Site icon PinterPolitik.com

Pemilu dalam Bayangan Kapitalisme Pengawasan

gedung mpr dpr ri

Gedung MPR DPR RI. (Foto: PinterPolitik/Jasuma Fadholi)

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin


PinterPolitik.com

“Saya tahu dalamnya partai seperti apa. Ingin mereka menuju ke mana saya juga ngerti,” -Presiden Joko Widodo, dalam Rapat Kerja Nasional relawan Sekretariat Nasional Jokowi (16 September 2023).

Lembaga-lembaga intelijen negara seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS TNI), dan Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam Polri) adalah penyuguh informasi tersebut. Ternyata mereka bukan satu-satunya pihak yang mengawasi hal tersebut. 

Ucapan Jokowi sontak mengundang gemuruh komentar. Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengungkapkan kekhawatirannya atas pengawasan negara.  

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pengawasan intelijen terhadap partai politik tidak kompatibel dengan demokrasi. Lalu, apakah intelijen negara yang disebut Jokowi menjadi satu-satunya pihak yang melakukan pengawasan terhadap warga dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024? 

Siapa yang Mengawasi? 

Jawabannya: tidak. Selain alat-alat intelijen negara, terdapat “aktor lain” yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita di ranah daring selama 24 jam dalam tujuh hari.  

Berbeda dengan lembaga-lembaga intelijen negara yang ditakuti warga ketika melakukan pengawasan, keberadaan “aktor” lain ini justru seringkali tidak disadari. “Aktor lain” itu adalah korporasi digital yang menawarkan platform digital sebagai produknya. 

Perputaran uang platform digital sangat menjanjikan. Dikutip dari Yahoo! Finance, akumulasi pendapatan empat perusahaan teknologi terbesar di Amerika Serikat (Apple, Microsoft, Alphabet, dan Meta) dalam tahun fiskal 2022 mencapai US$255 miliar.  

Angka ini lebih besar 40 persen dari pendapatan lima perusahaan minyak terbesar di negara tersebut (Chevron, ExxonMobil, Shell, British Petroleum, dan TotalEnergies). Padahal, layanan yang diberikan Alphabet (Google) dan Meta dapat kita nikmati secara cuma-cuma.  

Oleh karenanya, penting untuk memahami bisnis model yang mereka jalankan. Tanpa mengetahuinya, kita akan menganggap bahwa mereka menyediakan platform gratis bagi warga untuk berkomunikasi dan bertukar informasi melalui sarana internet.  

Bayangan Kapitalisme Pengawasan 

Shoshana Zuboff, seorang profesor Harvard Business School, dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism (2019), menyebut model bisnis ini sebagai kapitalisme pengawasan.  

Kapitalisme pengawasan adalah sebuah tatanan ekonomi yang menganggap pengalaman manusia sebagai bahan baku gratis untuk praktik komersial tersembunyi, termasuk ekstraksi, prediksi, dan penjualan.  

Surplus perilaku (behavioral surplus) menjadi instrumen utama dari kapitalisme jenis ini. Surplus ini diperoleh dari aktivitas pengawasan dan perekaman aktivitas pengguna yang dilakukan oleh korporasi untuk menghasilkan data perilaku (behavioral data).  

Data perilaku ini diolah, untuk kemudian menghasilkan prediksi pola konsumsi, keputusan, dan interaksi sosial dari sang pengguna. Data prediksi ini kemudian dijual kepada pelanggan, baik untuk kepentingan ekonomi maupun politik. 

Setidaknya terdapat dua pengaruh kapitalisme pengawasan terhadap demokrasi yang harus diperhatikan, terutama jelang Pemilu. Pertama, pelanggaran privasi. Skandal Cambridge Analytica dan intervensi Rusia pada Pilpres Amerika Serikat 2016 menjadi pelajaran berharga.  

Meskipun Meta sudah meminta maaf dan melakukan perbaikan, namun ancaman pelanggaran privasi masih ada selama model bisnis platform media sosial masih bergantung pada surplus perilaku. Meminjam istilah Zuboff, menuntut korporasi untuk berhenti mengumpulkan data perilaku pengguna sama saja dengan menuntut korporasi itu bunuh diri.  

