Site icon PinterPolitik.com

Persoalan Hantui Omnibus Law di MK

Persoalan Hantui Omnibus Law di MK

Suasana persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). (Foto: Media Indonesia)

Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau omnibus law telah timbulkan polemik sehingga gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pun muncul. Namun, sejumlah persoalan bisa hantui judicial review ke MK tersebut.


PinterPolitik.com

Legislasi yang ugal-ugalan, menjadi gambaran tepat untuk melihat proses pembahasan UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan. Jelas saja, proses yang diperpendek, banyaknya versi draf RUU Ciptaker yang berbeda jumlah halaman, pelibatan publik yang minim, hingga pasal-pasal yang bermasalah secara formil, tentu mengernyitkan dahi kita.

Selain itu, persoalan ketenagakerjaan yang minim perlindungan, hingga isu-isu lingkungan, dilindas begitu saja, hanya demi kemudahan investasi. Terbaru, terdapat masalah formil yang konyol, padaUU Cipta Kerja yang resmi, dituliskan Pasal 6menyebut, “peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1)…”. , ternyata Pasal 5 tidak memuat ayat apapun. Ini makin memperlihatkan kekonyolan dalam pembentukan UU a quo dan melupakan kesakralan undang-undang secara umum.

Dari banyak kekonyolan yang terjadi, serta substansi yang sama sekali tidak sejalan dengan sila kelima, ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’, tentu mengundang kemarahan publik. Kemarahan dan penolakan yang masif, diikuti oleh aksi unjuk rasa dari berbagai kalangan masyarakat, mulai dari buruh, mahasiswa, pegiat LSM, hingga tokoh-tokoh agama.

Presiden kemudian melalui menteri-menterinya dan para pendengung, menyarankan untuk melakukan uji materiil ke MK. Uji materil atau judicial review rasanya menjadi satu-satunya jalan terakhir untuk menolak UU ini, karena Perppu melalui executive review oleh Presiden tidak mungkin terjadi karena, secara politik hukum, UU ini beserta substansinya, merupakan usulan Presiden.

Legislative review juga mustahil, koalisi gemuk khas presidensial-multipartai, sudah dikantongi Presiden, praktik bagi-bagi kue, sudah cukup bagi wakil rakyat kita untuk menyanyikan lagu ‘setuju’, bila meminjam lagu Iwan Fals.

Mahkamah Konstitusi dan Persoalan Kuaifikasi Pemohon

Sebelum reformasi, kewenangan uji materiil tersebut, diberikan kewenangannya kepada MPR, yang secara logis hanya dapat melakukan legislative review, yang sarat kepentingan politis. Oleh karenanya, pasca reformasi, Negara memberikan mekanisme konstitusional bagi masyarakat yang merasa dirugikan atas berlakunya suatu undang-undang. Atas alasan tersebut, dan ketiadaan lembaga peradilan yang berwenang menguji undang-undang, Mahkamah Konstitusi kemudian didirikan dan diberikan wewenang judicial review (Wahjono dalam Hafiz, 2019).

Dalam judicial review sendiri, aspek yang sangat pentig adalah legal standing atau kedudukan hukum pemohon. Dalam Black’s law Dictionary, legal standing dianggap sebagai, “A party’s right to make a legal claim or seek judicial enforcement of a dutybor right.”

Dalam penentuan legal standing, MK menekankan pemohon dapat membuktikan adanya kerugian konstitusional langsung yang dialami pada saat undang-undang tersebut berlaku, dengan membuktikan paling tidak tiga hal, yakni: pertama, identitas untuk membuktikan bahwa pemohon masuk dalam kualifikasi yang telah ditentukan; kedua, pemohon harus membuktikan dijaminnya hak-hak tertentu oleh konstitusi; ketiga, hak tersebut terdegradasi akibat berlakunya undang-undang yang akan diujikan (Asshiddiqie, 2005).

Persoalan legal standing atau kualifikasi pemohon, sering kali menjegal para pencari keadilan. Pasalnya, majelis hakim seringkali menggunakan paradigma hukum perdata dalam melihat kerugian konstitusional seseorang, yang menjadi alasan utama dari permohonan uji materiil.

