Kekuatan mantan pensiunan Jenderal TNI ini juga tidak main-main. Bahkan secara terbuka mereka menjadi bagian dari voluntarisme baru dalam dinamika relawan-relawan yang mendukung Jokowi.
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]llan Nairn, pada April 2017 mempublikasikan sebuah hasil investigasi yang cukup membuat wacana politik memanas karena bersamaan dengan Pilkada DKI Jakarta. Allan Nairn, seorang jurnalis investigasi menjelaskan bagaimana demo yang dilakukan selama berjilid-jilid itu merupakan dalih untuk melakukan makar terhadap Presiden Jokowi. Garis besar yang dikemukakan Allan adalah langkah Jokowi dalam menyikapi peristiwa pembantaian sipil 1965—dan lebih cenderung melakukan konfrontasi langsung dalam tradisi rahasia dalam tubuh militer.
Yang lebih mencengangkan, seperti dijelaskan oleh Allan di The Intercept—silang politik militer-pengusaha dalam usaha mendongkrak isu penistaan agama Ahok pun tidak bisa dikatakan sebagai hal yang biasa—bahkan nama SBY disebut sebagai salah satu pemberi dana—didukung dengan pernyataan Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Laksamana (Purn) Soleman B. Ponto.
Konteks politik di atas bukan pandangan yang baru dalam dinamika politik Indonesia. Buah reformasi bukan hanya mendorong kehidupan yang lebih demokratis—ada ruang politik yang memang mengalami reorganisasi yang mengambil bentuk masih sama dari apa yang ditumbangkan pada Orde Baru. Ruang politik yang direorganisasi tersebut adalah masih adanya kekuatan-kekuatan politik lama, sebuah persilangan politik antara elit-elit militer-pengusaha-politisi Orde Baru yang membuat wajah demokrasi Indonesia masih saja harus balik dalam pengaruh romantisme kekuatan-kekuatan politik rezim tersebut.
Pilpres tahun 2014 merupakan titik balik yang baik dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Wajah moralitas pemimpin sipil terpilih, meskipun melalui persaingan yang sengit—Jokowi-JK mampu menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Pemandangan terulang setelah SBY 10 tahun memimpin, tetapi masih ada rasa was-was yang tinggi sejauh mana pemimpin dari sipil dapat bertahan.
Pengalaman tiga Presiden Indonesia dari sipil sangat menyedihkan—hampir semuanya tidak sampai memimpin selama lima tahun. BJ Habibie hanya berkuasa selama lima bulan, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hanya sembilan bulan, dan Megawati Sukarnoputri yang memimpin selama tiga tahun tiga bulan. Pergumulan politik tiga Presiden dari sipil ini menjadi penanda kompleksitas yang dihadapin oleh Presiden dari sipil di Indonesia.
Pilpres 2019 juga menjadi pertarungan politik yang sama. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno juga menunjukkan pemandangan yang tidak jauh beda. Soal Tim Pemenangan kedua kubu, rasanya citra strategi militer masih sangat diperlukan untuk merebut kursi Presiden. Djoko Santoso, mantan Panglima TNI pada tahun 2007-2010 digadang-gadang menjadi calon ketua Timses pasangan Prabowo-Sandi.
Kubu Jokowi-Ma’ruf juga memasang para Jenderal dalam Tim Pemenangan—Mantan Panglima TNI Moeldoko masuk sebagai Wakil Ketua Tim Pemenangan. Nama-nama lain seperti Marsetyo dan Lodewijk F. Paulus juga bagian dari Jenderal yang masuk dalam jajaran Tim Pemenangan. Kehebohan terakhir yang menguat di publik adalah posisi mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo—yang sebagian relawannya sudah mendukung Jokowi-Ma’ruf sepertinya juga akan terlibat lobby politik khusus untuk mendukung Jokowi. Hal ini didukung oleh pernyataan Bambang Soesatyo tentang sosok calon Ketua Tim Pemenangan adalah non-parpol dan berlatarbelakang militer.
Operasi Politik Jenderal
Karakter wilayah dan demografi yang kompleks menjadi faktor utama mengapa kekuatan dan fungsi Militer dalam suksesi politik di Indonesia masih menjadi format pemenangan menuju kekuasaan. Marcus Mietzner dalam sebuah Working Paper yang berjudul The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia : Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance menggarisbawahi keberhasilan reformasi militer secara sistem sudah sangat baik. Tetapi, di sisi lain persoalan krusial yang menjadi masalah adalah pengaturan kebijakan yang baik dalam hal sistem komando teritorial (territorial command structure).
Kelemahan inilah yang membuat bagaimana pengaruh Militer dalam penguasaan sumber daya di daerah dan menjadi pemain-pemain baru dalam politik lokal. Doktrin teritorial ini membentuk kebudayaan baru dalam tradisi politik didalam kubu militer—bahwa pengumpulan informasi dalam teritorial tertentu haruslah bersinggungan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
Pilpres 2019 menjadi battlefield yang menarik dalam pertarungan para pensiunan Jenderal. Luhut Binsar Panjaitan dan AM Hendropriyono merupakan dua pentolan Jenderal yang menjadi arsitek penting di balik sukses kepemimpinan Jokowi. Luhut Binsar Panjaitan, pada awal masa kepemimpinan Jokowi menjabat Kepala Staf Kepresidenan—posisi strategis dengan citra lobbyist yang mirip pola birokrasi West Wing di Amerika Serikat dan sekarang menjadi Menko Kemaritiman.
