HomePolitikPerburuan Rente Hantui Pilkada?

Perburuan Rente Hantui Pilkada?

Oleh M. Arief Virgy, Insight Analyst di Yayasan Madani Berkelanjutan

Pilkada langsung dianggap menimbulkan biaya dan ongkos politik yang tinggi bagi para calon kepala daerah. Akibatnya, perilaku perburuan rente (rent-seeking) turut timbul. Kira-kira, solusi tepat apa yang perlu dilakukan pemerintah?


PinterPolitik.com

Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada tahun 2020 yang akan dilaksanakan serentak di 270 daerah, muncul wacana perubahan mekanisme dari pemilihan langsung oleh rakyat ke pemilihan tidak langsung – menjadikan DPRD wilayah setempat berwenang memilih kepala daerahnya. Wacana tersebut datang mengingat ongkos politik di Indonesia yang sangat mahal.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik Piliang menyebutkan bahwa lembaganya pada tahun 2012 melakukan riset yang menunjukkan bahwa calon bupati atau walikota membutuhkan uang sebesar Rp 20-50 miliar untuk berkompetisi dalam Pilkada.

Sementara, penghasilan kepala daerah bila dihitung bersih hanya berkisar Rp 50 juta per bulan atau Rp 3 Miliar selama lima tahun masa jabatan. Oleh karenanya, para calon kepala daerah dinilai mencari cara untuk mendanai ongkos politik yang terlewat mahal tersebut. Salah satu cara yang kerap ditempuh oleh calon kepala daerah adalah melalui praktik perburuan rente (rent-seeking).

Praktik ini berkembang melalui pendanaan kampanye di mana donatur memberikan dana kepada calon kepala daerah dengan syarat bahwa calon kepala daerah tersebut – apabila terpilih – akan memberikan kemudahan perizinan dalam berbisnis hingga kemudahan keterlibatan dalam lelang pengadaan barang dan jasa pemerintah kepada donator tersebut. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) setidaknya mencatat pada tahun 2017-2018 – atau tepatnya pada saat pelaksanaan Pilkada berlangsung, terdapat 170 izin tambang baru yang dikeluarkan.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2015 mencatat bahwa dari 286 calon kepala daerah yang gagal memenangkan kontestasi, 161 di antaranya mengakui bahwa donator yang mendanai pendanaan kampanyenya mengharapkan adanya balasan di kemudian hari.

Mahalnya ongkos politik di Indonesia disinyalir karena calon kepala daerah memerlukan logistik-logistik kampanye untuk menggaet hati para pemilih. Bahkan, menurut survei yang dilakukan oleh Charta Politika pada tahun 2019 di Jakarta menunjukkan bahwa politik uang menjadi hal yang dimaklumi oleh 58,2% dari 2.400 responden.

Artinya, mayoritas masyarakat masih berkutat dengan ekonomi dan hal ini menyebabkan masyarakat memiliki perilaku memilih yang pragmatis alih-alih rasional. Dalam beberapa riset, untuk mencapai demokrasi yang ideal – salah satunya dimanifestasikan oleh rasionalnya perilaku memilih dari masyarakat, dibutuhkan minimal enam ribu dolar Amerika Serikat (AS) (sekitar Rp 84 juta) per kapita berdasarkan daya beli paritas.

Baca juga :  Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Namun, kenyataannya posisi pendapatan per kapita Indonesia berdasarkan daya beli paritas hanya memiliki pendapatan sebesar empat ribu dolar AS (sekitar Rp 56 juta). Tentu, menjadi kerawanan tersendiri apabila melihat kenyataan demikian karena Indonesia belum mencapai ambang batas pendapatan per kapita yang aman untuk mencapai demokrasi yang ideal.

Untuk itu, Pilkada asimetris boleh saja menjadi opsi terbaik yang dapat diterapkan saat ini. Pemilu asimetris merupakan mekanisme pemilihan campuran berdasarkan kemampuan di tiap daerah.

Dalam konteks Indonesia, sebenarnya pemilu asimetris sudah dilaksanakan di beberapa daerah, seperti di Aceh, DKI Jakarta, Yogyakarta, hingga Papua. Perbedaan sosial, budaya, geografis, hingga kemampuan ekonomi serta pembangunan sumber daya manusia di tiap daerah menjadi benang merah mengapa Pilkada asimetris menjadi opsi yang patut dicoba.

