Site icon PinterPolitik.com

Rasisme Polisi dan #BlackLivesMatter

Rasisme Polisi dan #BlackLivesMatter

Aksi protes #BlackLivesMatter yang terjadi di dekat Gedung Putih pada Juni 2020 lalu. (Foto: CNN)

Situasi sosio-politik Amerika Serikat (AS) sempat diramaikan dengan gerakan #BlackLivesMatter. Mungkinkah akibat rasisme polisi di negara tersebut?


PinterPolitik.com

“They watched George Floyd’s body under the knee of that police officer while he called out for his mama, who has been dead for two years. That does something to people mentally, emotionally.”(Dana R. Fisher, The Guardian, 5 Juni 2020)

Amerika Serikat (AS) sering mengalami gejolak demonstrasi terkait sikap rasisme yang dilakukan aparat kepolisian – dari demonstrasi di Ferguson, Missouri, dan di Baltimore, Maryland yang mendominasi perhatian nasional selama berbulan-bulan selama 2014 dan 2015 hingga demonstrasi nasional yang ada akibat kematian George Floyd atau sering disebut sebagai George Floyd Protests atau protes George Floyd. Kejadian tersebut adalah serangkaian protes yang berlangsung terhadap kebrutalan polisi.

Demonstrasi ini dimulai sebagai protes lokal di wilayah metropolitan Minneapolis-Saint Paul, Minnesota sebelum menyebar ke seluruh Amerika Serikat. Protes dimulai di Minneapolis pada 26 Mei 2020 setelah pembunuhan George Floyd, seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun, di mana Derek Chauvin seorang perwira polisi kulit putih berlutut di leher Floyd selama lebih dari delapan menit saat ditangkap dimana pada akhirnya ia meninggal. Terdapat pula rekan polisi Derek Chauvin saat kejadian, yaitu Alexander Kueng, Thomas Lane, dan Tuo Thao.

Beberapa rekan Derek Chauvin mencoba untuk mengintervensi tindakan chokehold tersebut tetapi tidak digubris. Beberapa bahkan menghalau pendokumentasian yang dilakukan oleh orang yang lewat.

Polisi tersebut pada akhirnya terindikasi melakukan prosedur penangkapan yang salah pada Floyd. Akibat prosedur penangkapan yang salah tersebut, polisi tersebut kemudian divonis oleh pengadilan sebagai tindakan police brutality,yaitu penggunaan kekerasan yang berlebihan yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.

Demonstrasi dengan cepat menyebar ke seluruh AS dan internasional untuk mendukung protes George Floyd yang dilakukan organisasi Black Lives Matter. Tak lama kemudian, AS dikejutkan dengan peristiwa kematian Breonna Taylor.

Demonstrasi dimulai pada 26 Mei di Louisville, Kentucky, atas penembakan Breonna Taylor oleh petugas polisi pada 13 Maret. Demonstrasi menjadi semakin intensif setelah panggilan 911 yang dilakukan pacarnya terkenal di media sosial karena dilakukan di saat setelah tembakan dilepaskan.

Protes atas kematian George Floyd di negara bagian Louisville berlanjut dan korban penembakan polisi berikutnya terhadap David McAtee pada 1 Juni. Demonstrasi yang terkadang berakhir ricuh ini membuat dua belas kota besar mengumumkan jam malam pada malam hari.

Puncaknya adalah pada hari, Sabtu, 30 Mei, dan pada 2 Juni di mana gubernur di 24 negara bagian dan Washington D.C., memanggil National Guard atau Pengawal Nasional dan mengaktifkan lebih dari 17.000 tentara. Dari awal demonstrasi hingga tanggal 3 Juni, setidaknya 11.000 orang telah ditangkap, termasuk keempat petugas polisi yang bertanggung jawab atas penangkapan yang mengakibatkan kematian George Floyd.

#BlackLivesMatter dalam Bayangan Kerusuhan Moral

“To be a Negro in this country and to be relatively conscious, is to be in a rage almost all the time. So that the first problem is how to control that rage so that it won’t destroy you.” (James Baldwin, “The Negro in American Culture”, Cross Currents XI, 1961)

Dalam kasus protes George Floyd, para banyak demonstran yang menggaungkan ide-ide mereka dalam media sosial. Media sosial berperan penting dalam gerakan hak-hak sipil kulit hitam kontemporer dan sangat bergantung pada determinisme teknologi, di mana berhasil mereduksi media sosial sehingga dapat menjadi komponen gerakan struktural.

Salah satu contoh dari peranan media sosial dalam gerakan anti-rasisme adalah tagar #BlackLivesMatter di media sosial Twitter yang dibuat oleh organisasi Black Live Matter. #BlackLivesMatter telah menjadi alat  pemberdayaan politik kulit hitam, budaya, dan intelektual kulit hitam sebagai sumber dinamis dari imajinasi sosial transgresif.

Gerakan Black Lives Matter sendiri telah melakukan protes di Amerika Serikat sejak 2013. Namun, baru pada saat musim panas 2014, gerakan Black Lives Matter telah berkembang menjadi jaringan internasional organisasi akar rumput di lebih dari 30 kota AS dan empat negara di luar AS.

