HomeRuang PublikOmnibus Law: Tumpulnya Check & Balances

Omnibus Law: Tumpulnya Check & Balances

Oleh Andri Yanto

Kecil Besar

Gelombang penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau Omnibus Law masih terus berlanjut. Apakah mungkin ini disebabkan oleh tumpulnya check and balances di Indonesia?


PinterPolitik.com

Polemik persetujuan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau omnibus law untuk menjadi UU yang sah semakin keras dilawan, semakin nyaringdigaungkan, dan kian rajin diperjuangkan. Berbagai elemen masyarakat, akademisi, termasuk buruh dan mahasiswa saling urun menaruh prihatin terhadap matinya hati nurani dan akal sehat. Setidaknya, itulah yang kita lihat dan dengarkan pada hampir semua platform media yang ada.

Inti permasalahannya sebenarnya ada pada penyusunan UU dengan metode Omnibus Law yang tidak sejalan dengan UU 12/11 jo UU 15/2019 (UU P3) serta terhadap materi muatan UU Ciptaker yang banyak menabrak asas dalam Pasal 5 dan 6 UU P3 dan bahkan menabrak beberapa norma dalam UUD NRI Tahun 1945.

Polemik dalam UU Ciptaker sejatinya bukan saja soal isu ketenagakerjaan dan persoalan lingkungan, tapi juga mengatur hal-hal lain yang juga patut di kritisi. Salah satunya soal urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah, ujug-ujug ditarik oleh pemerintah pusat.

Hal tersebut tentu akan mereduksi hak otonomi seluas luasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Akhirnya, pelan-pelan nantinya akan membawa kita pada penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik lagi seperti pada zaman orde baru.

Secara sederhana polemik tersebut sejatinya menyasar beberapa poin, di antaranya seperti pemerintahan sentralistik rasa Orba, anti-lingkungan hidup, mengarah pada liberalisasi pertanian, abai terhadap HAM, dan abai terhadap prosedur pembentukan UU.

Namun, tulisan ini tidak akan membicarakan masalah-masalah substantif pada UU Ciptaker sebagaimana yang sudah disebutkan di atas. Tulisan ini hanya akan menyoroti terkait dinamika politik dan kegamangan sistem presidensial di Indonesia.

Seperti yang kita ketahui bersama, kebanyakan orang terfokus hanya pada sisi materi UU-nya saja, namun sebenarnya dari sisi politik dan ketatanegaraan ada hal lain yang lebih mendasar dan penting untuk didiskusikan.

DPR โ€œDijinakkanโ€ Pemerintah?

Jika dilihat lebih dalam lagi sebenarnya polemik persetujuan omnibus law menjadi UU oleh DPR dan Pemerintah memiliki isu yang menarik dalam bingkai politik dan sistem pengawasan antar cabang kekuasaan atau yang sering kita dengar dengan istilah sistem check and balances. Harus kita akui pada rezim ini kebijakan-kebijakan pemerintah tampaknya mulus-mulus saja dan tanpa โ€œperlawananโ€ oleh parlemen. Padahal, sejatinya terdapat fungsi pengawasan yang melekat padanya untuk mengawasi besarnya kekuasaan eksekutif, sebagai representasi dari rakyat, โ€œsang pemegang kedaulatan tertinggiโ€ berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.

Kegelisahan pada statement di atas tentunya dilatarbelakangi oleh kurang berjalannya sistem pengawasan oleh DPR terhadap Pemerintah. Hal demikian tentunya bukanlah sesuatu yang sehat bagi keberlangsungan pemerintahan negara Indonesia. Lalu, pertanyaannya kemudian, apa indikasinya?

Setelah berhasil โ€œmenjinakkanโ€ DPR, partai Koalisi Jokowi melalui sejumlah menteri dari perwakilan partai politik di periode kedua pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) semakin mengukuhkan posisi partai-partai tersebut sebagai koalisi atau oposisi pemerintah. Partai koalisi Jokowi menguasai DPR dengan menempati 427 kursi parlemen, sedangkan partai oposisi hanya memiliki 148 kursi โ€“ dengan rincian PDIP sebanyak 128 kursi, Golkar 85 kursi, Gerindra 78 kursi, NasDem 59 kursi, PKB 58 kursi, dan PPP 19 kursi. Lalu, partai yang tidak bergabung dengan pemerintah terdiri dari Demokrat sebanyak 54 kursi, PKS 50 kursi, dan PAN 44 kursi.

Baca juga :  Puan Maharani: The Rebel Heart?

Melihat besarnya kekuatan partai koalisi pemerintah di parlemen, sejatinya peta politik ini merupakan jawaban mengapa kebijakan-kebijakan pemerintah mudah sekali lolos di parlemen, seolah tanpa ada perlawanan dari parlemen. Pemerintah dan DPR seolah tengah berlayar di atas satu perahu yang sama dalam agenda-agenda besar yang sejatinya membutuhkan pembahasan panjang dan komprehensif.

Di bidang legislasi misalnya, seharusnya DPR dan Pemerintah taat pada prinsip dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan  namun pada faktanya tindakan-tindakan tersebut malah kerap menabrak asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dilematika Sistem Presidensial

Salah satu konsekuensi sistem presidensial yang juga menganut prinsip sparation of power dalam sistem pemerintahannya, ialah terdapat pemisahan antara eksekutif dan legislatif. Pemisahan kekuasaan antara keduanya sesungguhnya dibentuk agar tercipta mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances).

