HomePolitikPancasila dalam Integrasi Nasional

Pancasila dalam Integrasi Nasional

Oleh Alexander Ryusandi Pratama, Mahasiswa Sosiologi di Universitas Indonesia

Pancasila merupakan upaya integrasi nasional atas sejumlah kelompok di Indonesia. Namun, bagaimanakah Pancasila kini diserapi?


PinterPolitik.com

“Ku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.” – Soekarno (1965)

Selama periode pasca-kolonial Belanda, pemikiran politik Indonesia telah didominasi oleh dua kelompok utama, Islamis dan Nasionalis yang berpandangan sekuler. Pancasila dilihat oleh kaum nasionalis sebagai cara yang inklusif dan dapat memberikan dasar untuk menjalin kebersamaan bagi berbagai elemen berbeda yang membentuk Indonesia.

Pada akhirnya, kelompok nasionalis menjadi kelompok yang unggul karena ide mereka membawa konsep pluralisme dan inklusivisme dalam politik. Terlebih, mereka membawa paham demokrasi sekuler yang dianggap cocok dalam menyatukan Indonesia.

Pengaruh kaum nasionalis sangat terasa, khususnya dalam penjabaran Pancasila, dimana tertulis (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan dan perwakilan, dan (5) Keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.

Makna kalimat ditafsirkan sebagai jalan tengah antara banyak ideologi yang bersaing dan lebih lanjut dijabarkan dalam Pembukaan UUD 1945. Konsep integrasi yang berdasarkan “pluralisme” dan “inklusivisme” di kelompok ini mengungkapkan bahwa mereka sebenarnya menginginkan semacam demokrasi liberal seperti yang diterapkan di barat.

Namun, Pembukaan UUD 1945 tersebut telah meningkatkan status Pancasila menjadi tidak dapat diganggu gugat dan bersifat  staatsfundamentalnorm atau norma dasar negara. Alasan utama mengapa Pancasila diidentifikasi sebagai norma dasar negara adalah karena sifatnya yang sangat abstrak dan tidak praktis.

Tidak bisa dipungkiri, dalam perjalanannya kelompok nasionalis tersebut gagal dalam membedakan antara “liberalisme” dan “komunisme”. Ini dicerminkan oleh kurangnya kerangka kerja yang koheren dan holistik untuk menjawab kebutuhan akan pelembagaan elemen-elemen demokrasi.

Pelembagaan tersebut merupakan dasar bagi sebuah negara demokrasi. Keyakinan kuat terhadap Pancasila ini akhirnya menjebak proyek reformasi yang digaungkan oleh banyak kaum intelektual menjadi proyek melestarikan nilai komunitarian tradisional sambil merayakan keniscayaan demokrasi dalam bentuk pemilu, sehingga tidak banyak perubahan signifikan terjadi.

Menurut Magnis Suseno, Pancasila memang dirancang untuk menjadi ungkapan tentang nilai-nilai komunal sistem etika Jawa yang cenderung terlalu menekankan pemeliharaan harmoni dalam pelaksanaan debat terbuka dan bebas.

Walaupun pada awal masa reformasi ada guncangan yang keras pada konsep integrasi nasional dalam Pancasila, Pancasila selalu menemukan jalan kembali ke hati tokoh-tokoh Indonesia. Ini ditunjukkan oleh Presiden B.J. Habibie, di mana ia mendesak Pancasila untuk terus diaktualisasikan dan diintegrasikan sebagai identitas nasional yang pada akhirnya dapat menginspirasi negara dan perilaku nasional.

Baca juga :  Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Hal ini jauh dari konsep reformasi yang seharusnya dilakukan, sehingga reformasi dianggap gagal mereformasi paham Pancasila itu sendiri. Meskipun Demokrasi Pancasila tidak disukai oleh banyak kalangan, apalagi Pancasila telah digunakan Suharto untuk melanggengkan otoritarianismenya, yang terjadi malah dalam beberapa tahun terakhir tumbuh minat publik yang mendorong revitalisasi wacana Demokrasi Pancasila.

“If Men were angels, no government would be necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal controls on government would be necessary” – James Madison (1788)

Sistem hukum di Indonesia pada awalnya bersifat adat dan berakar pada nilai-nilai komunal feodalistik. Menurut Van Vollenhoven, hukum tersebut dikenal sebagai Adatrecht dan diterapkan secara eksklusif untuk penduduk daerah tersebut.

Namun, hukum ini gagal memenuhi definisi hukum modern karena tidak ditulis dengan cara yang memungkinkan bagi masyarakat untuk dengan mudah memahaminya. Sampai sekarang, Indonesia masih memberlakukan hukum pidana dan perdata kolonial yang sampai sekarang belum memiliki terjemahan resmi dan masih memiliki banyak pasal “karet”, yaitu pasal yang dengan sengaja definisinya dibuat multi-tafsir.

Kedua hal tersebut menekankan supremasi penguasa sehingga memperbolehkan rezim untuk melakukan banyak tindakan represif. Tindakan tersebut sangat terasa khususnya pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.

Namun, reformasi tidak serta merta mengubah hukum kolonial di Indonesia, malah pemerintah dengan sengaja menambah daftar undang-undang yang bernuansa kolonial. Salah satu contoh yang paling mentereng adalah Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang organisasi massa yang membuatnya ilegal bagi LSM untuk mengadopsi, mengembangkan, mempopulerkan ajaran atau gagasan apa pun yang bertentangan dengan Pancasila.