AM Hendropriyono meskipun tidak terlibat dalam jabatan publik tetapi menjadi orang penting di balik kepemimpinan Jokowi—terakhir meloloskan PKPI menjadi peserta Pemilu 2019, dan menjadikan anaknya Diaz Hendropriyono menjadi Ketua Umum partai tersebut menggantikannya. Selain dua orang ini, ada Agum Gumelar, Sidarto Danusubroto, Ryamizard Riyacudu, Moeldoko, Subagyo Hadi Siswoyo, dan Yusuf Kartanegara.
Kekuatan mantan pensiunan Jenderal TNI ini juga tidak main-main. Bahkan secara terbuka mereka menjadi bagian dari voluntarisme baru dalam dinamika relawan-relawan yang mendukung Jokowi. Baru-baru ini Luhut Binsar Panjaitan mendeklarasikan sebuah gerakan relawan yang diberi nama Cakra 19 yang diketuai oleh Mantan Seskab Andi Widjajanto—seorang pakar studi militer dan keamanan yang merupakan anak dari Mayjen TNI (Purn) Theo Syafei.
Cakra 19 merupakan organisasi relawan yang beranggotakan purnawirawan TNI. Dilihat dari peran voluntarisme para pensiunan TNI pada tahun 2014, Luhut Binsar Panjaitan juga membentuk sebuah unit relawan khusus yang diberi nama Bravo 5. Unit relawan diyakini memiliki akses terhadap informasi keamanan dan kemampuan rekayasa sosial yang berdampak pada peningkatan elektabilitas Jokowi pada tahun 2014.
Peran Jenderal dalam kubu Prabowo juga tak kalah penting, meskipun belum terlihat secara jelas. Tokoh utama koalisi seperti mantan Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY), Kivlan Zen, dan Djoko Santoso menjadi aktor-aktor penting yang sekarang menjadi backbone dalam mendukung strategi pemenangan kubu Prabowo. Tampaknya dari sisi strategi, kebutuhan akan sosok pensiunan militer menjadi penting di kubu Prabowo.
SBY yang menjabat sebagai Presiden selama 10 tahun tentu sangat menguasai bagaimana logika politik berjalan dalam pertarungan Pilpres. Maka untuk mengisi jabatan Ketua Tim Pemenangan, kubu Prabowo juga mempertimbangkan bagaimana struktur tim pemenangan Jokowi, terutama terkait posisi Ketua Tim Pemenangan dari kubu Jokowi.
Kemampuan strategi dan penguasaan wilayah yang dimiliki oleh TNI dinilai menjadi nilai plus dalam proses pertarungan politik. Pengaruh TNI yang sangat luas dalam hal keamanan sampai dengan informasi ekonomi, sosial, dan politik menjadikan memasang pensiuan Jenderal dapat memberikan formula strategi politik yang berdampak pada peningkatan efek elektoral.
Selain itu, doktrin lain penting menggaet para pensiunan Jenderal TNI adalah kemampuan dalam hal diplomasi politis dan pembangunan metode-metode penggalangan massa berbasiskan pendekatan intelijen. Menjadikan pensiunan TNI sebagai bagian dari Tim Pemenangan juga upaya untuk menkonsolidasikan kekuatan militer, membantu untuk memahami perkembangan kondisi internal, dan sebagai agen untuk mendorong stabilitas politik yang dihasilkan dari benturan-benturan politik.
Tantangan Demokratisasi Indonesia
Penghapusan Dwifungsi ABRI tentu saja menjadi penanda penting hadirnya moralitas pembangunan kehidupan masyarakat sipil yang lebih baik. Lewat Reformasi TNI yang digulirkan—secara sistematis TNI didorong untuk fokus kembali pada peran sebagai penjaga keamanan dan kedaulatan negara—terpisah dari aktivitas politik. Penguatan hak-hak sipil yang meliputi sosial, ekonomi, politik perlu melibatkan wajah masyarakat sipil yang memiliki wibawa dalam menjaga konsolidasi demokrasi di Indonesia agar tetap berjalan maju.
Partai politik yang memiliki pola budaya organisasi yang baik, rekrutmen dan regenerasi politik yang berkelanjutan, dan meningkatnya kapasitas dan partisipasi masyarakat untuk mengakses dan membangun wajah demokrasi yang lebih baik. Dengan dorongan seperti ini, hubungan sipil-militer haruslah berjalan saling mendukung. Pimpinan militer dalam alam demokrasi terbuka seperti sekarang, harus juga dapat mengembangkan nilai civilized culture bukan malah menjadi mendua menguasai ruang-ruang yang tak seharusnya dihuni.
Fenomena politik para pensiunan Jenderal TNI bisa saja menjadi penanda yang baik, karena bagian dari upaya partisipasi warga negara. Menjadi buruk ketika kekuatan-kekuatan para pensiunan Jenderal TNI mempengaruhi posisi profesional organisasi TNI dalam kontestasi politik. Menghadirkan proses politik yang mengedepankan martabat etos nilai kekuatan demos dalam kehidupan demokrasi lebih penting, daripada menguatkan kekuatan demokrasi dari sisi up to bottom.
Akhirnya, bagaimana menghadirkan pertarungan politik yang baik dalam rangka menyehatkan kehidupan demokrasi merupakan jalan pikiran utama kita pada Pilpres 2019. Jangan sampai leksikon politik kita hari ini dipenuhi oleh elit politik yang minim diskursus untuk menyehatkan demokrasi kita. Bagaimanapun, hari ini kita butuh pembanguna kehidupan sipil yang kuat untuk melewati tantangan demokrasi kita.
Penulis merupakan seorang Peneliti dan Direktur Eksekutif Depublica Institute (Center for Local Development Research and Studies), juga menjadi associate consultant di Visi Strategic Consulting.