Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan yang membuat posisi Wakil Menteri (Wamen) harus tunduk pada larangan rangkap jabatan layaknya Menteri. Namun, sejumlah Wamen disebut masih rangkap jabatan pasca-Putusan MK itu.
Diskursus larangan rangkap jabatan bagi Wakil Menteri (Wamen) menjadi pengurus BUMN/BUMS bermula, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan nomor 80/PUU-XVII/2019 dalam pertimbangan hukumnya (tidak dalam amar putusan) menyatakan bahwa status Wamen harus disamakan dengan Menteri dalam hal larangan rangkap jabatan, kendati UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara tidak mengatur secara rigid akan hal larangan tersebut.
Secara terpisah, justru hal ini berakibat pada sikap Pemerintah yang bertolak belakang dalam memaknai Putusan tersebut dengan berdalih, bahwa pada dasarnya Putusan MK itu tidak memuat larangan rangkap jabatan bagi Wamen, karena Putusan tersebut berakhir tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) dan tidak dimuat dalam amar putusan melainkan hanya dalam pertimbangan hukumnya saja. Maka dari itu, Pemerintah menganggap tidak ada kewajiban baginya untuk terikat dan menaati larangan rangkap jabatan a quo karena larangan tersebut tidak ditegaskan dalam amar putusan.
Sikap Pemerintah yang menolak untuk mengikuti Putusan MK kendati larangan rangkap jabatan tersebut tidak dituangkan dalam amar putusan, mendapatkan respons yang kritis di kalangan masyarakat.
Bahkan, dalam lanjutan polemik tersebut, seorang warga negara kembali mengajukan judicial review terhadap UU Kementerian Negara khususnya Pasal 23, guna menegaskan larangan rangkap jabatan Wamen melalui Putusan Nomor 76/PUU-XVIII/2020 pasca tidak diikutinya Putusan MK sebelumnya oleh Pemerintah, dengan amar putusan yang tidak menyinggung pokok perkara yang diajukan guna penegasan larangan rangkap jabatan Wamen. Oleh sebab itu, hal ini masih menimbulkan polemik mengenai sikap Pemerintah yang menolak untuk mengikuti dan terikat akan putusan MK sebelumnya yang berisi larangan rangkap jabatan Wamen yang hanya tertuang dalam pertimbangan hukum.
Oleh karenanya, berdasarkan diskursus di atas, kolom ini akan mengurai apakah Putusan MK memiliki daya ikat dalam konteks larangan rangkap jabatan Wamen, kendati hanya dituangkan dalam bentuk pertimbangan hukum dan tidak dalam amar putusan.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi di Indonesia adalah manifestasi dari kemelut pelaksanaan kekuasaan Orde Baru, yang jauh dari konstitusi (UUD 1945) dan dilakukan secara sewenang-wenang sehingga, kehadirannya baik di Indonesia atau di seluruh dunia, pada umumnya berorientasi secara politis untuk membatasi kekuasaan lembaga negara terutama Pemerintah dan mempertahankan superioritas norma konstitusional yang tertuang dalam UUD 1945 (Alec Stone, 2012).
MK melalui kewenangannya untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945 yang menurut Mahfud MD adalah mahkota dalam kedudukannya, memiliki putusan yang bersifat akhir (final) dan secara mutatis mutandis mengikat untuk seluruh unsur negara (erga omnes) termasuk Pemerintah.
Hakikat dari mengikat secara langsung dan akhir menyiratkan agar tidak ada upaya hukum lainnya yang dilakukan terhadap putusan tersebut. Paradigma ini berdasar pada kenyataan praktis bahwa MK mengadili perkara yang berkenaan dengan masalah kenegaraan yang secara konsep tidak boleh mengandung keragu-raguan sehingga jika terdapat keadaan upaya hukum lainnya dan tidak bersifat final serta mengikat, hal ini akan berdampak langsung dan serius terhadap kehidupan bernegara (I D G Palguna, 2018).
Karakteristik putusan MK yang murni berasal dari MK terdiri dari dasar pertimbangan hukum (alasan hukum) serta amar putusan, merupakan yurisprudensi yang menjadi sumber materiil praktik ketatanegaraan yang bersifat mengikat ataupun secara formal sebagai landasan dalam pembentukan atau perubahan UU.
Dalam Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang melarang rangkap jabatan bagi Wamen pada hakikatnya memang tidak tertuang dalam amar putusan, namun pada aspek lain putusan tersebut harus dimaknai sebagai praktik ketatanegaraan yang berkembang dalam rangka tumbuh atau dinamisnya UUD 1945 sebagai bandul dalam pembatasan kekuasaan.
MK melalaui Putusan a quo pada dasarnya memang tidak menyatakan dalam amar putusannya untuk melarang rangkap jabatan Wamen, melainkan hanya dalam pertimbangan hukum. Namun, yang perlu disadari ialah MK melakukan hal tersebut karena secara praktik dibatasi oleh UU MK itu sendiri.
