Site icon PinterPolitik.com

Puan vs Pelosi: Kompetensi atau Afirmasi?

Puan vs Pelosi Kompetensi atau Afirmasi

Ketua DPR Puan Maharani berpose bersama anggota-anggota DPR Fraksi PDIP pada pagelaran pelantikan DPR, MPR, DPD RI pada awal Oktober 2019. (Foto: Antara)

Puan Maharani terpilih menjadi Ketua DPR Periode 2019-2024 pada awal Oktober lalu. Apakah terpilihnya Puan melambangkan representasi perempuan di parlemen? Apakah Puan terpilih dengan dasar kompetensi atau sebatas afirmasi?


PinterPolitik.com

Terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI 2019-2024 membawa angin segar sekaligus progres dalam perjalanan panjang menuju kesetaraan gender dalam bentuk keterwakilan perempuan di dalam politik Indonesia. Puan terpilih sebagai Ketua DPR RI periode 2019-2024 melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) pasca-revisi. Perwakilan yang ditunjuk dari partai pemenang pemilu urutan pertama akan menjadi ketua, serta urutan dua sampai lima akan menempati posisi wakil ketua.

Saat ini, keterwakilan perempuan di DPR RI dari 575 anggota yang terpilih periode 2019-2024 adalah sebanyak 118 kursi (20,52%). Sebelumnya, anggota legislatif perempuan di DPR RI (periode 2014-2019)  adalah sebanyak 19,8%. Angka tersebut masih terbilang cukup jauh untuk mencapai jumlah yang ditargetkan yaitu 30% dari keseluruhan anggota DPR RI.

Meski demikian, progres tetaplah progres. Setiap langkah tetap terhitung. Lantas, apakah Puan mendapatkan jabatan tersebut atas dasar kompetensi atau hanya sekadar ‘titipan’ belaka? Apa lesson-learned yang dapat diambil dari terpilihnya Puan sebagai Ketua DPR RI perempuan pertama?

Di satu sisi, hal tersebut dapat mengindikasikan langgengnya oligark-oligark dan politik dinasti – sebagai bagian dari trah Soekarno – yang melekat kuat pada Puan sehingga jabatan tersebut sudah dipastikan ‘reserved’ dengan aman untuknya. Namun, terpilihnya Puan juga bisa menandakan kemajuan partisipasi dan representasi perempuan dalam politik di Indonesia.

Secara teoretis, kita dapat memahami fenomena ini melalui teori politics of presence. Politics of presence merupakan teori milik Anne Phillips (1998) yang menyatakan bahwa, umumnya, keterwakilan politik hanya diwujudkan dalam bentuk gagasan (politics of idea) tetapi, pada akhirnya, para wakil rakyat akan mengutamakan gagasan yang lekat dengan identitas dirinya, seperti jenis kelamin dan gender.

Artinya, apabila perempuan menginginkan suara dan kebutuhannya terakomodasi dalam parlemen, maka harus hadir pula perwakilan perempuan secara deskriptif sebagai representasi kelompok perempuan.

Mari kita bandingkan Puan dengan Nancy Pelosi sebagai Speaker of the House dalam Kongres Amerika Serikat ke-116. Kongres AS berisikan Senat sebagai majelis tinggi dan House of Representatives sebagai majelis rendah. Masa bakti Kongres ke-116 terhitung sejak tanggal 3 Januari 2019 hingga 3 Januari 2021.

Speaker of the House sendiri dipilih melalui mekanisme roll call vote di mana seluruh anggota House of Representatives menjawab “ya” atau “tidak” ketika nama calon speaker disebut oleh juru tulis. Pemegang jabatan tersebut nantinya dipilih kembali setelah pemilihan umum dan permulaan Kongres yang dilaksanakan per dua tahun atau saat speaker petahana meninggal.

Pada 3 Januari lalu, dengan komposisi 430 anggota hadir dari total 434 anggota House of Representatives (235 Demokrat dan 199 Republikan), Pelosi (Demokrat) berhasil memenangkan 220 suara, lebih besar dari oposannya, Kevin McCarthy (Republik) yang mendapat 192 suara. Dari mekanisme pemilihannya pun, sudah terlihat perbedaan Puan yang ditunjuk (selected) dengan Pelosi yang memperoleh jabatan itu melalui pemilihan (elected).

