HomePolitikPeta Politik Pilkada Pasca-Pandemi

Peta Politik Pilkada Pasca-Pandemi

Oleh Rully Satria, Mahasiswa Politik Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada

Peta politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) setelah pandemi virus Corona (Covid-19) sudah hampir dipastikan akan berubah banyak. Kira-kira, apa hal yang baru dalam peta politik tersebut?


PinterPolitik.com

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tetap bersikeras bahwa pemilihan kepala daerah akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Seperti kita ketahui bersama, awalnya Pilkada 2020 akan diselenggarakan pada 23 September untuk memilih sembilan gubenur, 224 bupati, dan 37 wali kota secara serentak. Sebelum Indonesia terkena pandemi COVID-19, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan serangkaian tahapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020.

Namun, akibat pandemi Covid-19 ini, KPU akhirnya mengeluarkan surat keputusan KPU Nomor: 179/PL.02-kpt/01/KPU/III/2020 yang antara lain mengatur penundaan beberapa tahapan Pilkada 2020, di antaranya pelantikan dan masa kerja Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan pelaksanaan  pencocokan dan penelitian, serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.

Penundaan beberapa tahapan Pilkada di atas dapat menimbulkan berbagai dampak dalam penyelenggaraannya, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Dampak positif misalnya, penundaan ini memberikan ruang bagi calon independen untuk menyiapkan persyaratan dukungan sebagai calon perseorangan. Partai politik juga bisa relatif mengalami relaksasi dalam melakukan proses rekrutmen calon kepala daerah.

Masalahnya, dampak positif itu tidak terlalu signifikan mengingat tenggat waktu perubahan jadwal penyelenggaraan hanya bergeser tiga bulan, dari 23 September menjadi 9 Desember 2020. Perubahan jadwal ini dianggap dipaksakan mengingat kenaikan jumlah kasus positif COVID-19 belum melandai dan usai.

Apalagi, hingga hari ini belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berakhir. Kesan adanya paksaan atas keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2020 memang kelihatan.

Meskipun pada Perppu tersebut terdapat pasal yang mengatur bahwa Pilkada 2020 dapat ditunda apabila situasi tidak memungkinkan, pasal ini justru dianggap sebagai sesuatu yang tidak pasti. Apalagi, Perppu tersebut juga tidak mengatur persoalan anggaran dan apakah Perppu ini juga dapat menjadi dasar hukum bagi KPU untuk melakukan diskresi dalam menilai situasi pandemi Covid-19 di suatu wilayah dapat dianggap mengganggu penyelenggaraan Pilkada.

Pertanyaannya, apakah KPU memiliki kewenangan tersebut ataukah kewenangan itu ada pada instansi lain, misalnya Kementerian Kesehatan, sebagaimana yang berlaku pada UU tentang Kesehatan?

Kelonggaran pengaturan pada Perppu di atas bisa dianggap hal yang biasa, tetapi justru bisa menimbulkan persoalan baru. Persoalan itu bukan hanya soal ketidakpastian bagi penyelenggara karena tingkat kemungkinan penyelenggaraan Pilkada 2020 dibayang-bayangi oleh situasi pandemi COVID-19 yang waktunya tidak menentu, melainkan juga besarnya kemungkinan KPU akan kesulitan membuat aturan yang bisa menetapkan situasi sebuah wilayah atau status kesehatan suatu daerah.

Baca juga :  Dharma Pongrekun vs ‘Elite Global’

Kampanye SaatNew Normal

Dalam situasi yang “carut marut” seperti saat ini, perihal kampanye bagi calon atau peserta pilkada justru tidak mudah. Waktu yang sulit dan situasi, tidak memungkinkan bagi calon untuk mengumpulkan massa.

Padahal, kampanye dalam proses elektoral di Indonesia identik dengan pengumpulan massa. Hal ini agak berbeda dengan yang saat ini digembar-gemborkan Pemerintah untuk mengikuti pola “New Normal” yang mana dilarang untuk mengumpulkan massa untuk berkumpul di suatu tempat.

Apakah KPU bisa menabrak aturan PSBB apabila suatu daerah yang menyelenggarakan Pilkada ternyata situasi pandemi belum usai? Tidak ada aturan yang menjelaskan hal ini, dan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 juga tidak menyinggungnya.

