Belakangan ini, semakin ramai wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dengan alasan pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19. Apakah ini hanya menjadi wacana atau malah bisa menjadi bencana?
Pasca Reformasi tahun 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, Indonesia telah bersepakat bahwa untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik provinsi maupun kabupaten/kota maka dilakukan melalui Pemilihan Umum yang dilakukan setiap lima tahun sekali secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana dimandatkan pada UUD 1945 Pasal 22E tentang Pemilihan Umum.
Namun, hal ini bukan tidak mungkin untuk dilanggar demi untuk mempertahankan jabatan oleh segelintir atau kelompok orang dengan alibi politiknya dan dengan memanfaatkan situasi yang terjadi, sebagaimana yang terjadi saat ini.
Sebagaimana telah diketahui, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar mendorong agar pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda karena alasan faktor ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19. Dengan sistem politik yang diadopsi oleh Indonesia yakni melalui lembaga perwakilan maka bukan tidak mungkin wacana ini dapat terwujud – mengingat ketiga partai yakni PKB, PAN, dan Golkar masing-masing memiliki perwakilan (fraksi) di Parlemen untuk mendorong suatu kebijakan.
Alasan normatif dari ketiga Partai untuk mengusulkan ditundanya Pemilihan Umum tahun 2024 adalah agar pemerintah fokus terhadap pemulihan ekonomi nasional akibat Pandemi Covid-19, tetapi hal ini tidak dapat dijadikan alasan mengingat waktu Pemilu baru akan dilakukan dua tahun ke depan sehingga Indonesia memiliki waktu yang cukup untuk melakukan pemulihan ekonomi nasional.
Perlu diketahui bahwa penundaan Pemilu akan berdampak kepada beberapa hal salah satunya adalah perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, yang dapat dilakukan salah satunya dengan memaksa untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 terkait masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden Joko Widodo sebenarnya sejak tahun 2019 dengan tegas menolak untuk memperpanjang masa jabatannya merespons wacana Presiden tiga periode yang digulirkan pada saat itu. Polemik penundaan Pemilu 2024 saat ini mendapatkan penolakan oleh berbagai kalangan termasuk Partai Pemerintah Seperti PDIP, Gerindra, NasDem, maupun Partai Oposisi seperti PKS dan Demokrat.
Penolakan juga datang dari kelompok masyarakat umum yang tidak menginginkan adanya penundaan Pemilu tahun 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Penolakan masyarakat tersebut salah satunya didasarkan pada tromatik yang dialami selama 32 tahun kekuasaan rezim Orde Baru kekuasaan Presiden Soeharto.
Yudhistira (dalam Padli, 2021:9) berpendapat dengan mengutip Disertasi Bill Gelfald, ia menjelaskan bahwa apabila Presiden memegang kekuasaan dalam waktu yang lama dengan memperpanjang masa jabatan bahwa studi di beberapa negara justru menunjukkan penyimpangan yang dilakukan presiden yang berdampak negatif – seperti di negara pecahan Uni Soviet yang pendapatan domestik Bruto per kapita menurun per tahun setelah masa jabatan Presiden diperpanjang, dan terjadi kemunduran aspek hak politik setelah empat tahun Presiden memperpanjang masa jabatan.
Konstitusionalitas batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden sebagai persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden sudah terlebih dahulu dilakukan oleh Amerika Serikat (AS). Sebagai negara yang pertama kali menerapkan sistem presidensiil. Meskipun kemudian berbicara masa jabatan periodisasi presiden, amerika punya catatan hitam akan hal itu.
Selain berdampak terhadap perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, usulan penundaan Pemilu juga akan berpotensi memperpanjang masa jabatan anggota DPR yang juga direncanakan akan dilakukan pemilihan secara bersamaan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di bulan Februari tahun 2024. Meskipun masa DPR merupakan lembaga yang tidak dibatasi masa jabatannya dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya, tetapi harus dilakukan melalui Pemilihan Umum yang diadakan setiap lima tahun sekali. Dengan begitu, maka memperpanjang dengan cara menambah masa jabatan DPR tanpa melalui prosesi Pemilu juga merupakan suatu bentuk tindakan yang bertentangan dengan amanat UUD 1945.
Wacana penundaan Pemilu tahun 2024 yang dikemukakan oleh tiga Partai Politik adalah salah satu upaya yang inkonstitusional serta akan menjadi bencana bagi masyarakat Indonesia. Hal ini perlu mendapat perhatian serta penolakan dari berbagai pihak termasuk masyarakat dengan kebebasan berpendapat yang dimiliki sebagai bentuk penekanan terhadap upaya-upaya yang bertentangan dengan Konstitusi serta berpotensi merugikan masyarakat, bangsa dan negara.
Di sisi lain, diperlukan sikap tegas dari Presiden untuk menolak usulan penundaan pemilu 2024 yang diinisiasi oleh ketiga partai pendukungnya di Pemerintahan, sehingga menunjukkan keberpihakan Presiden kepada masyarakat.
Sebagai negara yang berlandaskan hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) maka seluruh proses penyelenggaraan bernegara harus sesuai dengan aturan dan ketentuan hukum yang berlaku. Salah satunya terkait dengan Pemilihan Umum yang sudah seharusnya dilakukan setiap lima tahun sekali. Oleh karena itu, maka untuk menjaga agar Negara Indonesia tetap berjalan sesuai dengan Konstitusi maka perlu adanya sikap tegas dari semua pihak untuk menolak wacana penundaan Pemilu 2024.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Jendela Politik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.