HomeRuang PublikPesan Bima Arya untuk Dunia

Pesan Bima Arya untuk Dunia

Oleh Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm

Kebebasan beragama dan berkeyakinan serta menjalankan ibadahnya merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, nyatanya, hingga saat ini masih banyak perilaku intoleran yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia hingga di level pemimpin daerah. Penyelesaian konflik pembangunan rumah ibadah GKI Yasmin yang terjadi di Bogor bisa jadi pesan Bima Arya untuk dunia.


PinterPolitik.com

Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan serta dalam menjalankan ibadah merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) hal ini sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 28 E ayat (1) UUD RI 1945 yang berbunyi,

“Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Selain itu, negara juga berkewajiban untuk memastikan hak tersebut terpenuhi sebaimana yang tertuang di dalam Pasal 29 ayat (2) UUD RI 1945 yang berbunyi,

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”

Namun dalam praktiknya di Indonesia, perilaku intoleran kerap kali masih terjadi dan yang menjadi korbannya merupakan kelompok minoritas yang ada di dalam suatu wilayah tersebut.

Konflik beragama dan berkeyakinan mulai terjadi di Indonesia pada dekade tahun 1980-an hingga saat ini prakarsa dialog dalam mewujudkan kerukunan antar-umat beragama dan sosialisasi pemahaman pluralisme ini pun terus dilakukan, baik oleh para tokoh agama, intelektual muda maupun pemerintah sendiri.

Fenomena di atas menunjukkan kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empiris yang terjadi dalam masyarakat (das sein).

Seperti halnya konflik pembangunan rumah ibadah yang terjadi terhadap jemaat GKI Yasmin yang terjadi selama 15 tahun. Konflik ini bermula pada tahun 2006 ketika sebelumnya GKI Yasmin sudah mendapatkan Izin Membangun Bangunan (IMB) dari pemerintah Kota Bogor dengan Nomor 645.8-372/2006 pada tanggal 19 Juli 2006 untuk mendirikan rumah ibadah yang terletak di Jalan KH Abdullah Bin Nuh Nomor 31, Curug Mekar, Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat.

Namun, pada tahun 2007 pembangunan tersebut diprotes oleh warga dan beberapa ormas intoleran sehingga buntut dari protes tersebut, Pemerintah Kota Bogor melakukan penyegelan dan pembekuan atas IMB rumah ibadah GKI Yasmin yang sebelumnya pernah dikeluarkan.

Walaupun akhirnya jalur hukum telah dimenangkan oleh jemaat GKI Yasmin dalam putusan Nomor 127 PK/TUN/2009. Pembangunan rumah ibadah GKI Yasmin tak kunjung dibangun. Pemerintah Kota Bogor justru melakukan pencabutan IMB GKI Yasmin pada tahun 2011.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bogor pada saat itu jelas mencederai hak asasi manusia para jemaat GKI Yasmin dalam mendapatkan haknya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya.

Lalu apakah yang menyebabkan penolakan pembangunan rumah ibadah GKI Yasmin di Kota Bogor pada saat itu?

Setiap Orang Berhak untuk Beribadah

Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa memastikan setiap warganya untuk dapat melaksanakan ibadah merupakan kewajiban bagi negara untuk menjamin dan memastikan hak tersebut terpenuhi.

Menurut Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, Adapun batasan-batasan yang dapat dilakukan dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan terletak pada forum internum dan forum eksternum.

Forum internum meliputi dimensi internal berpikir, nurani, beragama, atau berkeyakinan. Sementara, forum eksternum merupakan manifestasi agama dan keyakinan tersebut yang meliputi hak bersembahyang, berkumpul, mendirikan, melestarikan, dan mengembangkan agama, mengajarkan pada tempat yang benar, mendirikan perkumpulan dan organisasi keagamaan, pembangunan sarana ibadah, hari libur agama dan hak orang tua terhadap pendidikan agama anak-anaknya.