Hal ini dikarenakan pemohon dalam Putusan MK tersebut, meminta MK untuk membatalkan keberadaan jabatan Wamen secara keseluruhan dengan menyebutkan salah satu contoh kasus berupa rangkap jabatannya seorang Wamen. Namun, dalam permohonannya (petitum), pemohon tidak meminta untuk membatalkan keberadaan praktik rangkap jabatan Wamen.
Oleh karenanya, MK sebagaimana kewenangannya yang termuat dalam Pasal 51A ayat (5) UU MK, tidak boleh memuat dalam amar putusan yang mengabulkan di luar dari apa yang di mohonkan (ultra petita) dan bersifat aktif (judicial activism) sehingga melanggar asas hakim yang bersifat pasif.
Praktik seperti halnya menuangkan suatu hal dalam pertimbangan hukum (tidak dalam amar putusan) dalam kasus larangan rangkap jabatan Wamen, juga pernah berkembang di putusan MK sebelumnya. Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 Tentang UU KPK juga demikian.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan dalam amar putusannya tidak dapat diterimanya permohonan pemohon (niet onvant klijke verklaard). Namun MK dalam pertimbangan hukumnya mensyaratkan sebuah Perppu harus memenuhi setidaknya tiga syarat yaitu adanya kebutuhan mendesak, kekosongan hukum, dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara pembuatan UU secara normal sehingga diperlukannya Perppu.
Putusan yang tidak menuangkan dalam amar putusan tersebut pada dasarnya menjadi praktik penting penerbitan Perppu oleh Presiden dalam hal-hal genting setelahnya (pasca-Putusan MK) yang disertai dengan tolak ukur yang telah dikeluarkan oleh MK.
Hal ini bahkan menjadi putusan monumental (landmark decision) yang menjadi pegangan dalam praktik bernegara dikarenakan UUD 1945 tidak secara rigid mensyaratkan penerbitan Perppu yang secara kedudukannya sebagai necessary evil. Hal ini dilakukan oleh MK semata-mata demi menegakkan UUD 1945 (Konstitusi) sebagai jalan untuk membatasi kekuasaan Pemerintah dalam menerbitkan Perppu.
Begitu pula dengan larangan rangkap jabatan Wamen, bahwa tidak disebutkan baik dalam UUD 1945 (eksistensi Wamen) ataupun dalam UU Kementerian negara perihal larangan untuk Wamen merangkap jabatan sebagai pengurus di suatu BUMN ataupun BUMS.
Namun, yang perlu diperhatikan dan dipahami secara serius adalah tujuan dari Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang melarang rangkap jabatan Wamen dalam pertimbangan hukum ialah guna memperkuat UUD 1945 untuk membatasi kekuasaan Pemerintah dan sudah selayaknya untuk arif dan bijaksana bagi Pemerintah mengikatkan diri dalam putusan tersebut dalam rangka menegakkan UUD 1945 sebagai dokumen yang berisi pembatasan kekuasaan.
Terlebih, kedudukan hakim MK dalam memutus sebuah perkara yang dilandasi pertimbangan hukum, bukanlah diposisikan sebagai pertimbangan hukum yang bersifat obiter dicta (tidak mengikat) karena amar putusannya berakhir tidak dapat diterima. Namun pertimbangan tersebut dilakukan dalam rangka menafsirkan konstitusi (UUD 1945) sebagai bentuk pembatasan kekuasaan karena konstitusi hanya memuat hal-hal secara umum.
Karena bagaimanapun, pembatasan kekuasaan tersebut tidak hanya dimaknai bahwa hal itu telah tertulis dalam UUD 1945, UU atau bahkan tidak tertulis (sehingga diperbolehkan), melainkan bagaimana cara kekuasaan itu dijalankan (Hilaire Barnet, 2002)
Oleh karenanya, penting hakikatnya untuk Pemerintah dalam hal ini mematuhi dan melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang melarang adanya rangkap jabatan Wamen, kendati tidak dimuat dalam amar putusan, melainkan pada pertimbangan hukum hakim.
Mengingat kembali pernyataan Alexander Hamilton, Founding Fathers Amerika Serikat yang menyatakan bahwa pengadilan in casu MK ialah sebagai “the least dangerous, with no purse nor sword“, telah merefleksikan keadaan di mana MK tidak dapat berbuat apapun jika dihadapkan pada Pemerintah karena kewenangannya yang lemah karena tanpa kewenangan eksekusi.
Kesadaran dalam bernegara hukum dan etika politik yang sesuai dengan nilai konstitusi hanya akan terbentuk pada dasarnya jika para penyelenggara negara dapat melaksanakan kekuasaannya dan bagaimana kekuasaan itu dilaksanakan menurut konstitusi serta patuh terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution.
Tulisan milik Raines Wadi, Peneliti di Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (POSKOLEGNAS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.