HomePolitikPilkada Jalur Independen, Kenapa Tidak?

Pilkada Jalur Independen, Kenapa Tidak?

Oleh Muhammad Luthfi Fahrezi, mahasiswa di Universitas Indonesia

Pilkada Serentak 2020 akan segera dilaksanakan dalam beberapa bulan ke depan. Mungkinkah ada pasangan calon kepala daerah dari jalur independen? Kenapa tidak?


PinterPolitik.com

Tidak terasa perhelatan pesta demokrasi lima tahun sekali untuk tiap daerah di Indonesia – yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) – akan segera dilaksanakan pada tahun 2020. Tercatat, akan terdapat 270 daerah yang menggelar Pilkada serentak pada 23 September 2020 nanti.

Menurut informasi yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur akan dilaksanakan pada bulan Februari 2020. Sementara, pendaftaran calon bupati dan calon wakil bupati beserta calon wali kota dan calon wakil wali kota akan dilakukan pada minggu pertama bulan Maret.

Tahap pendaftaran adalah tahap yang menarik dan menantang. Tarik-ulur para politisi dalam menentukan sikap atas siapa dukung siapa akan membuat tahap pendaftaran makin menarik.

Namun, sebenarnya ada jalur terakhir yang lebih mudah meski berliku untuk mendaftar pada Pilkada, yaitu jalur independen. Banyak hal yang menyebabkan satu pasangan memilih untuk maju lewat jalur independen, misalnya karena partai mereka kekurangan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada daerah tersebut. Contoh yang paling terkenal adalah Rian Ernest dan Yusiani Gurusinga yang akan maju di Kota Batam.

Alasan lainnya adalah orang yang maju lewat jalur independen terkenal dengan idealisme tangguh yang tidak ingin idealisme mereka rontok dihancurkan oleh rumitnya birokrasi partai yang hanya mementingkan sebuah suara daripada inovasi menuju kebaikan. Namun, satu hal yang pasti, yaitu orang yang berani maju lewat jalur independen bisa jadi merupakan orang yang berusaha menjadi simbol baru dalam kancah politik.

Mencalonkan diri melalui jalur independen memiliki jalur yang relatif lebih sulit jika dibandingkan maju lewat jalur partai politik. Namun, bagi orang yang ingin membawa ”kesegaran” tertentu bagi permainan politik di daerahnya, menjadi independen adalah jalan yang dipilih.

Susahnya pencalonan lewat jalur independen, bahkan, harus melalui terlebih dahulu rintangan akan verifikasi yang tak kalah mudah. Syarat pasangan calon dinyatakan sah maju Pilkada melewati jalur independen adalah dengan membawa fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) warga yang mendukung pencalonan pasangan calon tersebut di Pilkada.

Kuantitas fotokopi yang diminta juga cukup banyak, yaitu 10% dari jumlah pemilih tetap – jika daftar pemilih tetap hingga 250 ribu – dan 8,5% dari daftar pemilih tetap – jika jumlah pemilih tetap lebih dari 250 ribu.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Jika pasangan calon berhasil mengumpulkan salinan KTP sebanyak yang diminta oleh KPU, maka giliran Bawaslu tiap daerah yang bekerja melakukan verifikasi kembali. Verifikasi dilakukan dengan cara melakukan verifikasi langsung kepada masyarakat terkait keaslian dan kemurnian dukungan mereka terhadap dukungan kepada pasangan calon yang maju lewat jalur independen tersebut.

Jika ada laporan masyarakat yang mengatakan tidak pernah menyatakan dukungan atau memberikan KTP miliknya, maka pasangan calon akan langsung dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS).

Meskipun begitu, “tugas” pengumpulan KTP untuk verifikasi ini juga dapat digunakan sebagai ajang mempromosikan diri kepada masyarakat sekitar yang dapat mempermudah saat masa kampanye dimulai nanti. Beberapa calon independen memiliki cara mereka masing-masing dalam mencari KTP masyarakat sekitar.