Sementara, dalam praktik pemilu dan/atau pilkada, diskresi yang dilakukan oleh KPU akan memunculkan perdebatan karena KPU bisa dianggap melampui batas kewenangannya dalam mengambil keputusan.

Siapa yang diuntungkan dalam situasi hari ini? Jawabannya adalah para politisi yang menggunakan media sosial secara serius – bukan membuat media sosial seperti majalah dinding (madding) yang berisi ucapan-ucapan selamat hari raya besar dan tidak dikelola secara serius.

Penggunaan aplikasi teknologi di dunia maya akan menggantikan metode kuno kampanye tatap muka dengan kerumunan massa dalam jumlah besar. Calon kepala daerah harus mulai terbiasa dengan cara ini. Pandemi COVID-19 ini bisa dijadikan sebagai momentum kebangkitan kampanye narasi yang dipenuhi dengan ide dan gagasan yang dibahas secara santai dan nyaman.

Para calon perlu mempersiapkan diri untuk melakukan inovasi kampanye digital. Orientasi calon yang masih terlalu meyakini kampanye dengan cara tradisional melalui pengumpulan massa, perlu ditinggalkan. Demikian pula cara berpikirjalan pintas, karena proses elektoral kita di era reformasi, baik pemilu maupun Pilkada masih kurang mengeksplorasi narasi calon sebagai kekuatan untuk menarik massa.

Konsekuensinya, para calon harus menjual gagasan atau ide. Ada pertarungan ide-ide besar yang harus ditawarkan kepada para pemilih. Tidak lagi kampanye model bantuan sosial (bansos) dengan bagi-bagi uang dan sembako, yang hingga kini menimbulkan polemik apakah termasuk pelanggaran atau tidak bila bansos ditempeli dengan foto petahana yang menjadi calon.

Baca juga :  Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Berubahnya Peta Politik?

Politisi yang paling diuntungkan di situasi pandemi hari ini salah satunya Faldo Maldini (Ketua DPW PSI Sumatera Barat) yang berniat bertarung di kampung halamannya, Sumatera Barat, meskipun ia kemarin sempat “dicemooh” karena gagal bertarung perihal umur. Namun, lain ceritanya hari ini, bila Pilkada diundur tentu Faldo bisa maju sebagai penantang di Pemilihan Gubernur Sumatera Barat.

Berbekal nama di media sosial yang dimilikinya, Faldo melakukan inovasi berupa live Instagram selama 30 hari berturut-turut dengan berbagai pakar dan diikuti oleh banyak politisi lain. Bahkan, ia sempat melakukan live dengan Sandiaga Salahuddin Uno (Politisi Gerindra) – salah satu tokoh yang digadang-gadang dapat menjadi calon presiden (capres) potensial dalam Pilpres 2024 nanti.

Politisi lain yang bisa kita lihat berhasil ketika pandemi ini, yaitu Sigit Purnomo Said. Ia menggaet beberapa musisi dari Palu untuk melakukan kolaborasi sebuah lagu yang berjudul “Menangis Lagi” yang saat ini sedang ramai di platformYoutube. Hal yang bisa dilakukan mereka berdua tentu membingungkan pemilih milenial dan non-partisan untuk menentukan pilihan mereka.

Di saat beberapa Kepala Daerah dihajar oleh masyarakat karena tidak siap menghadapi Covid-19, mulai dari banyaknya yang tidak mendapatkan bantuan, perencanan kebijakan yang tidak tepat sasaran dan banyak keluhan masyarakat lainnya, politisi-politisi tersebut diibaratkan “oase di tengah gurun pasir” yang memberikan masyarakat secercah harapan ada orang yang sangat peduli dengan mereka.

Politisi-politisi ini masih berusia muda dan mendapatkan popularitas media sosial yang sangat besar tentu bisa menjadi hambatan bagi lawan-lawan mereka. Umur tidak berpengaruh tetapi pengalam berbicara dalam pengelolaan media sosial.Sekarang mereka harus tahu langkah selanjutnya untuk bisa terus memenangkan hati rakyat dan Pilkada tentunya.

Tulisan milik Rully Satria, Mahasiswa Politik Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...