Site icon PinterPolitik.com

Omnibus Law: Asmara Rumit Pemerintah-Buruh

Omnibus Law Asmara Rumit Pemerintah Buruh

Para buruh mengadakan demonstrasi guna menolak RUU Omnibus Law pada Januari 2020 lalu di Jakarta. (Foto: Antara)

RUU Ciptaker atau Omnibus Law kini menjadi perhatian kelompok buruh di tengah pandemi virus Corona (Covid-19). Ini menunjukkan akan adanya hubungan asmara yang rumit antara pemerintah dan buruh.


PinterPolitik.com

Hubungan buruh dan pemerintah tampaknya ada pada level yang berbeda dari cinta biasa. Mereka saling membenci tetapi juga saling membutuhkan.

Bagaimana tidak? Tanpa buruh, perekonomian negara tidak akan berjalan. Tanpa pemerintah, buruh tidak akan memiliki jaminan penghidupan yang layak. Apalagi, saat ini, pemerintah sedang menggalakkan pertumbuhan ekonomi sebagai pencapaian utama.

Ini terlihat dari upayanya dalam menggiring investor melalui Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker) yang tentunya membutuhkan tenaga buruh untuk menghasilkan pendapatan bagi diri mereka maupun pemerintah. Pemerintah semakin membutuhkan buruh tetapi hubungan mereka justru semakin rapuh.

Di tengah wabah Covid-19 ini, banyak isu yang melilit perburuhan di Indonesia. Sudah lebih dari dua juta buruh yang entah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan oleh ribuan perusahaan.

Kemudian, pembahasan RUU Ciptaker yang masih dilanjutkan membuat beberapa serikat buruh mengancam pemerintah dengan kemungkinan demonstrasi besar-besaran di Jakarta. Dengan adanya 30 ribu buruh yang di-PHK di Jakarta, kemungkinan perkumpulan massa tersebut sangatlah nyata meskipun status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah ditetapkan di ibukota.

Namun, hubungan asmara yang rumit ini tidak terjadi saat pandemi saja. Nyatanya, berita sering mengungkapkan perilaku perusahaan yang tidak disambut baik oleh buruh – entah itu PHK masal, PHK karena keanggotaan dalam serikat pekerja, atau penahanan upah.

Sebenarnya, buruh sudah lama tidak percaya akan kemampuan pemerintah untuk melindungi hak-haknya. Pemerintah justru dianggap sebagai – meminjam terminologi gerakan kiri Indonesia – “budak korporat kapitalis”.

Mungkin, bila kita melihat dari sisi pemerintah, kita menjadi lebih paham kekhawatiran mereka. Investor tidak akan senang apabila mereka harus membayar upah yang besar terhadap pekerja, apalagi jika harus mengakomodasi semua tuntutan pekerja.

Namun, jika buruh tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, pemerintah akan dihadiahi mogok kerja dan demonstrasi yang tentu saja buruk bagi kestabilan pertumbuhan ekonomi menuju “Indonesia Emas 2045”. Bagaimana kita bisa mengatasi perbedaan interest (kepentingan) ini?

Sebenarnya, agak susah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pemerintah idealnya bertindak sebagai penengah antara buruh dan pemilik modal karena sejatinya pemerintah adalah pemain baru dalam relasi industri.

Karena perkembangan institusi kenegaraan yang semakin kompleks pada abad ke-19 dan ke-20, dan tuntutan buruh supaya pemerintah melindungi hak-haknya menjadi semakin rumit. Pemerintah Jerman dan Inggris, misalnya, saat itu menyetujui untuk mengeluarkan hukum perburuhan (labour law) agar negaranya tidak jatuh ke sosialisme.

Franz Magnis-Suseno secara tersirat menyebut hak sosial (jaminan mendapatkan pekerjaan, penghidupan yang layak, dan lain-lain) sebagai ekstensi dari hak untuk hidup dan, oleh karena itu, harus dijamin oleh pemerintah.

Ada satu pihak yang esensial dalan menekan pembuatan labour law, yakni serikat pekerja. Serikat pekerja berfungsi untuk menyatukan tuntutan buruh dalam suatu suara masif dan mereka bisa menggerakkan buruh untuk protes atau mogok kerja bila pemerintah tidak menyetujui tuntutan mereka.

Namun, posisi serikat pekerja saat ini sedang lemah. Tidak banyak buruh yang tertarik untuk bergabung. Bahkan, jumlah serikat pekerja yang terdaftar di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) berkurang dari 14.000 menjadi 7.000.