Dalam keadaan deadlock seperti ini keberadaan negara diperlukan. Namun, UU Perlindungan Data Pribadi yang disahkan tahun lalu tampaknya masih belum bisa dilaksanakan secara efektif hingga Pemilu 2024 mendatang, mengingat peraturan pelaksana yang tak kunjung rampung. 

Kedua, profit yang dihasilkan dari dari propaganda di media sosial. Wijayanto dalam tulisannya yang dimuat di Kompas pada 20 Juni 2023, memperingatkan penggunaan propaganda komputasi oleh pasukan siber telah mewarnai kampanye pemilu di setidaknya 81 negara di dunia. Manipulasi opini publik ini dapat berujung pada polarisasi.  

Parahnya, korporasi media sosial justru memperoleh profit dari polarisasi ini. Algoritma platform menciptakan kondisi echo chamber, yaitu keadaan di mana konten yang ditampilkan pada halaman media sosial pengguna dibuat berdasarkan rekaman aktivitas-aktivitas sebelumnya untuk menghasilkan “informasi relevan”.  

Hal ini membuat halaman media sosial pengguna hanya diisi oleh konten-konten yang ia sukai dan sejalan dengan pikiran atau kepercayaannya. Suguhan ini membuat informasi yang diperoleh pengguna tidak berimbang, sehingga tembok kecurigaan pada kelompok lain semakin tebal. Polarisasi pun terjadi. 

Polarisasi akibat suguhan “informasi relevan” yang ditampilkan membuat aktivitas pengguna di platform semakin lama, yang dapat dikonversi menjadi surplus perilaku. Apalagi ditambah dengan judul propaganda yang biasanya sensasional, dapat meningkatkan traffic ke platform yang membuatnya menjadi lebih seksi di mata para pengiklan. 

Mendorong Tanggung Jawab Platform 

Penggunaan platform media sosial dalam Pemilu memiliki dampak positif. Namun, dampak negatif akibat praktik pengawasan yang dilakukan juga perlu mendapat perhatian khusus. 

Bagaimanapun, sebagai sebuah entitas yang meraup profit, platform media sosial memiliki tanggung jawab terhadap HAM, terutama hak atas informasi yang kredibel, hak privasi, dan hak atas rasa aman bagi warga. Negara, sebagai duty bearer HAM, wajib untuk mengawasi pemenuhan tanggung jawab ini oleh platform media sosial. 

Namun, pembatasan yang berlebihan oleh negara justru berpotensi melanggar kebebasan berekspresi secara berlebihan. Maka, langkah-langkah yang dilakukan oleh negara harus berfokus pada pemenuhan tanggung jawab platform, alih-alih menjadi “polisi konten”.  

Untuk itu, pertama, negara dapat mempercepat pengesahan peraturan pelaksana UU PDP dengan partisipasi bermakna dari masyarakat sipil. Payung hukum yang jelas menjadi modal utama untuk menindak perusahaan-perusahaan yang abai terhadap tanggung jawab HAM-nya. 

Kedua, mendorong platform meningkatkan kuantitas maupun kualitas moderator konten lokal. Ketika menentukan sebuah konten berbahaya atau tidak bagi kualitas demokrasi, platform perlu memahami konteks sosial-politik sebuah negara. Maka, keberadaan moderator konten lokal penting untuk mencegah propaganda kebencian berdalih kebebasan berekspresi. 

Ketiga, mendorong platform meningkatkan aksesibilitas aduan dengan kantor nasional. Selama ini, aduan untuk konten berbahaya kebanyakan menggunakan sistem terotomatisasi. Akibatnya, banyak aduan yang tidak mendapatkan penanganan sebagaimana semestinya.

Keberadaan kantor pengaduan di tingkat nasional dapat memberikan rasa aman lebih kepada warga apabila ada propaganda yang mengancam. 

Terakhir, mendukung keterlibatan masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan moderasi konten oleh platform. Masyarakat sipil, terutama yang merepresentasikan kelompok rentan, memiliki kepakaran yang dapat membantu platform untuk mengidentifikasi konten berbahaya.

Partisipasi bermakna dapat mencegah platform untuk memperoleh keuntungan dari model bisnisnya yang bermasalah. 


Opini adalah kiriman dari M. Hafizh Nabiyyin. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.


M. Hafizh Nabiyyin adalah anggota Divisi Kebebasan Berekspresi, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).

Exit mobile version