Dalam logika sistem presidensial, presiden dibantu oleh menteri-menteri yang sepenuhnya diangkat, diberhentikan dan bertanggungjawab kepada presiden. Pada prinsipnya, semua jabatan itu berada dalam satu organisasi, yaitu lembaga kepresidenan.

Sebagai lembaga penyelenggaraan pemerintahan yang terpisah dengan lembaga parlemen, semua jabatan dalam lembaga kepresidenan tidak dapat dirangkap oleh anggota parlemen. Di sisi lain hadirnya menteri-menteri berlatar belakang partai politik hingga saat ini selalu saja mendapat pembenaran, karena sejatinya di dalam UU Kementerian Negara belum terdapat pembatasan yang tegas, padahal pada prinsipnya sistem pemerintahan kita setelah amandemen UUD NRI Tahun 1945 adalah sistem pemerintahan presidensial murni.

Salah satu diskursus yang mengemuka di publik, dan sering menjadi perbincangan mengindikasikan bahwa sebenarnya presiden sudah tersandera sejak lama, semenjak ia dicalonkan sebagai presiden oleh partai politik ataupun gabungan partai politik. Ketentuan yang dimaksud di sini ialah ketentuan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden โ€˜diusulkanโ€™ oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.

Menurut Irman Putra Sidin, dalam dimensi definisi antara mengusulkan dengan menjadi peserta memiliki definisi yang berbeda. Ketika partai politik mengusulkan seorang calon presiden dan kemudian terpilih menjadi presiden, maka partai politik itu harus kembali ke habitatnya, yaitu parlemen.

Di sinilah kemudian partai politik itu berada dan menjalankan fungsinya sebagai legislatif dalam menjalankan mekanisme check and balances. Oleh karena itu dalam kabinet presidensil seharusnya tidak membawa partai politik โ€œtidur seranjangโ€ dengan pemerintah, yang bisa menjadi musuh dalam selimut bagi presidensil tersebut.

Baca juga :  Open Loker Cawapres 2029, Puan Maharani? 

Sebagai tujuan sekaligus prasyarat demokrasi, pengisian jabatan menteri harus menjadi perhatian utama, kebutuhan menciptakan kabinet yang ideal dan demokratis dalam pemerintahan, tidak hanya sekedar lobi-lobi politik semata, melainkan harus menyentuh pula aspek-aspek demokratis.

Di satu sisi kita berharap agar parlemen diisi oleh mayoritas partai pendukung pemerintah untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan mendorong penguatan sistem presidensil. Namun, di sisi yang lain, pada akhirnya membuat tidak ada mekanisme kontrol yang berjalan diantara keduanya.

Masyarakat akan bisa tenang kalau kedua fungsi kekuasaan negara ini bekerja sebagaimana yang diharapkan. NamunI apa jadinya kalau sebaliknya? inilah yang terjadi, antara eksekutif dan legislatif terlihat seperti selalu satu perahu dalam kebijakan-kebijakan yang harusnya membutuhkan banyak pertimbangan yang matang, tak terkecuali UU Ciptaker. Implikasi yang terjadi adalah sistem check and balances tak terlaksana.

Kemudian soal Fraksi Demokrat dan PKS yang menolak UU ini untuk disetujui, dalam konstelasi politik hal ini lumrah terjadi. Hukum alamnya partai oposisi akan lebih cenderung menolak kebijakan-kebijakan pemerintah.

Begitu sebaliknya, partai pendukung pemerintah akan lebih cenderung mendukung kebijakan kebijakan pemerintah. Nah, pertanyaannya adalah bagaimana kalau Demokrat dan PKS adalah bagian dari partai pendukung pemerintah? Tentunya Pemerintahan ini akan menjadi yang paling kuat dalam sejarah di Indonesia.

Pertanyaan lanjutannya adalah, apakah pemerintahan akan baik-baik saja tanpa adanya oposisi? Tentunya, bisa dipastikan tidak akan terbangun sistem pengawasan yang diharapkan sebagaimana mestinya.

Satu-satunya cabang kekuasaan yang masih berpotensi bisa diharapkan adalah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawal konstitusionalitas UU di negeri ini. Melihat banyaknya isi substansi pasal yang dipermasalahkan serta prosedur pembentukan perundang-undangan yang banyak melanggar asas, sejatinya sangat berpotensi untuk diajukan uji materill maupun formil.

MK kita harapkan mampu menjaga nuraninya untuk dapat membatalkan UU Ciptaker ini, dan tidak terganggu dengan โ€œhadiahโ€ dari Pemerintah dan DPR lewat revisi UU MK beberapa waktu lalu.

Last but not least, melihat dinamika yang ada sekarang memanglah amat kompleks. Kita sesungguhnya sedang memasuki peperangan yang banyak orang tak ketahui adanya, yakni โ€œperang antara hati nurani dan pengetahuanโ€.

Jika kau berkedip, kebebasanmu akan hilang dan direnggut. Sejak awal mereka tak berjuang untuk konstituennya, sehingga layak bagi rakyat untuk murka dan tak percaya pada mereka yang dititipkan kedaulatan.


Tulisan milik Andri Yanto, Sarjana Hukum Universitas Mulawarman .


โ€œDisclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.โ€

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Banner Ruang Publik
spot_imgspot_img

#Trending Article

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, โ€œkesucianโ€ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau โ€œHiperbolaโ€? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos โ€œHantu Dwifungsiโ€, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

More Stories

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo โ€“ Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...