HomeRuang PublikPotensi Masalah Kampanye di Sekolah

Potensi Masalah Kampanye di Sekolah


Oleh Agus Sutisna

PinterPolitik.com

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa kampanye pemilu dapat dilakukan di fasilitas pemerintah dan lembaga pendidikan (sekolah dan kampus). Ketentuan ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa, 15 Agustus 2023 lalu.

Putusan MK tersebut menjawab permohonan uji materi (judicial review) yang diajukan oleh Handrey Mantiri dan Ong Yenni, yang menilai ada inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Di dalam Pasal 280 ayat 1 huruf h UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diatur bahwa kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah dilarang. Namun dalam bagian Penjelasan UU ini memberikan kelonggaran terkait larangan tersebut.

Teks pengaturan pelonggaran itu berbunyi, bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Ketentuan itu terkesan ambigu.

Dengan putusan MK tadi ambiguitas itu clear sudah. Kampanye pemilu di gedung atau area milik pemerintah dan lembaga pendidikan diperbolehkan. Namun demikian tetap ada syarat, yakni kegiatan kampanye itu dapat dilakukan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.

Oleh karena putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding), tidak dapat ditawar, maka KPU wajib segera merespons dan menindaklanjutinya dengan merevisi Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu yang memang melarang kampanye dilakukan di fasilitas pemerintah dan lembaga pendidikan.

Revisi pengaturan teknis yang dilakukan tentu harus sangat hati-hati dan bijak, menimbang berbagai potensi maslahat dan mudhoratnya, serta memastikan perlakuan adil dan setara terhadap peserta pemilu dapat diwujudkan.

Potensi Masalah

Kampanye pemilu di dalam fasilitas (halaman/gedung) milik pemerintah dan lembaga pendidikan (sekolah, pesantren, kampus) sebetulnya sudah lama menjadi bahan perdebatan. Pangkal sebabnya bermuara pada kekhawatiran bahwa hal ini akan lebih banyak menimbulkan masalah dan kemudhoratan, meski dilakukan dengan syarat harus dapat izin dari otoritas pengelola dan tidak membawa atribut kampanye.

Jika kasusnya di sekolah misalnya, alih-alih memberikan pendidikan politik yang sehat, kampanye pemilu justru dikhawatirkan dapat melahirkan efek negatif bagi para siswa yang secara psiko-politik boleh jadi belum siap menerima berbagai kebiasaan dan perilaku kampanye politik, yang kerap mempertontonkan nuansa konflik, saling serang, dan saling hujat.

Isu kekhawatiran lain berkenaan dengan munculnya perlakukan tidak adil dan setara terhadap peserta pemilu, karena misalnya otoritas sekolah-sekolah tertentu memiliki afiliasi dengan peserta pemilu. Potensi perlakuan tidak adil dan setara ini akan sangat besar jika kampanye dilakukan di sekolah-sekolah.

Tidak tertutup kemungkinan otoritas sekolah-sekolah negeri akan berlaku diskriminatif terhadap peserta pemilu (partai politik maupun pasangan capres-cawapres) karena ada kooptasi atau instruksi terselubung dari pemerintah melalui jaringan birokrasinya.

Kekhawatiran perlakuan diskriminatif ini juga potensial bisa terjadi ketika kampanye dilakukan di dalam/area fasilitas milik pemerintah, khususnya untuk kampanye pilpres.

Kita tahu meski Jokowi sebagai Presiden tidak akan menjadi peserta pemilu lagi karena konstitusi membatasi masa jabatannya, namun seperti yang dapat dicermati setiap hari, Jokowi memiliki kecenderungan mengendors figur-figur tertentu bakal calon presiden, dan beliau masih akan menjabat (artinya memimpin pemerintahan) hingga pemilu usai digelar nanti.

Selain soal potensi diskriminatif, dikhawatirkan kampanye di kampus yang dihadiri ratusan atau bahkan ribuan  mahasiswa  yang heterogen bisa memicu konflik internal di kalangan civitas akademika, mengingat afiliasi dan arah dukungan yang pasti sangat beragam.

Dengan demikian kampus menjadi tidak kondusif sebagai area akademik dan ruang di mana para intelektual bekerja, yang secara moral harus independen dan menjaga jarak yang sama terhadap para kontestan pemilu.

Namun begitu, sekali lagi, putusan MK itu bersifat final dan mengikat, tak bisa ditawar. Ia harus dilaksanakan. Maka pilihannya sekarang hanya dua.

Pertama, KPU sebagai penyelenggara sekaligus regulator teknis kepemiluan, dalam merevisi PKPU 15/2023 sungguh-sungguh mengkalkulasi secara cermat, bijak, dan menimbang segala aspek teknis yang bakal diatur lebih lanjut secara matang untuk memastikan sisi maslahat lebih besar ketimbang sisi mudhorat dan memastikan regulasi teknis itu menjamin perlakukan yang adil dan setara.

Kedua, Bawaslu sebagai pengawas seluruh tahapan pemilu bekerja maksimal dan profesional dalam mengawasi kegiatan kampanye di fasilitas pemerintah dan lembaga pendidikan dengan dasar prinsip-prinsip elektoral yang sama, khususnya terkait perlakuan yang adil dan setara terhadap peserta pemilu.

Artikel ini ditulis oleh Agus Sutisna

Agus Sutisna adalah Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...