Aksi Kamisan sudah sejak lama dilaksanakan guna menuntut hak-hak masyarakat – dan tetap akan berlanjut dengan nyala api suara rakyat. Sudahkah suara Aksi Kamisan didengar?
PinterPolitik.com
“Hidup korban… Jangan diam… Lawan…!!!”
Aktivis mana yang tak tahu jargon di atas? Ya, jargon yang selalu diteriakkan pada setiap hari Kamis di depan Istana. Diteriakkan oleh para keluarga korban kekejaman rezim yang menuntut keadilan, serta para aktivis dan simpatisan yang juga ikut hadir dalam aksi setiap hari Kamis tersebut, yakni Aksi Kamisan.
Aksi Kamisan ini pertama kali diadakan pada 18 Januari 2007 yang merupakan sebuah aksi diam yang diinisiasi oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) bersama Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK) dan KontraS. Aksi Kamisan ini pada awalnya merupakan sebuah aksi diam yang sudah direncanakan dan disepakati mengenai kapan, warna dan pakaiannya, hingga maskot yang akan dipakai.
Hari Kamis merupakan hari yang disepakati, lokasi yang dipilih adalah di depan Istana karena merupakan simbol pusat kekuasaan, dan memegang payung mengartikan bahwa rasa keteguhan, keberanian untuk mereka selalu menuntut hak mereka dan tanggung jawab negara.
Aksi Kamisan dilatarbelakangi oleh beragam kasus pelanggaran HAM. Jika ditarik ke belakang, banyak sekali pelanggaran HAM terjadi yang justru diaktori oleh negara. Peristiwa Mei 1998, misalnya, merupakan salah satu tragedi yang memilukan bagi kita karena banyak terjadi korban jiwa yang berjatuhan.
Lebih dari itu, banyak sekali tragedi atau kekerasan HAM yang dilalukan oleh negara seperti hilangnya Widji Thukul, peristiwa Semanggi I dan Semanggi II, Trisakti, peristiwa Tanjung Priok, Talangsari 1989, dan sebagainya.
Peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi ini bukanlah hanya salah satu faktor yang melatarbelakangi Aksi Kamisan ini.Yang paling utama justru sikap pemerintah yang seolah abai dan terus diam dalam menyikapi dan menindaklanjuti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia ini.
Aksi Kamisan ini menjadi sebuah simbolisme gerakan sosial bahwa masyarakat juga memiliki kemampuan untuk bertindak menuntut tanggung jawab pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Hal ini adalah sebuah bentuk dialektika antara struktur dengan agensi, di mana struktur merupakan sistem sosial-politik yang menjadi faktor pembatas dan/atau peluang untuk aktor bertindak.
Sementara, Ortner (1997: 146) menyampaikan bahwa agensi tidak bebas bertindak atau ada filter yang membatasi.“Agency is both a source power and an effect of power,” begitu tulis Ortner.
Kekuatan agensi dalam bertindak melawan struktur seperti Aksi Kamisan ini pernah menarik perhatian pemerintah. Pada 20 Maret 2008 lalu, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pernah mengajak pihak keluarga korban untuk berdiskusi bersama dengan pihak Istana.
Selain itu, pada tanggal 13 Mei tahun 2018 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah mengajak dan melakukan diskusi dengan keluarga korban dan beberapa peserta Aksi Kamisan. Pada kesempatan tersebut, peserta Aksi Kamisan menuntut agar Jokowi mengakui kasus pelanggaran HAM yang sudah masuk dalam tahap penyelidikan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Selama 13 tahun berjalannya Aksi Kamisan, pada dua kesempatan itu, peserta Aksi Kamisan berkesempatan langsung bertemu dengan Presiden. Namun, hingga saat ini, diskusi hanya sekadar diskusi, janji hanya sekadar janji, belum ada perwujudan secara konkret dari pemerintah dalam menuntaskan kasus HAM.
