Pancasila merupakan upaya integrasi nasional atas sejumlah kelompok di Indonesia. Namun, bagaimanakah Pancasila kini diserapi?
PinterPolitik.com
“Ku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.” – Soekarno (1965)
Selama periode pasca-kolonial Belanda, pemikiran politik Indonesia telah didominasi oleh dua kelompok utama, Islamis dan Nasionalis yang berpandangan sekuler. Pancasila dilihat oleh kaum nasionalis sebagai cara yang inklusif dan dapat memberikan dasar untuk menjalin kebersamaan bagi berbagai elemen berbeda yang membentuk Indonesia.
Pada akhirnya, kelompok nasionalis menjadi kelompok yang unggul karena ide mereka membawa konsep pluralisme dan inklusivisme dalam politik. Terlebih, mereka membawa paham demokrasi sekuler yang dianggap cocok dalam menyatukan Indonesia.
Pengaruh kaum nasionalis sangat terasa, khususnya dalam penjabaran Pancasila, dimana tertulis (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan dan perwakilan, dan (5) Keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.
Makna kalimat ditafsirkan sebagai jalan tengah antara banyak ideologi yang bersaing dan lebih lanjut dijabarkan dalam Pembukaan UUD 1945. Konsep integrasi yang berdasarkan “pluralisme” dan “inklusivisme” di kelompok ini mengungkapkan bahwa mereka sebenarnya menginginkan semacam demokrasi liberal seperti yang diterapkan di barat.
Namun, Pembukaan UUD 1945 tersebut telah meningkatkan status Pancasila menjadi tidak dapat diganggu gugat dan bersifat staatsfundamentalnorm atau norma dasar negara. Alasan utama mengapa Pancasila diidentifikasi sebagai norma dasar negara adalah karena sifatnya yang sangat abstrak dan tidak praktis.
Tidak bisa dipungkiri, dalam perjalanannya kelompok nasionalis tersebut gagal dalam membedakan antara “liberalisme” dan “komunisme”. Ini dicerminkan oleh kurangnya kerangka kerja yang koheren dan holistik untuk menjawab kebutuhan akan pelembagaan elemen-elemen demokrasi.
Pelembagaan tersebut merupakan dasar bagi sebuah negara demokrasi. Keyakinan kuat terhadap Pancasila ini akhirnya menjebak proyek reformasi yang digaungkan oleh banyak kaum intelektual menjadi proyek melestarikan nilai komunitarian tradisional sambil merayakan keniscayaan demokrasi dalam bentuk pemilu, sehingga tidak banyak perubahan signifikan terjadi.
Menurut Magnis Suseno, Pancasila memang dirancang untuk menjadi ungkapan tentang nilai-nilai komunal sistem etika Jawa yang cenderung terlalu menekankan pemeliharaan harmoni dalam pelaksanaan debat terbuka dan bebas.
Walaupun pada awal masa reformasi ada guncangan yang keras pada konsep integrasi nasional dalam Pancasila, Pancasila selalu menemukan jalan kembali ke hati tokoh-tokoh Indonesia. Ini ditunjukkan oleh Presiden B.J. Habibie, di mana ia mendesak Pancasila untuk terus diaktualisasikan dan diintegrasikan sebagai identitas nasional yang pada akhirnya dapat menginspirasi negara dan perilaku nasional.
Hal ini jauh dari konsep reformasi yang seharusnya dilakukan, sehingga reformasi dianggap gagal mereformasi paham Pancasila itu sendiri. Meskipun Demokrasi Pancasila tidak disukai oleh banyak kalangan, apalagi Pancasila telah digunakan Suharto untuk melanggengkan otoritarianismenya, yang terjadi malah dalam beberapa tahun terakhir tumbuh minat publik yang mendorong revitalisasi wacana Demokrasi Pancasila.
“If Men were angels, no government would be necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal controls on government would be necessary” – James Madison (1788)
Sistem hukum di Indonesia pada awalnya bersifat adat dan berakar pada nilai-nilai komunal feodalistik. Menurut Van Vollenhoven, hukum tersebut dikenal sebagai Adatrecht dan diterapkan secara eksklusif untuk penduduk daerah tersebut.
Namun, hukum ini gagal memenuhi definisi hukum modern karena tidak ditulis dengan cara yang memungkinkan bagi masyarakat untuk dengan mudah memahaminya. Sampai sekarang, Indonesia masih memberlakukan hukum pidana dan perdata kolonial yang sampai sekarang belum memiliki terjemahan resmi dan masih memiliki banyak pasal “karet”, yaitu pasal yang dengan sengaja definisinya dibuat multi-tafsir.