Ada yang membuat posko sendiri. Ada juga yang membagikan nomor telepon genggam mereka sendiri agar masyarakat dapat dengan mudah menghubungi calon independen tersebut.

Namun, satu hal yang pasti akan dilakukan adalah mencari orang-orang tangguh yang peduli pada daerahnya (baca: simpatisan) merupakan suatu kewajiban yang sulit untuk para calon independen yang tidak punya dukungan dari basis partai tertentu.

Jika pasangan independen dinyatakan lolos verifikasi, bukan berarti mereka dinyatakan akan menjadi pemimpin di daerah mereka karena, setelahnya, mereka harus masuk ke arena pertarungan yang sesungguhnya. Bahkan, arena ini terkenal lebih ganas dari tahap verifikasi.

Arena ini juga merupakan tahap penentuan yang sesungguhnya dan hal yang dilihat bukan lagi kualitas ide ataupun idealisme pasangan tersebut tetapi adalah yang memiliki pendukung yang paling banyak dan paling setia. Bahkan, saking terlalu setia pendukung tersebut bisa saja saling menyerak di dunia maya dengan basis massa pasangan calon lain.

Pada arena yang disebut tahap pemilihan ini peran partai politik sangat besar menentukan hasil Pilkada. Partai politik biasanya memilik daerah tempat mereka memiliki pendukung yang sangat banyak jumlahnya, misalnya PKS di Kota Depok dan PDIP di Kota Surakarta.

Lalu, bagaimana nasib pasangan independen? Tentu mereka sudah memiliki hitung-hitungan mereka sendiri bagaimana kemungkinan mereka menang di daerahnya. Akan butuh tenaga ekstra keras bagi mereka yang ingin maju di daerah yang sudah dikuasai suatu partai.

Baca juga :  The War of Java: Rambo vs Sambo?

Sekarang, mari kita belajar dari nasib para pejuang jalur independen maupun orang yang pernah tergiur oleh jalur ini tepatnya pada sekitar tahun 2017 – ketika jalur independen pernah menjadi perbincangan hangat khususnya untuk masyarakat Jakarta setelah Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok mengatakan dirinya akan maju melalui jalur independen.

Banyak pihak yang awalnya kagum dan merasa Ahok akan sukses pada Pilkada DKI 2017 meskipun maju lewat jalur independen. Namun, jalur independen mengharuskan bakal calon tersebut memiliki pendirian yang sangatlah kuat. Hal tersebut sepertinya tidak terlihat pada diri Ahok pada Pilkada DKI 2017 yang akhirnya memilih jalur partai.

Bila kita mundur lima tahun sebelum Pilkada DKI 2017, tepatnya pada Pilkada DKI 2012, juga terdapat dua pasangan calon yang maju lewat jalur independen. Pasangan pertama adalah Hendardji Soepandji dan Ahmad Riza Patria. Sementara, pasangan kedua adalah Faisal Basri dan Biem Triani Benjamin.

Pilkada DKI 2012 terbilang unik dikarenakan muncul beberapa indikasi masyarakat lelah dengan carut-marut perpolitikan DKI Jakarta sehingga munculnya paslon independen menimbulkan asumsi bahwa paslon independen bisa saja menang pada Pilkada 2012.

Sayang, nasib baik belum berada di pihak kedua paslon independen tersebut. Malangnya lagi, kedua paslon “hanya” mendapatkan dukungan masyarakat DKI Jakarta dengan perolehan suara  keduanya sama-sama kurang dari 5%.

Lalu, bagaimana nasib paslon dari jalur independen? Apakah mereka cukup berpasrah diri saja dikalahkan oleh pihak-pihak yang sudah lebih dulu berkecimpung di politik? Apakah jalur independen memang mustahil untuk dilalui oleh orang-orang dengan idealisme tinggi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa kita jawab sekarang dan perlu dibuktikan terlebih dahulu – bahwa entah sesungguhnya paslon dari jalur independen dapat menang dan mengalahkan kekuatan besar partai politik.

Tulisan milik Muhammad Luthfi Fahrezi, mahasiswa di Universitas Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...