Site icon PinterPolitik.com

Popularitas Tinggi Bukan Jaminan Keterpilihan

Popularitas Tinggi Bukan Jaminan Keterpilihan

Foto: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Oleh Nasarudin Sili Luli, Direktur Eksekutif NSL Political Consultant & Strategic Campaign


PinterPolitik.com

Jalan-jalan ibu kota mulai dipenuhi berbagai reklame para politikus. Perjalanan menuju pemilihan presiden 2024 sudah dimulai. Mereka yang berambisi maju mencalonkan diri mulai membangun popularitas, mengingat perjalanan menjadi calon presiden harus melewati seleksi di level partai dulu. Mereka yang tidak memiliki elektabilitas yang tinggi akan sulit dicalonkan oleh partai politik.

Beberapa selentingan mengenai bagaimana elektabilitas bisa menekan biaya mahar untuk dicalonkan pun bertebaran. Walaupun masih butuh diklarifikasi kebenarannya, namun elektabilitas sebagai syarat untuk dicalonkan tampak begitu masuk akal.

Atas alasan ini pula para politikus menggelontorkan pundi-pundi uang yang gosipnya, beberapa dari mereka mengeluarkan tidak kurang dari Rp1 triliun untuk upaya membangun popularitas ini.

Terlepas dari kabar itu, patut kita ajukan pertanyaan, apakah popularitas cukup?

Popularitas Bukan Segalanya

Lihatlah bagaimana popularitas atau dalam terminologi marketing sering disebut dengan brand awareness ternyata tidak cukup membawa beberapa nama seperti Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Wiranto, dan Amien Rais ke tampuk kepemimpinan tertinggi negeri ini.

Jawabannya tentu saja karena popularitas tidak selalu cukup untuk mendongkrak elektabilitas. Popularitas atau brand awareness memang dipercaya bisa membantu. Bayangkan saja, bagaimana mungkin kita memilih sebuah brand ketika kita bahkan tidak mengingat brand itu ada.

Belum lagi ada fenomena the mere-exposure effect, yaitu kecenderungan kita untuk memilih sesuatu yang lebih familiar untuk kita. Ini karena familiarity secara bawah sadar memberi kita “rasa aman”.

Memilih sesuatu yang tidak kita kenal padahal ada opsi yang kita kenal menciptakan kekhawatiran, kecuali jika opsi yang dikenal memiliki persepsi yang tidak baik di benak kita. Dari sini saja sudah terbukti bahwa menjadi dikenal itu tidak cukup, tapi sebagai apa dan bagaimana kita dikenal itu jauh lebih penting.

Maka dari itu, walaupun awareness/popularity itu penting, tapi tidak cukup untuk membangun desirability (kebutuhan target pasar). Bagi politikus dan marketers yang berkocek tipis, bersaing dengan mereka yang berkocek tebal memang menyebalkan. Karena suka atau tidak, awareness memang bisa dibeli.

 Lihatlah Meikarta yang beberapa tahun lalu memborong ribuan reklame di berbagai kota. Begitu juga koran, setiap harinya ada 5 halaman iklan penuh dikuasai oleh Meikarta. Dan memang benar dari sana Meikarta banyak meraup penjualan.

Tapi, apakah semua yang saat itu sedang mencari properti dan pengenalan tentang Meikarta berakhir dengan membelinya? Rasanya tidak. Uang memang bisa membeli eksposur, namun tidak selalu bisa membeli ketertarikan. Uang bisa membeli awareness tapi tidak selalu bisa memberi cinta.

Membangun popularitas atau brand awareness, baik untuk tokoh politik, partai politik maupun untuk commercial brand adalah tentang upaya lebih dari sekadar membangun awareness. Konsep brand equity (nilai merek) itu sendiri bukan sekadar awareness, tapi ada beberapa faktor lain seperti consideration, uniqueness, emotional aspect, value, dan bahkan premiumness.

Faktor terakhir ini, premiumness, sering menjadi satu indikator untuk menguji seberapa kuat brand kita. Ini adalah tentang seberapa kita masih mau membeli sebuah brand, bahkan ketika harganya lebih tinggi. Ini adalah tentang bagaimana kita mau memilih pasangan, bahkan walaupun harus menjalani hidup sederhana. Ini adalah tentang bagaimana kita masih mau memilih tokoh politik tertentu, bahkan ketika ada “biayanya”.

Ini Soal Hati

Kembali lagi, ketika hati sudah bicara maka segala hitung-hitungan logis otak pun akan mengalah. Kurang lebih dua puluh tahun lalu muncul buku berjudul The Fall of Advertising and the Rise of PR.

Ini menandai menurunnya dampak iklan sebagai materi propaganda yang orkestrasinya dilakukan oleh pemilik brand sehingga autentisitasnya dipertanyakan. Sementara public relation yang cenderung memanfaatkan pihak ketiga mendapat tempat lebih baik karena terkesan bebas dari fabrikasi sang pemilik brand.

Sepuluh tahun belakangan ini kita pun kembali dikagetkan dengan the power of social media. Hari ini, menjadi viral adalah impian semua brand, komersial, politik, maupun perorangan. Menjadi viral memvalidasi ketertarikan orang terhadap cerita yang kita ciptakan, sengaja atau tidak dan atas dasar itu mereka membagikan cerita itu kepada jaringannya.

Awareness pun terbangun secara organik sehingga memiliki kualitas yang baik.  Berbagai argumen di atas membuktikan bahwa walaupun awareness bisa dibeli dan sebegitu penting, namun cerita apa yang dibangun sering kali menjadi lebih menentukan ketimbang pundi-pundi rupiah yang kita gelontorkan untuk memborong reklame.

Popularitas bukan sekadar adu banyak reklame, tapi tentang adu menarik cerita. Ribuan reklame hanya akan menciptakan pengenalan tanpa makna. Dan oleh karena itu, ribuan reklame dengan pesan-pesan yang “gue centric” hanya akan memperkaya pemilik titik reklame.

Mereka yang berhasil memenangkan posisi kepemimpinan di level apapun dengan minim investasi berangkat dengan cerita yang resonate (menggema) bagi kepentingan konstituennya.

Memenangkan elektabilitas adalah tentang memberi gambaran mengenai bagaimana hidup mereka akan lebih baik ketimbang mengenai bagaimana hebatnya kita.

Kekuatan media sosial akan bekerja seperti tangan-tangan Tuhan untuk membantu mereka yang secara tulus dan orisinil melihat kepemimpinan sebagai kesempatan untuk berbakti ketimbang kesempatan untuk menjadi lebih sakti.


Opini adalah kiriman dari Nasarudin Sili Luli. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Exit mobile version