Paradigma peradilan perdata yang bersifat individualistis belum dapat dilepaskan, lantaran adanya penafsiran sempit asas point d’interest point d’action atau kepentingan hukum mendasari suatu gugatan. MK dalam menilai kualifikasi pemohon masih menggunakan alas pemikiran gugatan perdata yang didasari pada kepentingan hukum si penggugat dan adanya conflict of interest antar Individu.

Problem ini berkaitan juga dengan asas actory incumbit probatio, yang bermakna siapa yang mendalilkan, ia yang membuktikan, sehingga yang dapat membuktikan adanya kerugian individual hanyalah ia yang mendapat kerugian tersebut. Terlihat Putusan MK No. 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK No. 11/PUU-V/2007, yang memberikan restriksi lebih ketat legal standing seperti kerugian konstitusional yang dialami bersifat spesifik dan aktual, serta hubungan kausalitas antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan dan bila permohonan dikabulkan maka kerugian konstitusionalnya juga akan hilang. Rasanya, kerugian pemohon yang harus spesifik ini agak aneh, mengingat produk hukum yang diuji, berlaku untuk umum atau erga omnes.

Erga Omnes yang Bermasalah

Paradigma individualistis yang digunakan untuk melihat kualifikasi pemohon, agaknya melupakan putusan MK yang bersifat erga omnes atau berlaku umum. Konsekuensi logisnya, MK mengadili perkara-perkara yang bersifat ketatanegaraan dan bernuansa kepentingan umum. Istilah “permohonan” juga berimplikasi luas, lantaran menunjukkan bahwa perkara yang diajukan bersifat satu pihak (ex parte atau voluntair), sehingga nuansa kepentingan umum dominan dalam setiap perkara yang ditangani MK (Siahaan, 2006).

Oleh karenanya, putusan MK bersifat erga omnes, terutama judicial review yang notabene menguji undang-undang yang sifatnya abstrak dan umum atau regelling. Tentu saja, ini berbeda dengan paradigma peradilan perdata lebih melihat pada sengketa antar individu dan putusannya hanya mengikat individu yang berperkara.

Terdapat tiga model putusan MK, sebagai implikasi dari sifat erga omnes, yakni constitutief, atau meniadakan suatu keadaan hukum, declatoir atau memberikan suatu keadaan hukum barudan condemnatoir, atau menghukum salah satu pihak untuk melakukan sesuatu. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi juga dijuluki sebagai negative legislature, karena putusannya yang dapat mengubah atau meniadakan undang-undang.

Penolakan Omnibus law di Mahkamah Konstitusi

Dengan paradigma individualistis hakim, cukup rumit untuk menguji UU Ciptaker, terutama untuk memenuhi kualifikasi pemohon. Paling tidak, penolakan dapat dilakukan dengan uji formil, bila melihat penyusunan UU tersebut yang serampangan.

Uji formil atau formele toetsingrecht, dapat dilakukan dengan memperlihatkan penyusunan UU Ciptaker yang serampangan dan tidak sesuai dengan prosedur. Bahkan, uji formil memiliki efek yang lebih dahsyat, bila suatu penyusunan undang-undang terbukti tidak memenuhi aspek formil, maka keseluruhan undang-undang dibatalkan. Sayangnya, hingga hari ini, tercatat 44 permohonan uji formil dan tidak satupun yang dikabulkan MK, dengan berbagai alasan.

Artinya, para pemohon menemui jalan terjal. Apalagi, revisi UU MK terbaru yang disahkan selang beberapa bulan sebelum UU Ciptaker ini disahkan, syarat kepentingan politis. Revisi tersebut, tidak menyentuh hal-hal substansif, melainkan merubah ketentuan umur maksimal Hakim Konstitusi, yang berpotensi memperpanjang umur jabatan beberapa hakim di MK.

Walaupun tidak begitu signifikan, ketentuan ini bisa jadi merupakan upaya pemerintah untuk menggolkan banyaknya UU kontroversial, semacam Omnibus law. Di sisi lain, pendekatan hukum yang terlampau konservatif, yang juga menjangkiti MK, semakin membuat publik tak percaya. Namun, harapan tinggal harapan dan perjuangan adalah perjuangan. Teruntuk teman-teman yang sedang berjuang di Mahkamah Konstitusi, jangan sampai fakta-fakta tadi, menciutkan nyali kalian.


Tulisan milik Kahfi Adlan Hafiz, Asisten Peneliti.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version