Selain itu, kebijakan one size fits all tidaklah cocok diterapkan di daerah yang memiliki kemajemukan kondisi. Pemilu asimetris ini sudah mulai dipertimbangkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dengan diperintahkannya Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri agar membuat indeks kedewasaan demokrasi.

Nantinya, indeks kedewasaan demokrasi akan menentukan mana daerah yang menggunakan mekanisme pemilihan langsung dan mana daerah yang menggunakan mekanisme pemilihan lewat DPRD setempat.

Akan tetapi, ke depannya, pemilihan secara langsung harus tetap dilaksanakan. Hal ini penting mengingat pemilihan secara langsung merupakan salah satu sarana untuk penguatan peran masyarakat dalam konstelasi politik.

Selain itu, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam konstitusi – tepatnya pada Pasal 6A ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terlihat bahwa sistem pemerintahan presidensial merupakan corak yang berusaha dibangun dan diperkuat. Dengan demikian, untuk membangun dan memperkuat sistem pemerintahan presidensial, kepala daerah sebaiknya juga dipilih langsung oleh rakyat.

Agar dampak negatif dari Pilkada langsung – berupa ongkos politik yang mahal – dapat dicegah, pemerintah perlu menjaga pertumbuhan ekonomi tumbuh secara merata. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5% di tengah ketidakpastian global memang patut diapresiasi.

Namun, faktanya besaran persentase pertumbuhan ekonomi tersebut hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Hal ini terlihat dari peringkat kesenjangan Indonesia yang menempati posisi keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand.

Bahkan, berdasarkan catatan Lembaga Keuangan Swiss Credit Suisse, satu persen warga Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Untuk itu, program-progra pemberdayaan masyarakat yang konstruktif – seperti program pemberdayaan UMKM yang keluar dari rutinitas atau metode businesss as usual, hingga pemerataan akses pendidikan kepada masyarakat sebagai jalan untuk menghapus kemiskinan struktural – adalah sekelumit cara untuk mengurangi kesenjangan tersebut.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dengan pemerataan ekonomi yang baik, perilaku memilih dari masyarakat beralih dari sifatnya yang mulanya pragmatis untuk memenuhi kebutuhan ekonomi menjadi lebih rasional sehingga pemimpin yang terpilih tersebut dipilih berdasarkan kapasitas dan kompetensi. Perubahan perilaku memilih masyarakat yang lebih rasional juga diharapkan akan memangkas ongkos politik yang ada sehingga praktik perburuan rente makin bisa diminimalisir.

Selain pemberdayaan masyarakat secara ekonomi, hal yang patut tetap dijadikan perhatian oleh pemerintah adalah adanya ruang yang tetap terbuka bagi masyarakat untuk turut serta dalam proses kebijakan publik melalui prinsip tata kelola pemerintahan yang bersifat good governance. Prinsip ini menjadikan masyarakat memiliki daya tawar yang tinggi dalam proses perumusan kebijakan publik.

Masyarakat tidak lagi hanya dijadikan objek dari kebijakan publik, melainkan juga dijadikan subjek pembuatan kebijakan publik sebagai stakeholder. Selain itu, prinsip ini dapat menjadikan proses checks and balances dari rakyat kepada pemerintah berjalan dengan baik.

Hal ini dapat menutup rantai praktik perburuan rente karena masyarakat secara terbuka dan berkala dapat melakukan pengawasan kepada pemerintahan. Berkaitan dengan tata kelola good governance, salah satu hal yang harus dipenuhi adalah aspek akuntabilitas dan transparansi sebagai prasyarat mencapai prinsip tersebut.

Namun, faktanya keterbatasan akses data oleh masyarakat – seperti data Hak Guna Usaha (HGU) lahan – menjadi hal yang kontraproduktif dengan aspek akuntabilitas dan transparansi dalam agenda tata kelola good governance. Untuk itu, demokratisasi data kepada publik penting dilakukan agar membuka ruang bagi masyarakat guna turut serta dalam setiap proses perumusan kebijakan publik.

Ketersediaan data menjadi hal yang penting bagi masyarakat karena basis argumen masyarakat untuk mengusulkan suatu hal dalam proses perumusan kebijakan publik adalah data. Selain itu, data juga menjadi basis bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintahan sehingga kebijakan yang tidak tepat sasaran dan tepat guna – sebagai akibat dari praktek perburuan rente – dapat dihindari.

Tulisan milik M. Arief Virgy, Insight Analyst di Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...