Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau omnibus law telah disahkan dan diteken pemerintah. Namun, dalam prosesnya, UU satu ini bisa saja memberikan preseden buruk.
Diskursus omnibus law telah mencuat di tengah masyarakat Indonesia sejak proses kampanye petahana Joko Widodo (Jokowi) yang menyebutkan akan membuat suatu produk hukum yang besar untuk membereskan permasalahan investasi di Indonesia. Niat itu kemudian diaktualisasikan pada tanggal 22 Januari 2020 ketika DPR RI mengesahkan program legislasi nasional prioritas tahun 2020 yang berisi 50 rancangan undang-undang. Empat di antaranya membawa tajuk omnibus law, yaitu RUU Cipta Kerja, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara.
Tajuk omnibus law memang menarik perhatian berbagai kalangan masyarakat – khususnya di kalangan akademisi hukum yang menganggap pengadopsian omnibus law sebagai langkah terbaru yang diusung pemerintah dengan tujuan simplifikasi peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengatur perihal penggunaan teknik omnibus law dalam pembentukan undang-undang di Indonesia. Hal ini seakan sebagai langkah baru untuk mengadopsi teknik baru pembentukan undang-undang lewat omnibus law yang biasa digunakan di negara yang menganut sistem common law.
Penggunaan tajuk omnibus law pada akhirnya membentuk diskursus yang luas di masyarakat tatkala pemerintah melalui Menko Perekonomian menyerahkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR RI pada 12 Februari 2020. Saat itulah mulai muncul pandangan-pandangan mengenai pengimplementasian omnibus law di Indonesia dari berbagai macam forum diskusi yang diselenggarakan oleh banyak kelompok masyarakat.
Hingga akhirnya, omnibus law pertama – UU Cipta Kerja – resmi disahkan oleh DPR pada rapat paripurna tanggal 5 Oktober 2020. Hal ini tentu menimbulkan berbagai macam respons dari berbagai kelompok masyarakat, khususnya berupa penolakan karena dirasa melanggar ketentuan formil pembentukan undang-undang. Pandangan tersebut akan mengganggu keberhasilan penggunaan teknik omnibus law versi DPR dan Pemerintah, malah akan menjadi preseden buruk tatkala akan ada pembentukan undang-undang yang menggunakan teknik omnibus law lagi.
Single Subject Clause Rule dan Omnibus Law
Danierl N. Boger dalam tulisannya yang berjudul “Constitutional Avoidance: The Single Subject Rule as an Interpretive Principle” menyebutkan bahwa single subject clause rule mengharuskan suatu undang-undang hanya mengatur satu subjek pengaturan saja. Artinya, konsep tersebut melarang suatu undang-undang mengatur berbagai macam subjek.
Richard Briffault dalam tulisannya yang berjudul “The Single Subject Clause Rule: A State Constitutional Dilemma” menyatakan setidaknya ada tiga tujuan dari diterapkannya single subject rule, yaitu (1) mencegah praktik log-rolling, yaitu praktik politik di mana legislator saling bertukar bantuan dengan mendukung suatu undang-undang yang lain; (2) menghilangkan praktik “riders” yaitu menyertakan ketentuan yang tidak dikehendaki publik sehingga ketentuan tersebut turut disahkan, dan; (3) meningkatkan transparansi bagi masyarakat dan parlemen.
Secara sekilas, konsep single subject rule seakan memiliki perbedaan konsep dengan omnibus law, di mana Fachri Bachmid dikutip dari tulisan Agnes Fitryantica yang berjudul “Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan di Indonesia melalui Konsep Omnibus Law” misalnya mengatakan bahwa omnibus law merupakan suatu konsep produk hukum yang berfungsi untuk mengonsolidasi berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan perundang-undangan pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan holistik.
Terdapat beberapa alasan pada akhirnya mengapa para legislator menggunakan teknik omnibus law dalam membentuk undang-undang. Louis Massicotte misalnya dalam tulisannya yang berjudul “Omnibus Bill in Theory and Practice” menyebutkan ada dua alasan. Pertama, hal ini dikarenakan terjadi negosiasi kompleks dari masing-masing orientasi legislator.