Kedua hal tersebut menekankan supremasi penguasa sehingga memperbolehkan rezim untuk melakukan banyak tindakan represif. Tindakan tersebut sangat terasa khususnya pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.
Namun, reformasi tidak serta merta mengubah hukum kolonial di Indonesia, malah pemerintah dengan sengaja menambah daftar undang-undang yang bernuansa kolonial. Salah satu contoh yang paling mentereng adalah Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang organisasi massa yang membuatnya ilegal bagi LSM untuk mengadopsi, mengembangkan, mempopulerkan ajaran atau gagasan apa pun yang bertentangan dengan Pancasila.
Hukum ini rawan dipakai oleh kelompok-kelompok radikal untuk melanggengkan “premanisme” atas dasar “Pancasila”. Ini melawan pendapat awal yang mengatakan bahwa Pancasila dapat menjadi salah satu alat dalam mencapai demokrasi.
Salah satu hasil dari hukum Adatrecht adalah konstitusi UUD 1945, sehingga konstitusi tersebut masih memiliki banyak masalah. Reformasi yang di gadang-gadang pun gagal mengubah konstitusi tersebut. Amandemen yang dibuat pun tetap memiliki ciri mengedepankan kedaulatan negara terhadap kekuasaan kolonial dan hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri.
Salah satu contohnya adalah peraturan yang mana para pejabat dan karyawan yang bekerja untuk pemerintah tidak bisa menjadi ateis menurut hukum. Hukum ini membuat pejabat negara dan pegawainya memiliki mandat untuk percaya dan mempercayai satu – satunya Tuhan yang maha kuasa.
Contoh kasus lain adalah pada kasus di Pengadilan Pertama Muaro Jambi di mana Alexander An karena hanya menyatakan dirinya seorang ateis, dipukuli oleh gerombolan orang dan malah dipenjara atas dasar penistaan agama.
Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan hasil dari UUD 1945 pun sering diinterpretasikan secara keliru, di mana lebih menekankan sifat teistik HAM dengan mementingkan peran paternalistik negara. Ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 1 Undang-undang Penodaan Agama yang memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk mengarahkan mereka ke pandangan yang baik dan menuju Keesaan Tuhan.
Pancasila tidak hanya memihak hanya sejumlah kecil agama yang diakui secara resmi, tetapi berpotensi membahayakan proyek reformasi politik itu sendiri. Dalam konteks lain, berbagai aktor telah menginterpretasikan Pancasila dengan salah sehingga menghalangi kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul.
Ini terlihat salah satunya pada Pasal 107D Amandemen Undang-Undang Pidana 1999 yang berisi tentang menyebarkan atau mengembangkan ajaran-ajaran Komunisme/Marxis-Leninisme melalui tulisan, merupakan bentuk kejahatan terhadap negara.
“Modernity does not require absolute or fundamentalist secularism or laicité” – Bell (2011)
Perlu diketahui meskipun tidak ada pendirian yang jelas, bangsa Indonesia telah berhasil membuktikan diri sebagai masyarakat multikultural dan toleran namun religius. Dalam bidang bernegara, tentu hal tersebut berbanding terbalik.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah dan masyarakat perlu berkomitmen penuh terhadap hak asasi manusia sebagaimana ditafsirkan oleh komunitas internasional. Pemerintah dan masyarakat harus memikirkan kembali kesakralan Pancasila dalam pembentukan negara hukum, dan konstitusionalisme di Indonesia.
Pancasila pada dasarnya memiliki sifat yang abstrak dan sulit dipahami sebagian besar orang. Alasan tersebut yang membuat makna dan nilai dari Pancasila dapat berbeda-beda sehingga dengan mudah dapat dimanipulasi demi keuntungan pribadi.
Salah satu contohnya adalah kebijaksanaan bahwa memeluk agama adalah satu-satunya jalan untuk menjadi baik. Indonesia perlu memikirkan kembali elemen agama dalam negara sehingga penegakan hukum dapat dilakukan terhadap para penjahat berkedok agama yang kian hari makin banyak jumlah dan pengikutnya.
Narasi keliru yang dicoba dibentuk oleh Pemerintah bahwa Pancasila dengan interpretasinya sekarang dapat memperkuat integrasi nasional tidak akan hilang. Namun, yang terpenting, banyak suara mulai berani untuk melawan berbagai kekurangan yang dihasilkan dari Pancasila.
Tulisan milik Alexander Ryusandi Pratama, Mahasiswa Sosiologi di Universitas Indonesia.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.