Ungkapan Black Lives Matter mendapatkan perhatian yang lebih besar di masyarakat ketika itu menjadi fondasi pengorganisasian dan slogan protes yang melanda seluruh negara bagian AS setelah kematian Michael Brown, seorang remaja Afrika-Amerika yang tidak bersenjata, oleh seorang polisi kulit putih di Ferguson, Missouri. Gerakan #BlackLivesMatter dapat dipahami melalui model kinerja kolektif, dimana mereka adalah gerakan nyata dan jaringan nyata individu-individu agen.

Akhir-akhir ini demonstrasi protes sering berakhir ricuh akibat kekerasan oleh pihak kepolisian dan adanya pihak yang sengaja merusuh dalam demonstrasi tersebut. Kekerasan oleh pihak kepolisian disebabkan oleh sistem manajemen kepolisian AS yang sangat terfragmentasi.

Kepolisian terbagi oleh per wilayah dan kelompok, bukan kepolisian secara nasional sehingga hukum yang mereka terapkan pun berbeda-beda tiap wilayah. Perintah pun dilakukan sesuai demografi wilayah tersebut. Ini menyebabkan tindakan police brutality banyak dilakukan oleh individu dan kelompok polisi, bukan secara resmi institusi kepolisian itu sendiri.

Beberapa polisi bertindak brutal sementara yang lain mengutuk mereka, bahkan dalam beberapa kejadian memberi penghormatan kepada demonstran dengan berlutut. Di lain sisi, tidak bisa dipungkiri bahwa demonstrasi tersebut telah disusupi dengan perusuh dan penjarah yang menyerang siapa pun yang mereka lihat.

Beberapa demonstran mengatakan mereka ingin menunjukkan kepada pemerintah dan media, yang telah memutar ulang gambar para perusuh yang membakar dan menghancurkan etalase, bahwa protes itu sangat damai dan sebagian besar tidak ingin terlibat dalam kekerasan. Menurut media massa NBC, aktor dari kerusuhan tersebut ialah kelompok White Nationalist.

Mereka sering secara sengaja memprovokasi aparat, membuat kericuhan antara pendemo, hingga menjarah pertokoan. Aksi-aksi yang dilakukan oleh mereka sangat ditentang oleh beberapa ketua wilayah Black Lives Matter.

Jika kegiatan kekerasan ini dilakukan secara terus menerus ditakutkan akan menghilangkan pesan anti-rasisme yang coba digaungkan oleh kelompok tersebut. Beberapa aplikasi media sosial pun mencoba meredam kemungkinan terjadinya kekerasan dengan melakukan penyensoran. Namun di sisi lain, sosiolog Judith Butler mengklaim bahwa setiap upaya penyensoran, legal atau tidak, malah dapat menyebarkan bahasa yang ingin dilarang.

Menjadi Negro: Reformasi Sosial!

“Dapatkah saya merasa aman di rumah sendiri di dunia tanpa melanggar diri saya atau orang lain?” (Judith Butler, Columbia University Lecture)

Menurut Butler, ras hanya digunakan sebagai alat pengidentifikasi, bukan merupakan alat penunjuk perilaku yang dianut oleh orang tersebut. Tidak masuk akal bahwa negara dan sistem hukum tetap sibuk mempertahankan bahwa orang kulit hitam sebagai indikator tingkat keagresifan.

Butler pun menegaskan pula bahwa ras adalah sesuatu yang performatif, di mana ras lebih ditentukan oleh kelakuan, bukan bentuk tubuh. Orang Afrika-Amerika tentu bersikap seperti orang Amerika pada umumnya.

Oleh karena itu, representasi orang kulit hitam di media massa dalam budaya sangat penting untuk menangkal rasisme dengan memberi informasi kepada penonton dan menciptakan model peran kulit hitam yang positif. Menurut Foucault dalam buku Discipline and Punish, ada tiga hal yang dapat menciptakan perubahan sosial, yaitu pengetahuan, kekuatan, dan kekerasan.

Setiap elemen tersebut mendukung penciptaan pengetahuan baru dalam masyarakat, dan hanya melalui penciptaan pengetahuan baru kita dapat berharap untuk mendorong perubahan sosial. Dari awal perjuangan yang dilakukan oleh berbagai generasi seperti Malcolm X, Rosa Parks, dan Martin Luther King yang mendorong protes dilakukan berbasis gerejawi dengan struktur organisasi yang rumit hingga Black Live Matter, sebuah gerakan berbasis daring tanpa struktur organisasi yang jelas tentu telah mengubah gaya aktivisme anti-rasisme di Amerika.

Hal ini semakin ditegaskan oleh masyarakat Kulit Hitam yang terpaksa mempertanyakan dengan keras bagaimana politik visibilitas dan representasi media mempengaruhi penciptaan pengetahuan terhadap mereka. Dengan jaminan Amandemen Pertama Konstitusi Amerika, tentu perubahan sosial akan terjadi cepat atau lambat.

Namun, pertanyaan apakah akan dilakukan dengan kekerasan atau tidak ada di tangan masyarakat AS sendiri?  Ini adalah demokrasi AS.

Tulisan milik Alexander Ryusandi Pratama, Mahasiswa Sosiologi di Universitas Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version