Banyak pengamat politik menilai pencalonan Gibran Rakabuming Raka – putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) – di Pilkada Solo 2020 berjalan mulus akibat dinasti politik. Namun, benarkah begitu? Bagaimana Pilkada ini bila diamati dari kacamata wong Solo?
Dari semua daerah yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020, banyak masyarakat Indonesia yang penasaran dengan Pilkada Kota Surakarta – alias Solo. Sebagian orang terheran-heran dengan pencalonan Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang terlihat mulus-mulus saja dalam proses pencalonannya, dan narasi potensi calon tunggal yang digaungkan para pengamat meski muncul calon independen. Banyak pengamat dan politisi Jakarta yang beropini macam-macam, tetapi mereka tidak dapat sepenuhnya menggambarkan situasi di Solo.
Sebagai warga Kota Solo yang suka mengamati pemberitaan politik sejak lama, dan tinggal di Solo sejak kecil hingga sekarang, saya tergerak untuk memberikan sudut pandang alternatif, berdasarkan situasi lokal, supaya Sobat Pinpol mendapatkan pandangan utuh tentang Pilkada Solo.
Kemunculan Gibran
Gibran Rakabuming Raka mulai masuk bursa pencalonan Pilkada pada akhir 2019. Gibran sudah mendapatkan dukungan sangat dini dari PSI lewat anggota tunggalnya di DPRD Solo, Antonius Yogo Prabowo.
Waktu itu, DPC PDIP Solo belum jelas sikapnya tetapi sudah menerima pendaftaran Gibran menjadi kader partai. Sebelum Gibran memutuskan hanyaakan mencoba jalur PDIP, Yogo bahkan berani sesumbar bisa mengumpulkan KTP untuk pencalonan secara independen.
Tak lama setelah Gibran memegang KTA PDIP, DPC mengusulkan dua orang ke DPP, yaitu Achmad Purnomo yangg diduetkan dengan Teguh Prakosa (Purnomo-Teguh atau Puguh). Purnomo adalah Wakil Wali Kota Solo 1,5 periode (2013-2015, 2016-2021), pensiunan dosen farmasi, dan pengusaha. Sementara, Teguh adalah anggota DPRD Solo 3 periode (2009-sekarang) – di periode lalu (2014-2019) sempat menjadi ketua DPRD.
Beberapa pengamat Jakarta bilang bahwa Purnomo adalah kader lama PDIP yang diterima akar rumput. Saya kurang setuju dengan hal ini karena ada sebagian anggota DPRD Solo yang sudah menjadi kader jauh lebih lama dari beliau.
Beliau dahulu menjadi penantang Jokowi pada Pilkada 2005 melalui PAN tetapi kalah. Purnomo baru masuk PDIP pada 2012 ketika mencalonkan diri menjadi Wakil Wali Kota lewat proses DPRD.
Waktu itu, Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan FX Hadi Rudyatmo (Rudy) naik jabatan jadi Wali Kota. Dan, saya memiliki pengalaman personal: pada 2012, ketika saya menempuh perjalanan pulang pergi ke SMA saya, saya melihat spanduk penolakan Purnomo oleh kader PDIP di selatan Solo, di daerah Dawung.
Ketika Purnomo-Teguh dimunculkan, muncul ketidakpuasan dari sebagian masyarakat Solo, salah satunya saya. Ada beberapa hal yang menjadi concern.
Pertama adalah usia karena Purnomo berumur 71, sedangkan Teguh berumur 61. Kedua, belum terasa gebrakan baru setelah Jokowi menjadi gubernur dan presiden, sedang walikota dan wakil wali kota sekarang terkesan hanya melanjutkan.
Ketiga adalah kurang mampunya PDIP Solo menghasilkan tokoh yang popularitasnya tinggi dan merata di Solo. Sekalipun PDIP selalu menjadi partai pemenang di Solo, para anggota DPRD cenderung populer di lumbung suaranya saja, serta ada beberapa orang yang memilih bertahan di DPRD Solo daripada melompat ke DPRD Jateng atau DPR RI.
