakil rakyat hanya bisa berpolemik tanpa output atau solusi yang baik.
Pembukaan UUD 1945 telah memberikan kewajiban bagi negara untuk dapat melindungi segenap bangsa. Frasa pada pembukaan tersebut harus dapat diartikan secara komprehensif dan luas, bahwa negara berkewajiban untuk dapat memberikan perlindungan bagi seluruh komponen bangsa dari ancaman apapun termasuk perlindungan atas hak bebas dari ancaman kekerasan.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 seharusnya dapat menjadi tolok ukur untuk dapat mempercepat kebijakan hukum yang baik bagi para korban kekerasan seksual, pasal tersebut menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Hingga sekarang korban seksual hanya dapat dihadapkan pada rehabilitasi dan bentuk pengobatan lainnya, dengan tidak terdapatnya suatu Undang-Undang yang bersifat khusus sebagai turunan dari perintah UUD 1945 pencegahan dalam rangka perlindungan terhadap tindakan kekerasan seksual tidak terjadi di kalangan masyarakat, seolah-olah pemerintah serta aparat penegak hukum menunggu bola panas hasil kekerasan seksual.
Rekonstruksi penegakan dan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual sejauh ini hanya melakukan pendekatan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual berdasarkan ketentuan hukum positif yang ada seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan, Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP.
Padahal, kekerasan seksual merupakan perbuatan yang begitu mendalam, karena tidak hanya berdampak pada fisik korban tetapi psikis dan moral korban ikut menjadi korban, sehingga perlu ada pertimbangan lebih lanjut untuk dapat membentuk undang-undang yang lebih komprehensif dan memadai terutama pada pendekatan pemulihan pada korban.
Mengingat korban memiliki hak yang sama dimata hukum (equality before the law) untuk dapat diberikan rehabilitasi atau pemulihan bagi korban. Dalam arti luas, pemulihan tidak hanya mencakup pengobatan berupa medis atau psikis korban. Secara makna dalam arti luas pemulihan dapat berorientasi pada ketiga prinsip yaitu:
- Memenuhi kebutuhan aspirasi korban yang berhubungan dengan pemulihan
- Mengupayakan hak korban atas kebenaran dan keadilan dalam proses pemulihan
- Proses pemulihan yang mencakup aspek kehidupan korban seperti ekonomi, psikologis dan penerimaan masyarakat (multidimensi)
Tidak heran apabila RUU-PKS sangatlah diperlukan pada saat ini untuk dapat menjawab permasalahan kekerasan seksual yang ada. Kekerasan seksual yang terjadi pada saat ini tidak hanya dinilai dengan penegakan hukumnya saja. Perlu payung hukum yang dapat mengakomodir permasalahan yang ada dengan mengedepankan semangat kesetaraan gender dan hak asasi manusia dalam membentuk norma undang-undang.
RUU PKS dalam Menjaga Martabat Hak Perempuan
Perlu diketahui, basis dari pada perempuan dalam aspek kehidupan dapat diibaratkan sebagai sebuah rumah yang patut dijaga dan dilindungi keberadaannya. Sudah menjadi tugas kita bersama untuk dapat mengupayakan cara atau metode tertentu untuk dapat melindungi perempuan dari banyak ancaman.
Peran sentral pemerintah sebagai representasi negara haruslah hadir dengan memberikan langkah solutif dengan tidak melepas nilai-nilai norma sosial, agama dan Pancasila sebagai dasar negara.
Sebagai negara hukum maka diharapkan terdapat langkah konkret dengan membentuk public policy dalam menjaga martabat hak perempuan seperti dibentuknya RUU PKS. Berdasarkan materi muatan yang terdapat pada naskah akademik RUU- KS telah menyertakan tanggung jawab korporasi sebagai salah satu badan hukum untuk dapat memberikan tanggung jawab dalam penghapusan kekerasan seksual.
Menurut penulis, itu sudah merupakan langkah yang bagus dengan melibatkan korporasi sebagai salah satu pilar yang turut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam usaha penghapusan kekerasan seksual. Tidak hanya itu, apabila melihat jangkauan dari RUU PKS pada naskah akademik yang beredar adalah untuk melindungi seluruh warga negara terutama korban kekerasan seksual, yang kebanyakan adalah perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya akibat timpangnya relasi kuasa dan ketidakadilan gender, yang harus mendapat perlindungan dari negara agar terhindar dan terbebas dari setiap bentuk kekerasan seksual.
Hal ini sudah merupakan sisi positif apabila undang-undang penghapusan kekerasan seksual benar-benar dicanangkan sehingga dapat memenuhi hak martabat perempuan sebagai bagian dari komponen kemasyarakatan yang patut disetarakan dan dilindungi serta dijamin hak-hak kehidupannya.
Seharusnya sudah waktunya pemerintah tidak menutup mata terhadap kebutuhan akan suatu undang-undang yang progresif dalam menangani kekerasan seksual yang beredar sekarang ini. Oleh karena itu sudah sepantasnya ‘wakil rakyat’ untuk mementingkan kepentingan hak perempuan sebagai rakyatnya daripada kebisingan politik yang terdapat di parlemen.
Tulisan milik Muhammad Alfarizzi Nur, Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.