Pada periode ini, untuk pertama kalinya Kongres AS memiliki diversitas tinggi dalam hal identitas unsur-unsur di dalamnya – baik dari segi ras, etnis, agama, maupun jenis kelamin. Sebanyak 116 wakil dalam Kongres saat ini adalah orang-orang non-white dan sebanyak 127 wakil dalam Kongres adalah perempuan, dengan komposisi 25 orang di Senat dan 102 orang di House of Representatives.

Dalam poll nasional yang dibuat oleh Quinnipiac University, Connecticut, yang dirilis 29 Januari 2019 silam, tercermin bahwa pemilih AS lebih mempercayai Pelosi daripada Trump dalam isu-isu penting dengan persentase 49% versus 42%. Pemilih independen lebih mempercayai Pelosi daripada Trump dengan persentase 49% versus 36%.

Poll ini diisi oleh 1.004 pendaftar yang mengidentifikasikan mereka dalam kelompok partisan tertentu, yakni Republikan (26%), Demokrat (30%), Independen (37%), dan lain-lain (7%). Dalam poll ini, terdapat celah (gap) gender, ras, dan partisan.

Laki-laki sebanyak 48% percaya Trump dan 42% percaya Pelosi. Perempuan percaya Pelosi 54% dan 37% percaya Trump. White voters (kulit putih) sebanyak 52% percaya Trump dan 42% percaya Pelosi. Black voters yang memihak Pelosi sebanyak 82% versus 2% Trump, dan Hispanic voters yang percaya Pelosi sebanyak 62% versus 27% Trump. Republikan yang percaya Trump sebesar 88% versus 6% dan Demokrat yang mendukung Pelosi sebesar 91% versus 5% untuk Trump.

Meski dapat dibilang, AS bukan contoh ideal untuk menggambarkan kesetaraan gender (dalam hal jumlah wakil perempuan) di parlemen tetapi keberadaan Pelosi dan data mengenai tingkat kepercayaan warga AS terhadap Pelosi cukup melegitimasi bahwa perempuan mampu bersaing berdasarkan merit.

Iklim politik demokrasi liberal memang memungkinkan kesempatan bagi semua orang, baik itu laki-laki atau perempuan, untuk saling berkompetisi murni berdasarkan merit dan kapasitas diri. Kita tidak dapat menafikan fakta bahwa hal tersebut berpotensi untuk mereduksi kesempatan kelompok-kelompok yang kurang memiliki privilese tertentu (underprivileged) yang melekat atau inherited.

Sebagai contoh, orang-orang disabilitas atau perempuan. Perempuan sering kali dinomor-duakan sebab nature (faktor biologis) dan nurture (pengalaman yang diperoleh semasa hidup) yang secara khusus dimiliki perempuan menjadi hambatan untuk terjun ke ranah publik layaknya politik.

Hal-hal seperti ini yang kemudian menjadikan “demokrasi” liberal pada akhirnya tidak sepenuhnya demokratis maupun akomodatif. Sebab, masih terdapat kelompok-kelompok yang kekurangan akses atau bahkan kurang terepresentasi dan teradvokasi kebutuhan-kebutuhan khususnya.

Anggapan ini dijustifikasi oleh tesis Arend Lijphart yang berbunyi “majority rule is not only undemocratic but also dangerous, because minorities that are continually denied access to power will feel excluded and discriminated against and will lose their allegiance to the regime.”

Untuk saat ini, kita hanya perlu memantau bersama dan melanjutkan proses checks and balances sepanjang lima tahun ke depan, guna membuktikan apakah keterwakilan perempuan oleh Puan sudah cukup substansial, dalam artian secara kompetensi ia sudah mumpuni dan pada akhirnya mendapatkan kepercayaan tinggi dari rakyat, atau keterwakilan ini hanya bersifat prosedural dan deskriptif belaka.

Tulisan milik Zakia Shafira, mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version