Seperti apa yang dikatakan oleh Scott (1986:6), “Resistance of this kind does not throw up the manifestos, demonstrations, and pitched battles that normally compel attention, but vital territory is being won and lost here too.”Aksi Kamisan hadir – dan tetap hadir – dikarenakan perilaku negara pada masa lampau, dan sampai hari ini pula, Aksi Kamisan terus bohongi oleh negara.
Jika kita telisik motif atau dorongan para peserta Aksi Kamisan ini, secara kasat mata kita bisa lihat bahwa Aksi Kamisan ini didasari oleh rasa kemanusiaan dan semangat pembebasan, yang itu didorong oleh berbagai kasus-kasus HAM yang telah menimpa para pesertanya.
Escobar (1992) dalam Cribb (2001) menjelaskan bahwa gerakan sosial seperti Aksi Kamisan ini masih relevan karena melibatkan aspek-aspek nilai dan makna kultural juga sumber daya sosial dan ekonomi. Gerakan sosial seperti Aksi Kamisan ini tidak hanya dinilai sebagai bentuk perlawanan yang politis, perlawanan ini juga pasti didorong oleh kepentingan yang bersifat kultural.
Kepentingan yang mendorong gerakan sosial adalah merupakan kepentingan yang berhubungan dengan budaya dan identitas. Dalam konteks Aksi Kamisan, yakni penuntasan kasus HAM dan pembebasan kemanusiaan (Cribb, 2001).
Wolf (1986) menganggap bahwa gerakan sosial proses untuk mengonstruksikan pemahaman bahwa segala sesuatunya adalah berjalan dengan apa adanya, seperti hadirnya Aksi Kamisan yang secara implisit ingin mengedukasi bahwa aksi mereka bukanlah aksi yang hadir dari ruang hampa tetapi aksi yang memang seharusnya berjalan dengan apa adanya.“Things are what I say they are.”
Karena memang, bagi Wolf (1986) gerakan sosial merupakan bentuk kekuatan agensi dalam struktur sosial akibat hadirnya perubahan dalam tataran kebudayaan yang disebabkan oleh penetrasi eksternal seperti ekonomi, ataupun nilai-nilai sosial yang berbeda.
Satu hal penting pula yang perlu disoroti pada Aksi Kamisan, yakni regenerasi. Meskipun pada awalnya Aksi Kamisan ini diinisiasi dan dikuti oleh keluarga korban pelanggaran HAM, kali ini, Aksi Kamisan banyak dihadiri oleh anak muda dengan umur kurang lebih 30 tahun.
Seperti yang dikatakan Ibu Sumarsih, orang tua dari anak semata wayangnya, Bernardus Realino Norma Irawan atau akrab disapa Wawan, yang tewas tertembak dalam Tragedi Semanggi I yang terjadi pada 13 November 1998, berkata: “Ini menjadi kewajiban kita sebagai anak muda yang setidaknya hadir di Aksi Kamisan di berbagai kota kewajiban kita untuk memperjuangkan tegaknya supremasi hukum dan HAM.”
Seperti apa yang dikatakan oleh Cunningham (1999), dalam memahami perkembangan suatu gerakan sosial, perlu melihat aspek budaya atau kultur karena itu sumber kepercayaan dari suatu masyarakat.
Bagi Cunningham (1999), adanya enkulturasi pada aspek budaya dalam gerakan sosial, dapat mempengaruhi pemahaman kita tentang dunia, dan dengan berbagai cara kehadiran kita sebagai anggota masyarakat akan menimbulkan proses sosialisasi di mana budaya dilaksanakan dan dikuatkan oleh banyak orang.
Walaupun penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu masih jauh dari titik terang, antusiasme generasi muda memberikan harapan baru bagi keluarga korban.
Saat ini, Aksi Kamisan telah berjalan sebanyak 638 kali selama 13 tahun ke belakang. Itu menunjukkan konsistensi mereka dalam resistensi. Aksi Kamisan akan terus ada selama kasus pelanggaran HAM masih dan belum terselesaikan. Resistensi tidak akan mati, akan terus ada dan berlipat ganda.
Tulisan milik Syahrul Ramadhan, Mahasiswa Antropologi Sosial di Universitas Indonesia.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.