Hukum ini rawan dipakai oleh kelompok-kelompok radikal untuk melanggengkan “premanisme” atas dasar “Pancasila”. Ini melawan pendapat awal yang mengatakan bahwa Pancasila dapat menjadi salah satu alat dalam mencapai demokrasi.

Salah satu hasil dari hukum Adatrecht adalah konstitusi UUD 1945, sehingga konstitusi tersebut masih memiliki banyak masalah. Reformasi yang di gadang-gadang pun gagal mengubah konstitusi tersebut. Amandemen yang dibuat pun tetap memiliki ciri mengedepankan kedaulatan negara terhadap kekuasaan kolonial dan hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri.

Salah satu contohnya adalah peraturan yang mana para pejabat dan karyawan yang bekerja untuk pemerintah tidak bisa menjadi ateis menurut hukum. Hukum ini membuat pejabat negara dan pegawainya memiliki mandat untuk percaya dan mempercayai satu – satunya Tuhan yang maha kuasa.

Baca juga :  Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Contoh kasus lain adalah pada kasus di Pengadilan Pertama Muaro Jambi di mana Alexander An karena hanya menyatakan dirinya seorang ateis, dipukuli oleh gerombolan orang dan malah dipenjara atas dasar penistaan ​​agama.

Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan hasil dari UUD 1945 pun sering diinterpretasikan secara keliru, di mana lebih menekankan sifat teistik HAM dengan mementingkan peran paternalistik negara. Ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 1 Undang-undang Penodaan Agama yang memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk mengarahkan mereka ke pandangan yang baik dan menuju Keesaan Tuhan.

Pancasila tidak hanya memihak hanya sejumlah kecil agama yang diakui secara resmi, tetapi berpotensi membahayakan proyek reformasi politik itu sendiri. Dalam konteks lain, berbagai aktor telah menginterpretasikan Pancasila dengan salah sehingga menghalangi kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul.

Ini terlihat salah satunya pada Pasal 107D Amandemen Undang-Undang Pidana 1999 yang berisi tentang menyebarkan atau mengembangkan ajaran-ajaran Komunisme/Marxis-Leninisme melalui tulisan, merupakan bentuk kejahatan terhadap negara.

“Modernity does not require absolute or fundamentalist secularism or laicité” – Bell (2011)

Perlu diketahui meskipun tidak ada pendirian yang jelas, bangsa Indonesia telah berhasil membuktikan diri sebagai masyarakat multikultural dan toleran namun religius. Dalam bidang bernegara, tentu hal tersebut berbanding terbalik.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah dan masyarakat perlu berkomitmen penuh terhadap hak asasi manusia sebagaimana ditafsirkan oleh komunitas internasional. Pemerintah dan masyarakat harus memikirkan kembali kesakralan Pancasila dalam pembentukan negara hukum, dan konstitusionalisme di Indonesia.

Pancasila pada dasarnya memiliki sifat yang abstrak dan sulit dipahami sebagian besar orang. Alasan tersebut yang membuat makna dan nilai dari Pancasila dapat berbeda-beda sehingga dengan mudah dapat dimanipulasi demi keuntungan pribadi.

Salah satu contohnya adalah kebijaksanaan bahwa memeluk agama adalah satu-satunya jalan untuk menjadi baik. Indonesia perlu memikirkan kembali elemen agama dalam negara sehingga penegakan hukum dapat dilakukan terhadap para penjahat berkedok agama yang kian hari makin banyak jumlah dan pengikutnya.

Narasi keliru yang dicoba dibentuk oleh Pemerintah bahwa Pancasila dengan interpretasinya sekarang dapat memperkuat integrasi nasional tidak akan hilang. Namun, yang terpenting, banyak suara mulai berani untuk melawan berbagai kekurangan yang dihasilkan dari Pancasila.

Tulisan milik Alexander Ryusandi Pratama, Mahasiswa Sosiologi di Universitas Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

Inayah Wahid, “Rhaenyra” of Trah Gus Dur?

Bukan Alissa, Yenny, maupun Anita, sosok Inayah Wahid justru yang paling mirip Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? Mengapa demikian?

Ambang Batas MK: Anies “Ancam” Jokowi?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hilangkan kewajiban ambang batas presiden (PT). kesempatan Anies untuk “ancam” pengaruh Jokowi?

Semakin Sulit Megawati Percaya Puan?

Kongres 2025 PDIP sudah di depan mata. Akankah ada pergantian pucuk kepemimpinan, atau terlalu dini bagi Megawati Soekarnoputri untuk mencari pengganti dirinya?  

Prabowo & Drama Pinggir Jurang 2025?

Di menit krusial, Presiden Prabowo Subianto akhirnya merespons dua isu penting, yakni vonis “agak laen” kasus korupsi timah dan menegaskan kebijakan pemberlakuan PPN 12 persen. Hal itu agaknya sedikit mengurangi tekanan psikologis kolektif rakyat +62 dalam dimensi sosial, ekonomi, hingga poliik jelang pergantian tahun yang dinilai nyaris berada di titik nadir dan bisa saja menjadi pangkal instabilitas.

Filosofi ‘Kecoa’ ala Anies Baswedan?

Anies Baswedan dinilai bakal jadi salah satu politikus paling “susah dimatikan” kariernya. Bagaimana Anies bisa bertahan tanpa jabatan politik?

More Stories

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo – Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.