Dengan serikat pekerja yang lemah, tentunya pemerintah bisa memaksakan kehendak mereka terhadap buruh. Namun, ternyata justru tidak. Buruh masih bisa bersuara. Lantas, apakah jawaban dari pertanyaan tadi adalah melalui penguatan serikat pekerja?

Negara-negara maju berindustri kuat memiliki serikat pekerja yang berpengaruh besar dalam relasi industrial. Contohnya adalah Jerman. Buruh dalam suatu pabrik bisa memilih direktur, duduk dengan shareholder dalam rapat kerja, dan melakukan negosiasi kolektif dengan pemilik modal tanpa rasa takut akan pemecatan.

Bahkan, serikat pekerja Jerman pernah menerima pemotongan gaji sebesar 10% supaya pengusaha tidak melakukan PHK masal pada tahun 1997. Kuatnya serikat pekerja bukannya membuat pekerja semakin berkuasa tetapi justru menstabilkan relasi kuasa yang berefek baik pada pertumbuhan ekonomi Jerman.

Ekonom menyebutnya sebagai “sistem aliansi modal dan buruh yang stabil dalam jangka panjang.” Sistem relasi industri Jerman patut dibahas terpisah dari tulisan ini tetapi, untuk sekarang, mari kita bandingkan dengan bagaimana relasi industri berkembang di Indonesia.

Indonesia tidak memiliki sejarah yang ramah terhadap buruh. Tentu, presiden pertama kita yang cenderung kiri menjamin banyak hak bagi para buruh tetapi, setelah Indonesia memasuki era Orde Baru, ceritanya berubah jauh berbeda.

Gerak-gerik buruh sangatlah dibatasi, terutama tindakan protes. Bila dilanggar, maka militer akan turun tangan. Menurut disertasi Surya Tjandra yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintahan Soeharto menetapkan sebuah relasi industri “Pancasila” yang dijadikan sebagai legitimasi kebijakan-kebijakan tersebut.

Meskipun begitu, serikat pekerja tetap diizinkan ada dengan beberapa ketentuan, seperti agar tidak boleh berpolitik, tidak menerima donor dari pihak luar negeri, dan harus tersatukan dalam satu badan saja.

Akhirnya, dibentuklah serikat yang saat ini bernama Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI)  pada tahun 1969 sebagai satu-satunya serikat pekerja legal yang dicatat oleh Kemenaker. Namun, pembentukan serikat selanjutnya semakin dipersulit.

Hal ini dilakukan Soeharto untuk memenuhi agenda politiknya yang mengutamakan pada developmentalisme ekonomi dan stabilitas politik untuk menunjangnya. Sean Cooney dan rekan-rekannya (2003) menyatakan bahwa hal ini tidak asing bagi dunia saat itu. Faktanya, hampir seluruh negara di wilayah Asia Pasifik merepresi buruh dan menjinakkan serikat pekerja demi industrialisasi ekonomi yang terarah.

Namun, nyatanya, kita melihat hasil yang jauh berbeda dari masa otoriter Korea Selatan dan Indonesia. Bukan hanya Soeharto mabuk korupsi – maka dari itu gagal membentuk basis perekonomian yang kuat, ia juga menyebabkan fondasi keuangan kita lemah sehingga ketika krisis moneter (krismon) pada tahun 1997 datang, Indonesia menjadi negara yang paling dicederai olehnya.

Dari krismon dan turunnya Soeharto, muncul lah demokratisasi sistem politik Indonesia, dan segala hal yang dulunya direpresi – termasuk gerak-gerik buruh – dibebaskan. Indonesia kemudian meratifikasi konvensi-konvensi International Labour Organization (ILO) – dari yang menjamin hak untuk berkumpul hingga melarang buruh anak dan diskriminasi atas dasar apapun.

Pembentukan serikat pekerja pun dipermudah dengan dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh yang memperbolehkan pembentukan serikat buruh dengan minimum jumlah anggota 10 orang. Pembentukan serikat buruh pun meroket.

Pada tahun 2010, masa keemasan pergerakan buruh Indonesia, ada sekitar tiga juta buruh yang menjadi anggota suatu serikat buruh – dari yang beroperasi di satu pabrik saja hingga konfederasi serikat raksasa yang mencakup seluruh Indonesia. Meski begitu, pergerakan buruh tetap memiliki masalah.

KSPSI, serikat buruh yang telah berdiri sejak Orde Baru, menjadi serikat yang paling dominan dalam dunianya. Sekitar separuh dari buruh yang terdaftar sebagai anggota serikat di dalamnya dan, karena hubungan dekatnya dengan pemerintah, menjadi serikat buruh yang agaknya menjadi duri bagi pergerakan buruh lain.

