Site icon PinterPolitik.com

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

perludem minta kpu pasang nama foto dan info kasus caleg eks koruptor di tps

Simulasi pemungutan suara Pemilu 2024. Foto: Liputan6.com/Faizal Fanani

Oleh: Noki Dwi Nugroho


PinterPolitik.com

Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini menjadi negara yang demokratis. Hal ini secara tidak langsung tertuang pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi di negara Indonesia. Sebagai implementasi dari kutipan ayat tersebut, Pemilu (Pemilihan Umum) menjadi salah satu opsi pelibatan masyarakat di mana masyarakat dilibatkan dalam mengambil keputusan atas siapa yang akan menjadi wakil mereka dalam periode lima tahun ke depan.

Merujuk data dari laman KPUP, sejak Kemerdekaan Indonesia pada 1945, Pemilu sudah berlangsung selama 13 kali, yaitu dimulai dari tahun 1955 hingga yang terbaru, yaitu pada tahun 2024. Selain pada era Orde Baru, dari Pemilu ke Pemilu lain telah menghasilkan aktor politik yang berbeda.

Namun, terdapat persamaan dari Pemilu di era Orde Baru hingga Pemilu 2024. Hal yang menjadi persamaannya adalah istilah “pesta demokrasi” yang seringkali diasosiasikan dengan Pemilu. Sekilas, penggunaan istilah “pesta demokrasi” terdengar biasa saja, atau justru menjadikan Pemilu sebagai ajang sukacita masyarakat sebagai pemilih.

Lantas, benarkah demikian? Apakah istilah ini merupakan istilah yang memang biasa saja? Juga, siapa yang sebenarnya berpesta dalam pesta demokrasi?

“Pesta Demokrasi” dalam Kacamata Historis

Mesti diketahui bahwa istilah “Pesta Demokrasi” yang sering dilekatkan dengan Pemilu bukan merupakan istilah yang datang dari ruang hampa. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Soeharto dalam konteks Pemilu 1982. Untuk memahami akar historis mengapa Soeharto menggunakan istilah “Pesta Demokrasi” pada Pemilu 1982, kita dapat membacanya dari karya terkenal Pemberton (1994), seorang antropolog Amerika Serikat yang menulis buku On the Subject of “Java”.

Buku tersebut merupakan hasil pengamatan dan penelitian lapangan Pemberton selama berada di Jawa pada dekade ‘80an, yang melihat bagaimana budaya Jawa diproduksi, dikonstruksi, dan didekonstruksi oleh penguasa (dalam hal ini Orde Baru dan pemerintah kolonial) untuk mempertahankan status-quo.

Pada bagian pembuka, Pemberton menyinggung istilah yang Ia anggap unik, yaitu penggunaan istilah “pesta demokrasi” untuk menyebut Pemilu 1982. Ia menganggap ini merupakan hal unik karena tidak ada negara demokratis lain di dunia ini yang menyebutkan Pemilu sebagai “pesta demokrasi”.

Pemberton menjelaskan bahwa istilah ini merupakan istilah yang pertama kali diucapkan Soeharto ketika Ia memberikan sambutan pada acara Konferensi Nasional Gubernur, Bupati, dan Walikota pada 1982. Dalam pidato sambutannya, Soeharto menyatakan bahwa “Kita harus melihat pemilihan umum sebagai sebuah pesta demokrasi besar, sebagai penggunaan hak-hak demokratis yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan mencekam”.

Menanggapi pidato Soeharto, Pemberton menyebutkan bahwa istilah “pesta demokrasi” merujuk pada perayaan atas kesuksesan Soeharto dan Golkar dalam memenangkan dua Pemilu berturut-turut (1971 dan 1977). Tentu, kemenangan Soeharto dan Golkar merupakan kemenangan yang didasari pada kebijakan politik Soeharto yang melakukan segala hal untuk mempertahankan kekuasaan.

Berangkat dari penjelasan historis atas istilah “pesta demokrasi”, terdapat beberapa hal yang mesti dilihat dalam kacamata kritis untuk menganalisis bagaimana istilah ini berdampak bagi Pemilu di Indonesia.

Mengkritisi Pandangan Pemilu Sebagai Pesta Demokrasi

Sebuah artikel yang ditulis oleh Juniatama menjelaskan wacana di balik istilah “pesta demokrasi” menjelaskan bahwa istilah “pesta” merupakan istilah yang dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai istilah yang lekat dengan pesta pernikahan. Layaknya sebuah pesta pernikahan, pesta demokrasi ala Soeharto dirancang serapi mungkin dengan susunan acara yang memungkinkan penyelenggara (penguasa) mengetahui lebih awal hasil dari pesta tersebut.

