Penyalahgunaan senjata api kerap dilakukan oleh anggota kepolisian. Evaluasi penggunaan senjata api terhadap anggota Polri dinilai sangat penting agar tidak ada aksi cowboy di ranah sipil. Sikap tegas proses penegakan hukum oleh aparat kepolisian dinilai dapat menjadi bentuk reformasi institusi kepolisian dalam rangka profesionalisme polisi di Indonesia.
Suara letusan senjata api terdengar dari dalam Kafe RM, Cengkareng, Jakarta Barat pada Kamis 25 Februari 2021, sekitar pukul 04.00 dini hari. Suara letusan tersebut ternyata bersumber dari senjata api milik anggota kepolisian berinisial Bripka CS.
Bripka CS beraksi layaknya cowboy dan menewaskan 3 orang dan 1 orang mengalami luka. Ketiga orang yang meninggal itu salah satu di antaranya merupakan anggota TNI AD aktif dan 2 lainnya merupakan pegawai kafe tersebut. Diketahui Bripka CS melakukan penembakan tersebut dalam keadaan mabuk karena sebelumnya meminum minuman beralkohol.
Mengetahui penembakan yang dilakukan oleh anggotanya, pihak kepolisian bersikap cepat tanggap dan langsung melakukan pemeriksaan dan olah TKP. Pihak kepolisian langsung menetapkan Bripka CS sebagai tersangka atas kasus pembunuhan terhadap 3 orang dan dijerat menggunakan Pasal 338 KUHP.
Kasus perseteruan antara anggota Polisi dengan TNI bukan baru kali ini saja terjadi. Sebelumnya perseteruan antara aparat polisi dengan TNI terjadi di Lubuklinggau pada tahun 2015. Kasus bentrokan serupa juga terjadi di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Namun untuk kali ini, Kapolri Listyo Sigit Prabowo bertindak cepat tanggap dengan mengeluarkan surat telegram Nomor ST/396/II/HUK.7.1/2021 sebagai upaya preventif agar hal serupa tidak terjadi di kemudian hari serta untuk tetap menjaga solidaritas antara polisi dan TNI.
Bak gayung bersambut instruksi dari Kapolri itu membuat Kapolda selaku atasan Bripka CS juga langsung melakukan kordinasi dengan Pangdam Jaya Dudung Abdurachman di Markas Kodam Jaya dan pihak TNI meminta Danpomdam Jaya TNI untuk terus mengawal kasus tersebut.
Peristiwa ini jelas merupakan bentuk kesewenang-wenangan Bripka CS dalam penggunaan senjata api. Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dinyatakan bahwa aparat kepolisian diberikan kewenangan dalam menggunakan senjata api sebagai upaya terakhir dalam penegakan keadilan.
Menindaklanjuti surat telegram yang dikeluarkan oleh Kapolri Listyo Sigit sebelumnya, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran menyebutkan bahwa pelaku akan diadili menggunakan mekanisme pidana dan etik. Hal ini sebagai upaya menjadikan kepolisian sebagai institusi yang profesional.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah tentu saja dalam konteks penggunaan senjata api tersebut. Lalu bagaimanakah mekanisme pertanggungjawaban aparat kepolisian yang melakukan pelanggaran dalam penyalahgunaan senjata api?
Penggunaan Senjata Api oleh Polisi
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya aparat kepolisian memang diberikan kewenangan untuk menggunakan senjata api. Namun, tidak sedikit juga kasus penyalahgunaan senjata api terjadi.
Menurut Amnesty Internasional Indonesia, penggunaan kekuatan dan senjata api oleh aparat kepolisian kembali disorot karena banyaknya kasus di mana polisi dituduh menggunakan kekuatan yang berlebihan dan bahkan di luar hukum.
Amnesty Internasional Indonesia mencatat selama serangkaian demonstrasi Tolak Omnibus Law pada bulan Oktober 2020 terdapat 402 kasus kekerasan polisi di 15 provinsi, termasuk penembakan peluru karet yang tidak sesuai ketentuan terhadap para demonstran.