Presiden KSPSI sering kali ditunjuk ke posisi penting oleh pemerintah, seperti menjadi kepala Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Kemenaker. Selain itu,  kepemimpinan dalam pergerakan buruh biasanya diambil oleh segelintir orang.

Said Iqbal, contohnya, sebagai Kepala Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menjadi figur utama dari rangkaian protes 2010-2011 yang menuntut pengesahan UU BPJS. Dalam KSPSI sendiri, pernah ada pertikaian personal antara dua figur yang menyebabkan KSPSI pecah menjadi dua serikat, yakni KSPSI dan KSPSI Reformasi.

Akhir-akhir ini, serikat buruh dilaporkan memiliki inefisiensi struktural. Banyak buruh yang keluar dari serikat yang dulunya sangat vokal – seperti FSPMI – karena serikat tidak mampu untuk menyelesaikan masalah perburuhan di level pabrik. Elite serikat buruh juga terkadang menjadi permainan politik, seperti yang pernah terjadi di Jember dan Batam.

Permainan politik serikat buruh bukannya digunakan untuk advokasi tetapi untuk intrik politik – ditambah dengan ketakutan sederhana akan union busting. Itulah beberapa alasan mengapa jumlah serikat buruh menurun drastis selama satu dekade.

Menurunnya popularitas serikat pekerja di kalangan buruh, terutama buruh industri, membuat pertentangan antara buruh dan pemilik modal menjadi lebih sporadis. Mungkin, posisi tawar menawar per individual buruh menjadi lebih lemah tetapi perlawanan ini kemudian merembet ke diskursus masyarakat.

Organisasi mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hak asasi manusia (HAM) – seperti FMN dan YLBHI – sering kali mengambil posisi serikat pekerja sebagai platform perjuangan buruh. Akhirnya, terbuatlah suatu pemahaman bahwa isu buruh adalah isu masyarakat secara luas yang sempat termanifestasikan pada demo besar-besaran soal RKUHP tahun kemarin.

Yang sebelumnya hanyalah pergerakan buruh saja menjadi gerakan sipil di mana semua elemen masyarakat termasuk. Pemerintah juga tidak bisa membungkam mereka dengan sewenang-wenang karena masyarakat sudah tahu apa rasanya hidup di bawah tangan besi Soeharto.

Diskursus progresif dalam masyarakat pasti mengkaitkan otoritarianisme dengan penindasan kaum lemah, bahkan sudah ada klaim mengenai makin serupanya Jokowi dengan Soeharto. Oleh karena itulah, penguatan serikat pekerja sebagai interest group dapat memudahkan pemerintah dalam mengumpulkan permasalahan seluruh pekerja dalam satu entitas perwakilan sehingga penyelesaian masalah akan lebih cepat dan efisien.

Pemerintah saat ini sedang menggalakkan pembangunan industri besar-besaran untuk melanjutkan developmentalisme ala Orde Baru tetapi mereka tidak bisa menggunakan strategi yang lama. Ditambah dengan fakta bahwa buruh industri adalah kelompok yang paling vokal dalam menuntut hak-haknya, pemerintah seharusnya harus berpikir bagaimana cara menetralisir besarnya suara isu buruh dalam masyarakat dan mengembalikannya pada serikat pekerja saja supaya penyelesaian masalah per interest group menjadi lebih teratur dan stabil.

Inilah birokratisasi ideal dalam struktur kenegaraan yang sempat dibayangkan oleh Max Weber, di mana seluruh bagian dari masyarakat juga diuntungkan dengan mekanisme menuntut yang stabil dan struktural.

Jerman mengaplikasikan seluruh hal tersebut pada masa keemasan ekonominya pasca Perang Dunia II dan, nyatanya, pemerintah di sana pun tidak perlu mengintervensi sering-sering relasi antara buruh dan pemilik modal. Pemerintah hanya cukup menjamin hak pekerja dalam relasi industri dan segalanya berjalan dengan lancar.

Bila pemerintah menghendaki sungguh pertumbuhan ekonomi yang stabil, maka implementasikanlah kebijakan ekonomi yang tepat, termasuk penguatan serikat pekerja. Protes dan demonstrasi tak menentu tidak akan membuat investor tertarik.

Stabilitas tetaplah nomor satu. Di sini, kita mampu melihat bahwa kesejahteraan masyarakat justru bisa mendukung pertumbuhan ekonomi.

Tulisan milik Immanuel Hugo Setiawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Diponegoro.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version