Di tengah pandemi virus Corona (Covid-19), pemerintah memutuskan untuk membebaskan ribuan narapidana (napi). Upaya ini dapat menimbulkan residivisme dan berkaitan juga dengan pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
PinterPolitik.com
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) kembali menjadi sorotan publik. Setelah tahun lalu demo besar terjadi pada pertengahan September 2019 disebabkan karena kebijakan pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tahun ini pun Kemenkumham kembali menjadi sorotan setelah Pak Yasonna mengeluarkan kebijakan untuk memberikan asimilasi kepada narapidana (napi).
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi pada Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 dan Keputusan Menkumham Nomor M.HH.19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19,
Hingga 8 April 2020, Kemenkumham telah mengeluarkan 35.676 napi, dengan rincian napi yang dikeluarkan melalui program asimilasi 33.861 dan program integrasi 1.815. Program tersebut dimaksudkan untuk mencegah peneluran Covid-19.
Berbagai negara di dunia pun mengeluarkan kebijakan yang serupa, sebagai contoh, adalah pemerintahan Inggris yang akan membebaskan narapidana dengan sisa masa tahanan kurang dari 2 (dua) bulan. Sementara, Iran sejak Maret lalu telah mengeluarkan 85 ribu napi untuk meredam penularan Covid-19 ini. Jumlah ini merupakan setengah dari total keseluruhan napi di negara tersebut.
Residivisme
Kebijakan tersebut mungkin dapat dikatakan sebagai yang terbaik dari yang terburuk. Mengapa demikian? Harus kita akui bahwa jumlah napi di Indonesia saat ini jumlahnya melebihi kapasitas dari jumlah maksimal napi di penjara.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mencatat bahwa total tahanan dan napi di Indonesia jumlahnya mencapai 271.209 orang – atau setara 106 persen dari kapasitas ruang tahanan. Faktor tersebutlah yang kemudian diambil oleh kemenkumham sebagai upaya pencegahan Covid-19 ini.
Namun, amat disayangkan. Selang beberapa hari setelah dijalankannya kebijakan tersebut, timbul kabar di beberapa wilayah mengenai aksi mantan napi yang kembali berbuat kejahatan.
Bahasa hukum menyebutnya dengan residivis. Secara sempit, residivis diartikan sebagai pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang sama yang telah diputus dengan kekuatan hukum tetap dan pengulangan tersebut dilakukan dalam jangka waktu tertentu.
Kejadian ini yang kemudian menjadi pembicaraan publik. Publik dihadapkan akan ketakutan terhadap ulah napi tersebut. Sementara itu, para napi yang juga merupakan manusia pun berhak untuk kembali ke masyarakat.
Kemudian, muncul lah pertanyaan. Apakah kebijakan tersebut telah tepat? Lantas, bagaimana upaya penanggulangan atas kemunculan fenomena residivis tersebut?
KUHP Saat Ini
Harus diakui bahwa KUHP kita merupakan warisan kolonial Belanda. Nilai-nilai yang dikandung didalamnya pun ada yang telah usang dan tidak sesuai dengan perkembangan maupun roh culture Indonesia.
Mengenai masalah pidana dan pemidanaan, KUHP mengatur pola maksimum dimulai dari 3 (tiga) minggu dan paling tinggi adalah 15 (lima belas) tahun yang dapat mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila ada pemberatan.
Bahkan, mengenai kejahatan ringan seperti halnya maling sandal (untuk saat ini diibaratkan demikian), diancam dengan pidana maksimal tiga minggu.
Secara garis, besar KUHP hanya menganut dua sistem perumusan, yakni perumusan tunggal yang mana hanya diancam 1 (satu) pidana pokok (penjara, kurungan, denda); dan perumusan alternatif yang dimulai dari pidana pokok terberat sampai dengan paling ringan. Penjelasan tersebut kiranya yang menjadi penyebab penjara di Indonesia menjadi overcapacity.
Belum lagi, ditambah dari kasus narkotika, yang mana penerapan Pasal 127 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengenai rehabilitasi masih menjadi angan-angan belaka. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa hanya 1 dari 6 napi narkotika yang menjalani rehabilitasi.
Sebab, ini tidak lain karena adanya bunyi pasal 3 ayat (1) BAB III mengenai pelaksanaan peaturan bersama 7 (tujuh) lembaga negara tentang penganganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi. Pada aturan tersebut, rehabilitasi sifatnya “dapat dilakukan” bukan “wajib dilakukan”. Hal ini yang menjadikan putusan rehabilitasi menjadi lemah.
Melihat hal demikian, wajarlah prisonisasi di penjara semakin masif dan bukan tidak mungkin ketika napi tersebut selesai dalam menjalani hukuman dapat melakukan tindak pidana kembali.
Faktor Kriminogen
Teringat apa yang dikatakan oleh Schultz, beliau menyatakan naik turunnya kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.
Pendapat tersebut membuktikan bahwa hukum pidana merupakan upaya hukum terakhir (umtimum remedium). Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-8 Tahun 1990 di Havana, Kuba, yang kemudian dituangkan dalam dokumen A/CONF.144/L.17 memunculkan pemahaman bahwa aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam pencapaian sasaran strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam konteks pembangunan dan harus diberikan prioritas paling utama.