Menurut prinsip-prinsip dasar PBB tentang penggunaan kekuatan dan senjata api oleh penegak hukum (BPUFF) dan kode etik aparat penegak hukum (CCLEO) terdapat 4 prinsip yang harus diikuti aparat penegak hukum dalam menggunakan kekuatan, yakni: 1) asas legalitas; 2) asas nesesitas; 3) asas proporsionalitas; dan 4) asas akuntabilitas
Keempat prinsip tersebut juga sudah diadopsi di dalam Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 dan aturan bagi aparat kepolisian dalam menjunjung Hak Asasi Manusia juga sudah diatur di dalam Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009.
Adapun aturan standar prosedur penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian diatur di dalam Pasal 47 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa:
Ayat (1)
Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukan untuk melindungi nyawa manusia
Ayat (2)
Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
a. Dalam hal menghadapi keadaan luar biasa
b. Membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat
c. Membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat
d. Mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang
e. Menahan, mencegah, atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
f. Menangani situasi yang membahayakan jiwa, di mana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup
Selain Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009, pengaturan penggunaan senjata api juga diatur di dalam Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 di dalam Pasal 8 menyebutkan bahwa aparak kepolisian dapat menggunakan senjata api apabila dalam kondisi:
a. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat
b. Anggota Polri tidak memilik alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut
c. Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.
Pengawasan penggunaan senjata api akan dinilai dan diawasi oleh pimpinan unit dan Propam, serta bagi aparat kepolisian berkewajiban untuk menyampaikan laporan penggunaan kekuatan termasuk penggunaan senjata api. Upaya ini sebagai salah satu cara evaluasi yang dilakukan oleh institusi kepolisian.
Selain itu, untuk tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, bagi petugas yang melakukan penindakan menggunakan senjata api, petugas tersebut wajib mempertanggungjawabkan tindakannya dengan memberi bantuan medis bagi setiap orang yang mengalami luka tembak, memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan senjata api dan membuat laporan terinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.
Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 49 ayat (1) Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Berkaca atas pelanggaran yang dilakukan oleh Bripka CS, pihak Kepolisian RI segera melakukan penyidikan atas kasus tersebut. Proses penegakan yang dilakukan oleh kepolisian ini menunjukkan bahwa kepolisian serius untuk memproses secara tegas bagi anggotanya yang melakukan pelanggaran pidana.
Mekanisme Proses Penegakan Hukum Anggota Polri
Ada beberapa mekanisme proses penegakan hukum bagi anggota Kepolisian Republik Indonesia, di antaranya adalah:
- Mekanisme Kode Etik Profesi Kepolisian
- Mekanisme Hukum Pidana
Anggota Polri dalam memikul jabatannya terikat dengan kode etik jabatan profesi kepolisian. Hal ini sebagaimana dijelaskan di dalam Perkap Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Satjipto Rahardjo dalam tulisannya yang berjudul Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis mengatakan bahwa penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum.
Jadi anggota polisi yang melakukan pelanggaran hukum dapat dijatuhi sanksi etik sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 11 ayat (2) yang menyebutkan bahwa:
Ayat (2)
Anggota Polri yang melakukan pelanggaran Kode Etik sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dikenakan sanksi berupa:
a. perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela
b. kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara terbatas ataupun secara langsung
c. kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi
d. pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi/fungsi kepolisian
Namun, dalam pelanggaran hukum pidana, proses penegakan hukum anggotanya yang melakukan pelanggaran hukum tidak hanya menggunakan mekanisme kode etik saja.
Sanksi hukum pidana juga dapat digunakan oleh penyidik selaku aparat penegak hukum. Hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan bahwa: “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum”.
Jadi kedua mekanisme tersebut bukanlah subtitusi (pengganti) melainkan komplementer (pelengkap) dan keduanya dapat berjalan beriringan. Hal ini dilakukan untuk menjaga profesionalisme institusi kepolisian Republik Indonesia serta menciptakan keadilan bagi korban
Atas perbuatan Bripka CS tersebut, ia dijerat dengan Pasal pembunuhan 338 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa anggota kepolisian dapat diberhentikan tidak dengan hormat apabila: 1) melakukan tindak pidana; 2) melakukan pelanggaran dan; 3) meninggalkan tugas atau hal lain.
Berdasarkan pemaparan di atas sudah jelas aturan mengenai penggunaan senjata api serta proses penegakan hukum bagi anggota kepolisian yang melakukan penembakan secara sewenang-wenang. Lalu bagaimanakah kelanjutan proses penegakan hukum yang akan dilalui oleh Bripka CS? Hasilnya sangat menarik untuk kita tunggu.
Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.