Ketika DPD PDIP Jateng membuka pintu pendaftaran calon, Gibran masuk untuk mendaftar, karena pintu dari Solo alias DPC sudah ditutup. Di DPC ternyata muncul dinamika, dibuktikan dengan adanya anggota DPRD Solo yang mendaftar jadi calon wakil wali kota lewat pintu Jateng, yaitu Ginda Ferachtriawan.
Gerakan pendukung Gibran maupun Puguh terus terjadi di Solo. Wali Kota Rudy yang juga ketua DPC PDIP Solo beberapa kali berkoar pada media bahwa ia mendukung Puguh, juga meminta Gibran untuk berproses dulu di partai, mengingat baru sebentar ia menjadi kader partai dan masih sangat muda (32 tahun).
Setelah masa kampanye tertunda karena COVID-19, Megawati mengundang 3 orang ke DPP: Purnomo, Teguh, dan Gibran. Hasil rekomendasinya adalah seperti yang kita ketahui bersama, yaitu Gibran diduetkan dengan Teguh.
Setelah DPP PDIP resmi mengeluarkan surat rekomendasi, DPP partai-partai pemilik kursi lain menyusul. Diawali Gerindra (3/8), lalu PSI (10/8), lalu Golkar dan PAN di hari yang sama (12/8). Ada pula partai-partai lain nihil kursi yang menyatakan dukungan pada Gibran; yaitu PKB, NasDem, PPP, Demokrat, dan PBB.
Tabel 1. Susunan DPRD Surakarta (Solo) 2019-2024.
Partai Politik | Jumlah Kursi |
PDIP | 30 |
PKS | 5 |
Gerindra | 3 |
Golkar | 3 |
PAN | 3 |
PSI | 1 |
Partai Lainnya | 0 |
TOTAL | 45 |
Di Solo, partai-partai lain kebanyakan menunggu PDIP, karena PDIP terlalu kuat. Hanya PKS yang berkeinginan sangat kuat untuk mencalonkan sendiri, namun ia masih memerlukan 4 kursi tambahan untuk mewujudkan pencalonan. PKS Solo memiliki banyak kader yang populer, namun cenderung hanya di basis massa PKS. Anggota DPRD Solo, anggota DPRD Jateng, serta para mantan anggota DPRD masuk dalam bursa calon PKS. Mereka juga menerima silaturahmi para bakal calon dari luar PKS.
PKS pun mendapat goyangan dari dalam. Pada Januari, anggota DPR RI dari PKS yang mewakili Solo, Abdul Kharis Almasyhari, sempat mendapat informasi bahwa kader muda PKS mendukung Gibran. Pada Juli, dukungan pada Gibran diungkapkan secara terbuka melalui kenekatan anggota DPRD Solo, Didik Hermawan, untuk memakai batik yang identik dengan pendukung Gibran, saat rapat di DPRD. Didik mengaku mewakili Kaukus Muda PKS. Karena kenekatan Didik, kolega separtainya menghukumnya dengan mencopot berbagai jabatannya, kecuali jabatan anggotanya.
PKS sekarang menghadapi mission impossible, karena Gibran-Teguh sudah mengantongi surat rekomendasi DPP para partai. Namun mereka mengaku masih punya strategi lobi tingkat nasional. Karena dalam politik Indonesia tidak ada yang tidak mungkin, mari kita tunggu kelanjutannya.
Munculnya Gerakan Independen
Sementara partai-partai politik sibuk dengan Gibran, Purnomo, atau calon alternatif, ada gerakan independen yang akan berhasil mencalonkan diri di Solo. Hal ini tidak disangka-sangka bahkan oleh sebagian masyarakat Solo. Berikut ceritanya.