Namun, Pemerintah Kota Bogor pada saat itu, alih-alih melindungi hak kebebasan beribadah jemaat GKI Yasmin, justru mencabut IMB pembangunan rumah ibadah GKI Yasmin melalui surat keputusan Nomor 645.45-137 pada tanggal 11 Maret 2011.

Kasus rumah ibadah tidak terjadi terhadap GKI Yasmin saja, kasus serupa terjadi di beberapa daerah – misalnya kasus rumah ibadah di Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara dan Sulawesi Tenggara. Permasalahan tersebut diakibatkan adanya Peraturan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 tahun 2006.

Kehadiran PBM sendiri sebetulnya merupakan upaya pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk dapat memberikan perlindungan bagi umat untuk mendirikan rumah ibadah tetapi terdapat beberapa kerancuan di dalam peraturan tersebut yang mengakibatkan kerap terjadi polemik dalam pembangunan rumah ibadah.

Masalah-masalah tersebut antara lain meliputi:

  1. persyaratan administrasi, teknis dan khusus pendirian rumah ibadah, dan
  2. izin sementara pemanfaatan bangunan gedung.

Maka dari itu, menurut Komnas HAM, peraturan tersebut justru menyulitkan umat beragama untuk mendapatkan IMB untuk mendirikan rumah ibadah terutama bagi penganut agama minoritas di suatu daerah. Hal tersebut dapat menjadi penyebab terlanggarnya umat dalam menadapatkan haknya untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya.

Pesan Bima Arya untuk Dunia

Lima belas tahun konflik dialami oleh para jemaat GKI Yasmin untuk mendapatkan hak mereka dalam beribadah dan membangun rumah ibadah tetapi relokasi merupakan pilihan yang dipilih oleh Pemerintah Kota Bogor. Pasalnya, Pemerintah Kota Bogor menghibahkan tanah seluas 1.668 meter persegi untuk pembangunan rumah ibadah GKI Yasmin.

Bima Arya dalam penyelesaian konflik GKI Yasmin juga mengatakan “ini bukan soal izin rumah ibadah semata. Ini adalah pesan dari Kota Bogor untuk Dunia.”

Dari sisi ekonomi, relokasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor dinilai lebih merugikan bagi jemaat GKI Yasmin – di mana lokasi awal untuk pembangunan rumah ibadah GKI Yasmin lebih strategis dibandingkan dengan lokasi relokasi yang ditentukan oleh Pemerintah Kota Bogor di wilayah Cilendek Barat.

Selain itu, upaya penyelesaian relokasi yang diambil oleh Bima Arya dinilai tidak tepat oleh beberapa pihak. Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, penyelesaian kasus GKI Yasmin yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor justru berpotensi melanggar hukum.

Hal ini menurutnya Pemerintah Kota Bogor melanggar Putusan Mahkamah Agung dan rekomendasi Ombudsman RI. Klaim yang dilakukan oleh Walikota Bogor Bima Arya merupakan narasi kekuasaan yang dilakukan karena mengabaikan suara korban dan mencari cara lain dalam menyelesaikan persoalan.

Senada dengan yang disampaikan oleh Isnur, Bona Sigalingging selaku Pengurus GKI Yasmin menyatakan menolak relokasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor. Alasannya adalah pembangunan rumah ibadah GKI Yasmin di lokasi awal sudah sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010 dan Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia Nomor 0011/EK/0259.2010/BS-15/VII/2011 tanggal 12 Oktober 2011, serta meminta Bima Arya selaku Wali Kota Bogor untuk memegang janjinya dan taat berdasarkan hukum sesuai dengan putusan Mahkamah Agung dan Ombudsman RI.

Bila benar apa yang diputuskan oleh Bima Arya sebagai Wali Kota Bogor malah dinilai tidak mendengarkan suara korban, lantas, mungkinkah keadilan antar-umat beragama benar-benar dapat terwujud di tanah air kita tercinta ini? Pertanyaan inilah yang akan selalu membekas di benak banyak orang dan, mungkin, kita semua tidak tahu jawaban pastinya.


Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Banner Ruang Publik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...