Dalam hal ini, masyarakat yang merupakan pemilih hanya dianggap sebagai tamu dalam pesta demokrasi. Setelah itu, masyarakat akan diminta untuk kembali kepada kehidupannya masing-masing, sedangkan pengantin baru, yakni Soeharto sebagai penguasa terpilih akan melakukan apapun yang dapat mempertahankan status-quonya.

Penggunaan istilah “pesta demokrasi” untuk menyebut Pemilu mensyaratkan bahwa Soeharto ingin menjadikan Pemilu hanya sebagai formalitas, mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi. Digunakannya istilah ini juga mengaburkan fakta bahwa Pemilu di era Soeharto bukanlah Pemilu yang penuh ideal.

Dalam hal ini, kemenangan Soeharto dan kroni-kroninya merupakan kemenangan yang sudah diatur oleh Soeharto dan kroni-kroninya dalam rangka mempertahankan status-quo mereka. Di sisi lain, pesta demokrasi tidaklah menjadikan Pemilu sebagai momen sukacita bagi masyarakat, terutama mereka yang dipaksa untuk memilih Soeharto dan mereka yang hidup di bawah penindasan rezim Orde Baru.

Berangkat dari pernyataan di atas dan sekaligus menjawab pertanyaan pada bagian pendahuluan, bahwa dalam pesta demokrasi di sebuah negara yang korup, aktor yang berpesta hanyalah para penguasa dan oligark yang berada di dalam politik praktis. Pemilu pada akhirnya menjadi momen konsolidasi penguasa dan oligark untuk meraih sekaligus melanggengkan kekuasaan yang hanya menguntungkan kelompok mereka saja.

Keterlibatan masyarakat dalam politik hanya dilihat ketika masyarakat terlibat dalam Pemilu saja. Selebihnya, dalam proses pembangunan, penyusunan produk hukum, dan hal lain yang berkaitan dengan negara, masyarakat tidak secara efektif untuk dilibatkan.

Jika pada akhirnya terdapat kelompok masyarakat yang tidak sepakat dengan kebijakan yang diambil pemerintah, dengan mudah pemerintah akan mengerahkan aparat untuk merepresi orang atau kelompok yang tidak sepakat dengan pemerintah. Hal ini sangat umum kita temui di Indonesia ketika melihat beberapa kasus penolakan pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat banyak dan penolakan atas undang-undang yang bermasalah.

Celakanya, istilah yang diproduksi oleh Orde Baru ini masih direproduksi hingga sekarang. Bahkan, pada Pemilu 2024 silam, istilah ini sering kita temui di berbagai pemberitaan atau bahkan pernyataan politisi.

Bergantinya rezim bukan berarti menjadikan istilah ini menjadi istilah yang lebih baik. Istilah ini masih mengaburkan fakta bahwa dalam Pemilu, praktik intimidasi, politik uang, dan bahkan konsolidasi penguasa dan oligark korup untuk berkuasa masih menjadi hal yang sangat vulgar. Proses demokrasi di Indonesia tak jauh berbeda seperti pada rezim Soeharto, di mana rakyat hanya menjadi subjek, bukan menjadi objek yang dilibatkan secara langsung dalam mengurus negara ini.

Penutup

Istilah “pesta demokrasi” bukanlah istilah yang bisa kita anggap baik dan normal. Di balik itu semua, ada Soeharto yang memproduksi istilah tersebut guna menjadikan Pemilu hanya sebagai formalitas belaka. Di sisi lain, istilah ini juga mengaburkan fakta bahwa Pemilu bukan hanya momen sukacita saja, lebih dari itu, Pemilu di Indonesia semestinya bisa menjadi momen di mana pertarungan ide terjadi.

Hal ini menjadi penting, mengingat Pemilu merupakan momen krusial di mana nasib kita selama lima tahun dipertaruhkan. Mengingat istilah ini merupakan istilah yang bermasalah, sudah semestinya istilah ini tidak lagi digunakan dalam ajang Pemilu, terutama dalam rangkaian Pilkada yang saat ini sedang berlangsung.

Artikel ini ditulis oleh Noki Dwi Nugroho.

Noki Dwi Nugroho adalah Mahasiswa Universitas Padjajaran jurusan Ilmu Politik.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Exit mobile version