Ketika pencalonan independen dibuka KPU Solo, ada 2 pasangan calon yang mendaftar, yaitu pasangan Bagyo Wahyono-FX Supardjo (BAJO) dan Muhammad Ali-Achmad Abu Jazid (ALAM). KPU mensyaratkan KTP minimal sejumlah 35.870. Namun, yang berhasil dalam tahap pertama pendaftaran (pengecekan berkas) hanya BAJO, sedangkan pasangan ALAM terhenti. Dari berkas yang dibawa dan dicek, BAJO berhasil mendapatkan dukungan valid 36.006 KTP, sedangkan ALAM hanya 14.557 KTP.
Pasangan BAJO terus melewati tahap demi tahap pencalonan independen, dan ternyata mereka bisa memperoleh 28.629 KTP pendukung. Mereka masih perlu 7.241 KTP lagi. Mereka harus mengumpulkan dua kali lipat dari kekurangan itu untuk memasuki tahap perbaikan KTP, atau kasarnya disebut tahap kedua KTP.
Setelah mereka menjalani tahap verifikasi faktual perbaikan KTP, mereka bisa memenuhi jumlah dukungan di atas 7.241, tepatnya 10.202. Jadi total dukungan KTP yang mereka peroleh adalah 38.831, melebihi syarat, sehingga lolos verifikasi faktual dan berhak mendaftarkan diri sebagai peserta Pilkada bersama pasangan calon dari partai, 4-6 September mendatang.
Ada yang menduga-duga bahwa mereka calon boneka atau dibayar pendukung Jokowi. Hasil penyelidikan saya mematahkan dugaan ini.
Pasangan BAJO diusung oleh gerakan Tikus Pithi Hanata Baris atau Panji-Panji Hati. Gerakan ini punya pemimpin bernama Tuntas Subagyo. Tuntas tahun lalu berkeinginan menjadi calon presiden lewat jalur independen, dan muncul berita dari beberapa daerah (khususnya Jateng dan Jatim) tentang datangnya gerakan ini ke KPU setempat untuk mencalonkan pemimpinnya jadi presiden, namun ditolak KPU karena masa pendaftaran sudah lewat dan kampanye sudah berjalan.
Gerakan Tikus Pithi juga memiliki calon DPD RI di Jateng bernama Budi Yuwono. Ketika hasil Pemilu dan Pilpres diumumkan, Budi belum berhasil lolos menjadi anggota DPD, namun suaranya oke, peringkat 10 dari 20 calon yang ada. Perolehan suara tepatnya 668.816. Sekarang, Budi menjadi penanggung jawab tim sukses BAJO.
Gerakan ini tidak menyerah. Mereka membuat beberapa pasangan calon untuk maju di beberapa Pilkada. Namun, dari daerah-daerah yang mereka coba, mereka hanya bisa melewati tahap pertama di Solo. Dan di Solo pula mereka bisa terus lolos setiap tahap, hingga tahap akhir. BAJO mengukir sejarah sebagai pasangan calon independen pertama dalam sejarah Pilkada Solo. Dari 3 kali Pilkada langsung, semua pasangan calon yang maju merupakan hasil usungan partai politik. Rencananya BAJO akan sah sebagai pasangan calon pada 4-6 September mendatang.
Penyebab utama kejutan BAJO adalah karena mereka bukan politisi dan tokoh terkenal. Bagyo berprofesi penjahit, sedangkan Supardjo bekerja sebagai ketua RW. Iklan mereka tersebar namun ukurannya kecil-kecil. Setahu saya iklan BAJO berukuran besar hanya ada di Penumping, di sekitar tempat tinggal Bagyo dan juga pusat tim suksesnya.
Begitulah cerita dan fakta Pilkada Solo 2020 dari sudut pandang lokal, teman-teman Sobat Pinpol. Masih ada yang penasaran dengan kelanjutannya? Atau ada yang mau menebak kelanjutannya?
Tulisan milik Stephen Kevin Giovanni, penulis lepas.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.