Dalam dokumen tersebut pun, dijelaskan bahwa kemiskinan, pengagguran, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) hidup, ketimpangan sosial yang tinggi, menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan menjadi penyebab kejahatan tersebut.
Di Indonesia, angka buta huruf berdasarkan data sensus penduduk 2019 untuk usia produktif (15-44 tahun) adalah 0,76%. Sementara itu, jumlah pengangguran di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 5,28%. Angka ini kemungkinan dapat bertambah seiring dengan krisis global akibat pandemi Covid-19 ini.
Yang lebih mencengangkan adalah konflik lahan yang mengalami peningkatan cukup tinggi dari tahun ke tahun. Catatan akhir tahun 2019 merekam adanya 279 kasus dalam satu tahun yang berkaitan dengan konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 734.239,3 hektare. Dari akumulasi konflik itu, disebutkan 109.042 keluarga menjadi korban.
Angka tersebut dapat semakin bertambah seiring dengan krisis Covid -19, pembangunan infrastruktur yang semakin masif, dan, kemungkinan juga, dari Omnibus Law yang saat ini tengah dibahas.
Bila dikaitkan dengan hasil kongres PBB di Kuba dan data yang dijabarkan di atas, kemudian dibenturkan dengan sistem hukum Indonesia (KHUP) saat ini berlaku, serta kebijakan pemasyarakatan lainnya, sangatlah dimungkinkan proses residivisme dapat semakin tinggi bahkan menimbulkan kejahatan baru.
Rancangan KUHP Baru
Terlepas dari pro dan kontra KUHP baru, perlu diketahui bahwa rancangan KUHP ini sudah sejak lama menjadi pembahasan para ahli hukum. Sayangnya, hingga saat ini tarik ulur politik sangatlah kentara. Terlepas dari itu, ada beberapa konsep RUU KUHP yang relevan atas fenomena saat ini.
Pertama, RUU KUHP mengakomodir hakim untuk memberikan maaf kepada terdakwa disebut juga dengan rechterlijk-pardon. Bentuk pemberiaan maaf ini diberikan atas ringannya perbuatan, keadaan pribadi dari terdakwa, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan jahat tersebut atau dampak atas hukuman tersebut.
Kedua, dikenalnya konsep individualisasi pidana yang mana di dalam RUU KUHP akan dikenal adanya proses modifikasi, perubahan/penyesuaian/peninjauan kembali putusan pemidanaan. Hal ini tidak lain untuk memberikan hak kepada si terpidana untuk mendapatkan pengurangan hukuman atas perubahan yang telah dilakukannya.
Sekilas konsep ini sama dengan remisi. Namun, bedanya konsep dalam RUU KUHP ini dapat diajukan oleh keluarga, terpidana, jaksa penuntut umum, atau hakim pengawas serta diajukan setiap 1 (satu) tahun sekali.
Ketiga, dikenalnya konsep pidana kerja sosial untuk pidana yang diancam maksimum 6 (enam) bulan penjara. Ikhtiar-ikhitiar dalam RUU KUHP ini patut menjadi bahan renungan kita atas fenomena residivisme.
Teringat apa yang dikatakan oleh Prof. Sutjipo Rahardjo bahwa hukum untuk manusia, mengingat hukum itu dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya. Untuk itulah, tidak boleh sekali-kali mengabaikan aspek manusia sebagai bagian sentral dari hukum tersebut.
Fenomena residivis dan ketidakterimaan masyarakat terhadap napi sebagai imbas kebijakan Kemenkumham dalam memberikan hak asimilasi dan hak integrasi terhadap napi perlulah menjadi sinyal merah. Kita tidak tahu seberapa sabar dan legowo-nya masyarakat dalam menghadapi situasi demikian – ditambah sikap pemerintah yang seakan plin-plan dalam membuat kebijakan.
Soerkarno berucap, “jangan pernah melupakan sejarah.” Memang begitulah nyatanya. Kejadian saat ini merupakan pengulangan atas kejadian sebelumnya. Namun, beruntung bagi mereka yang mempelajari sejarah karena mereka akan mengerti cara untuk menanggulanginya.
Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat, negara membuat dagelan kembali – menjadikan sebuah nover ber-genre romansa sebagai alat bukti vandalisme. Bukan mengenai masalah vandalismenya, tetapi mengapa buku-buku tersebut dijadikan sebagai barang bukti sedangkan isi dari buku tersebut tidak relevan dengan perbuatan pelaku? Hal ini menandakan pemerintah gagap dan tidak hati-hati dalam menjalankan hukum.
Padahal, di Indonesia sendiri, banyak para akademisi hukum yang sampai saat ini mengumandangkan pembaharuan hukum yang lebih Indosianis dan mengedepankan aspek kemanusiaan. Semoga segera permasalahan yang ada dapat segera teratasi.
Tulisan milik Arrizal Fathurohman Nursalim, alumnus Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.