Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui omnibus law terus berupaya untuk menarik investasi. Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), terdapat berpuluh-puluh pasal yang mengubah hambatan-hambatan investasi. Sisi lain kekhawatiran implementasinya adalah risiko bagi keberlanjutan lingkungan dan kemungkinan konflik sosial dan agraria yang akan terjadi.
PinterPolitik.com
Omnibus law selaras dengan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode keduanya. Salah satunya adalah guna mengejar target pertumbuhan ekonomi hingga 5,4- 6,0 persen.
Dengan mengandalkan investasi sebagai salah satu instrumen perolehan capaian itu, menurut Jokowi, ekonomi baru bisa tumbuh sesuai target jika investasi bisa meningkat secara signifikan. Hal ini pun bisa didorong dengan memperbaiki perizinan dan menyelesaikan persoalan lahan.
Sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sumber daya alam meliputi sumber alam diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya alam tidak terbarukan (non-renewable resources). Dengan ini, diyakini, sumber daya alam yang dikelola perusahaan pertambangan sangatlah berpengaruh pada pendapatan perekonomian negara.
Namun, pertanyaannya, apakah pengelolaan sumber daya alam oleh perusahaan yang acuannya adalah omnibus law akan berdampak pada kesejahteraan atau justru memicu konflik sosial? Di sisi lain, apakah omnibus law melalui RUU Cipta Lapangan kerja (Cilaka) dalam proses aktivitas pertambangan mempertimbangkan aspek lingkungan hidup? Atau, justru sebaliknya?
Isu Lingkungan
Pelestarian lingkungan hidup selama ini masih dipandang sebelah mata karena belum menjadi prioritas pemerintah. Padahal, lingkungan perlu diperhatikan sebagaimana mestinya karena lingkungan sangat esensial dan erat kaitannya dengan kehidupan manusia.
Terlebih, saat ini, di belahan dunia sedang mengalami krisis lingkungan hidup sehingga, pada 2015, dunia berkomitmen menangani perubahan iklim melalui Paris Agreement 2015.
Kehadiran omnibus law dalam RUU Cilaka hampir ramping dalam pembahasan dan diharapkan mampu menjawab permasalahan lingkungan. Namun, ironinya, RUU ini bak karpet merah bagi investasi.
Salah satu keserampangannya adalah rencana penghapusan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) – sesuai tujuannya yaitu menghapus peraturan-peraturan yang dinilai memberatkan masuknya investasi. Pada saat yang sama, para aktivis dan akademisi lingkungan selalu mengglorifikasikan penolakan atas investasi yang tidak ramah lingkungan.
Satu hal penting yang patut dijadikan pertimbangan dan kajian kritis berkaitan dengan permasalahan lingkungan dari implementasi UU Cilaka ini, jika disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yakni dampak investasi terhadap perubahan iklim.
Di Indonesia, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Dari data itu, 99,08% merupakan bencana ekologis yang disebabkan oleh meningkatnya frekuensi angin puting beliung sebagai dampak perubahan iklim.
Salah satu pesan dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP24 digelar di Katowice, Polandia, adalah pentingnya keterbukaan informasi mengenai resiko usaha akibat perubahan iklim.
Di lain sisi, terdapat inisiatif untuk mengatasinya. Salah satunya adalah Investor Platform on Climate yang mewadahi berbagai kelompok investor global dengan komitmen untuk mengukur dan mengungkapkan jejak karbon dari portofolio investasinya dan menganalisis dampak dari perubahan iklim terhadap keberlangsungan kegiatan usahanya.
Perubahan iklim yang mengancam kehidupan manusia ini merupakan akibat dari aktivitas investasi yang tidak ramah lingkungan. Untuk mengantisipasi risiko usaha investasi, maka Amdal sangat dibutuhkan. Sementara, kehadiran omnibus law yang secara gamblang menghapus Amdal justru sangat berisiko bagi keberlangsungan lingkungan.
Esensi investasi adalah keberpihakan pada masyarakat dalam rangka kesejahteraan, termasuk investasi berupa industri pertambangan. Menelisik UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pasal 3 poin (e) menyebutkan bahwa tujuan pertambangan adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat – disusul poin (f) yang menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara.
Namun, maksud kesejahteraan adalah bukan berarti berhak mengeksploitasi habis tanpa mempertimbangkan aspek lain. Sebab, kita dihadapkan dengan bencana krisis ekologis yang semakin masif. Belum lagi, hampir seluruh aktivitas investasi yang ada di Indonesia memiliki catatan buruk tentang masalah lingkungan.
Konflik Agraria
Merujuk pada Undang-Undang No 5 tahun 1960 yang mendefinisikan agraria sebagai bumi, air, ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, konteks investasi dalam omnibus lawa seakan menjadi kekhawatiran akan terjadinya konflik agraria.
Percekcokan masyarakat dengan pihak investor maupun pemerintah daerah masih menjadi realitas akhir-akhir ini akibat dari ketidakpastian atas hukum – lebih-lebih pengelolaan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Sebab, selama ini, konflik agraria bukan hanya persoalan penerbitan izin atau perluasan wilayah, melainkan juga persoalan tumpang tindih hak warga atas tanah.
Pada periode pertama Jokowi, dalam laporan Jaringan Anti Tambang (JATAM) oleh Melky Nahar, terdapat tiga jenis konflik, yakni penembakan oleh aparat negara (sebanyak 12 kasus), bentrokan fisik (15 kasus), dan aksi-aksi blokir jalan tambang (9 kasus).
Sampai sekarang, area investasi bak lapangan konflik. Sepanjang tahun 2018, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), telah terjadi 410 kejadian konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektar dan melibatkan 87.568 KK di berbagai provinsi di Indonesia.
Lebih jelas lagi, berkaitan dengan konflik agraria, berbagai sektor telah menimbulkan banyak kasus konflik, yakni sektor perkebunan sebanyak 144 konflik, properti sebanyak 137, infrastruktur sebanyak 16, pertanian sebanyak 53, kehutanan sebanyak 19, pesisir/kelautan sebanyak 12, dan pertambangan sebanyak 29.
Untuk mengakhiri pemicu konflik akibat investasi, sekiranya pemerintah harus melakukan upaya sosialisasi dan keterbukaan informasi dengan masyarakat terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP). Selain itu, melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan pun sangat diperlukan sehingga keberlangsungan aktivitas pertambangan tidak secara sepihak dalam artian ada check-and-balance. Mengesampingkan masyarakat dalam menjalankan investasi memiliki potensi konflik yang sangat besar.
Dalam konteks ini, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Irwandi dan Chotim (2017) dengan judul Analisis Konflik Antara Masyarakat, Pemerintah dan Swasta mengidentifikasi adanya beberapa faktor yang dinilai menjadi penyebab terjadinya konflik antara masyarakat, pemerintah, dan swasta, yakni tidak adanya sosialisasi, kurang terbukanya pemerintah desa dengan masyarakat, dan perbedaan kepentingan serta dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan.
Terlepas dari itu semua, UU sapu jagat ini jelas sangat berdampak buruk pada keberlanjutan lingkungan dan stimulan timbulnya konflik. Permasalahan lingkungan dan konflik-konflik agraria yang terjadi disepanjang periode pertama Jokowi hingga kini patut dijadikan referensi bahwa negara masih abai dalam melindungi lingkungan dan menjaga Indonesia sebagai negara agraris.
Tulisan milik Muhammad Kamarullah, mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Malang.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.