Selain itu, teknik omnibus law membuat pemerintah dapat memangkas waktu dan prosedur legislatif dalam membentuk undang-undang. Kedua, praktik ini ditujukan untuk menggalang dukungan publik pada suatu undang-undang, sehingga menekan golongan oposisi untuk tunduk pada agenda pemerintah.
Dari definisi dan alasan penggunaan teknik omnibus law, dapat diakui bahwa akhirnya mencampuradukkan berbagai macam subjek pengaturan akan mendukung tujuan dari pemberlakuan teknik omnibus law, yaitu untuk menyederhanakan proses legislasi di parlemen. Namun, hal ini perlu dilakukan secara bijak, mengingat dengan luasnya subjek pengaturan, tentu akan menciptakan kekhawatiran seperti adanya praktik log-rolling dan praktik riders dalam pembentukan undang-undang.
Contoh bijak dapat dilihat pada praktik penggunaan teknik omnibus law di Amerika Serikat (AS). Walaupun pemerintah federal tidak mengatur secara spesifik penggunaan single subject clause rules, tapi beberapa negara bagian dalam mengatur penggunaan single subject clause rules yang juga diharmonisasi dengan penggunaan teknik omnibus law.
Senat Negara Bagian Minnesota, misalnya, menyatakan agar single subject clause rules dalam praktiknya harmonis dengan teknik omnibus law, harus mengikuti kebijakan sebagai berikut (1) ketentuan yang termasuk dalam rancangan omnibus law saling terikat satu sama lain; dan (2) judul rancangan omnibus law tersebut cukup untuk merepresentasikan ketentuan yang diatur di dalamnya.
Preseden yang Buruk
Terlalu terburu-burunya DPR dan Pemerintah dalam mengesahkan UU Cipta Kerja yang dikenal dalam tajuk omnibus law tentu akan menimbulkan efek yang buruk tatkala akan membentuk undang-undang dengan teknik omnibus law lagi. Banyak ahli yang menyoroti proses formil pembentukan UU Cipta Kerja.
Salah satunya adalah Prof. Susi Dwi Harijanti. Dalam Konferensi Pers yang diselenggarakan YLBHI pada 22 April 2020, Prof. Susi menyoroti pembentukan omnibus law cipta kerja melanggar ketentuan asas keterbukaan sebagaimana tercantum dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pengadopsian sebuah teknik dalam suatu tatanan hukum memang lazim dilakukan. Apalagi dengan kemajuan teknologi dan komunikasi dalam bingkai globalisasi, proses saling belajar antar negara pasti terjadi sehingga malah menunjukkan adanya konvergensi dalam sistem hukum.
Pengadopsian teknik omnibus law dalam pembentukan undang-undang di Indonesia adalah suatu bentuk learning process dalam simplifikasi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Saat ini, perlu diakui jumlah peraturan di Indonesia sangat banyak.
Wicipto Setiadi dalam tulisannya yang berjudul “Simplifikasi Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha” menyebutkan jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia mencapai 40.903 yang dibentuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini justru menimbulkan potensi efisiensi regulasi yang bermuara pada banyaknya peraturan yang tumpang tindih.
Teknik omnibus law dapat menjadi salah satu alternatif dalam mewujudkan simplifikasi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, ketelitian dan kesabaran DPR dan Pemerintah sebagai dua kekuasaan yang dapat membentuk undang-undang akan sangat diuji dalam mempraktikkan teknik omnibus law dalam segi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Salah satunya adalah dengan melegalkan penggunaan teknik omnibus law dalam UU Pembentukan Perundang-undangan. Hal ini dilakukan agar pembuat undang-undang mengetahui batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam menggunakan teknik omnibus law.
Hal demikian harus dilakukan secara sungguh-sungguh agar teknik omnibus law dapat menjadi jawaban akan permasalahan simplifikasi peraturan perundang-undangan. Apabila tidak, tentu teknik omnibus law akan menjadi preseden buruk dalam pembentukan undang-undang di Indonesia karena akan berpotensi memunculkan praktik log-rolling dan praktik riders di dapur parlemen, dan yang paling berbahaya akan memunculkan ketidakpercayaan masyarakat sipil dalam pembentukan undang-undang yang menggunakan teknik omnibus law.
Tulisan milik Hario Danang Pambudhi, Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.