HomeRuang PublikNew Developmentalism ala Jokowi

New Developmentalism ala Jokowi

Oleh Wahyu Eka Setyawan, Pengkampanye WALHI Jawa Timur

New Developmentalism di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah menyebabkan sejumlah persoalan hak asasi manusia (HAM). Maka dari itu, diperlukan kontra-hegemoni yang bisa mengimbangi.


PinterPolitik.com

Sepanjang tahun 2020 hingga memasuki 2021 beberapa masyarakat sipil telah mencatat aneka konflik sosial ekologis yang diakibatkan oleh perampasan ruang hidup. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2020, terdapat konflik agraria-ekologis yang mencapai 241 kasus di seluruh Indonesia.

Sementara, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) juga merangkum konflik pertambangan sepanjang 2020 ada sekitar 45 konflik tambang. Persoalan tersebut bukan berarti tanpa korban, aneka represi dan pembungkaman pada mereka yang memperjuangkan hak atas tanah airnya seperti menjadi hal yang biasa saja.

Jika melihat dalam data secara global, para pembela HAM ini menjadi kelompok rentan yang paling sering menerima kekerasan. Global Witness dalam laporannya mengungkapkan jika ada 1.738 pembela HAM yang tersebar di 50 negara selama periode 2002-2018 harus merenggang nyawanya.

Sementara, di Indonesia, aneka kriminalisasi represi menjadi cukup sering. Nelayan di Kodingareng Sulawasi Selatan, Dayak Kinipan, Daya Modang Lai, petani hutan Mojokerto, Banyuwangi, petani di Pasuruan, Banyuwangi, Pasuruan, Malang dan Jember adalah beberapa contoh betapa Indonesia belum menerapkan prinsip-prinsip perlindungan, pemenuhan dan penghormatan atas hak manusia sebagaimana dalam konstitusi UUD 1945 dan prinsip universal HAM.

Konflik yang dialami masyarakat disebabkan oleh perencanaan ruang yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat dan daya dukung lingkungan sebagai dampak dari kebijakan dan regulasi New Developmentalism yang hanya melihat pembangunan infrastruktur masif dan investasi masif sebagai jalan peningkatan ekonomi Indonesia, tanpa mempertimbangkan hak-hak warga negara. Karena proyek tersebut dilabeli sebagai kepentingan negara sehingga sifatnya sangat koersif dan determinatif, hal inilah yang memicu konflik sosial ekologis hingga menyebabkan kekerasan, ancaman, dan represi oleh mereka yang memiliki kekuasaan.

New Developmentalism di Indonesia

Rezim New Developmentalism telah menjadi momok yang mengerikan bagi keberlangsungan demokrasi dan keberlanjutan sustainable life atau kehidupan yang berkelanjutan. Mulai dari struktur politik yang timpang karena dikuasai oleh oligarki, partisipasi yang rendah dan aneka pembungkaman menjadi situasi yang seharusnya menjadi perhatian bersama.

Term New Developmentalism secara kerangka kerja teoritis yang ekonomi politiknya mendukung koalisi kelas pembangunan yang mengasosiasikan pengusaha bisnis, pekerja, dan birokrasi publik, dan untuk pembangunan makroekonomi yang difokuskan pada hak lima harga makroekonomi dan menyeimbangkan dua neraca ekonomi makro untuk mendorong investasi swasta dan publik (Bresser-Pereira, 2020).

Guna mencapai pertumbuhan, kerangka New Developmentalism akan melakukan peningkatan tingkat investasi swasta dengan mempertahankan nilai tukar yang kompetitif dan tingkat bunga yang rendah – mengupayakan menjaga daya saing nilai tukar dengan menolak tiga kebijakan kebiasaan (kebijakan terlibat dalam kebijakan fiskal yang tidak bertanggung jawab, kebijakan pertumbuhan utang luar negeri, dan kebijakan jangkar nilai tukar untuk mengendalikan inflasi) yang meningkatkan suku bunga dan menghargai kurs, serta menggunakan kontrol modal terutama ketika arus masuk modal yang berlebihan membuat nilai tukar menyimpang secara substansial dari keseimbangan industri.

Baca juga :  Tak Ada Megawati, Hanya Jokowi

Lebih lanjut, di Indonesia, menurut Warburton (2016) New Developmentalism sangat berelasi dengan perencanaan ekonomi Indonesia yang semakin berorientasi pada pembangunan – bahwa di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi), New Developmentalism telah mengkristal lebih jauh dan bisa dibilang akan menjadi ciri khas ekonomi politik Indonesia. Hal ini diakibatkan konsolidasi kekuasaan pasca pemilu dan sangat terkait dengan konteks rent seeking.

Seperti yang diungkapkan oleh Faisal Basri dalam esainya (6 Oktober 2019), ada praktik politik yang bersumber pada bisnis kroni semakin menguat, sebab era dua periode Jokowi ini akses pengusaha terhadap kekuasaan semakin mudah. Kini, mulai berceceran pengusaha yang menjadi politisi dan merangkap jabatan publik sehingga elitisme dalam rezim ini tidak bisa dihindarkan lagi.

Secara mendetail, konteks ini dapat dikaitkan dengan kajian P2P LIPI Marepus Corner bahwa 55% anggota legislatif adalah pengusaha, lebih khusus 6 dari 10 anggota legislative (Margiansyah dkk, 2020). Catatan penelitian tersebut menguatkan hipotesis dari JATAMNAS yang mengkaji politik ijon saat penyelenggaraan pemilu pada dua tahun lampau – bahwa praktik tersebut menjadi seolah-olah wajar, di mana banyak pengusaha yang menyokong pemilihan dan terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan sehingga hal ini mengakibatkan selama ini pemerintahan Jokowi berfokus secara sempit pada infrastruktur dan deregulasi; masalah-masalah lain pemerintah berada di bawah tujuan pembangunan ini. Ada gema masa lalu yang luar biasa dalam perkembangan baru, dan fitur konservatif dan nasionalisnya mencerminkan tren politik khas developmentalisme Orde Baru yang diperbarui di eranya (Warburton, 2018).

Kerangka ini yang pada dasarnya mengilhami bagaimana politik oligarkis yang predatoris telah memaksa perampasan ruang hidup rakyat dan bahkan dengan cara-cara represi. Persoalan rent seekingprivate interest, dan political capture menjadi kerangka yang tidak bisa dilepaskan dari konteks politik oligarki yang menjadi biang kerok tidak dijalankannya mandat UUD 1945 sehingga mengakibatkan pelemahan demokrasi deliberatif.

Pada konteks inilah yang menjadi indikasi mengapa korupsi, penyalahgunaan wewenang, politik uang semakin bertumbuh subur sehingga berimplikasi pada kondisi rakyat yang semakin timpang, perampasan hak-hak rakyat, dan secara kerangka besar mengebiri Hak Asasi Manusia.

Kontra-Hegemoni Sebagai Kunci Abolisi New Developmentalism

Melemahnya peran masyarakat sipil sebagai oposisi publik telah mengakibatkan aneka represi semakin menjadi-jadi dan kebijakan serta regulasi yang buruk mudah sekali disahkan. Misal, disahkannya RUU Cipta Kerja, Minerba, Air dan aneka peraturan turunannya yang sangat memfasilitasi kepentingan bisnis besar daripada rakyat.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Hal ini diakibatkan oleh ketimpangan politik di Indonesia yang didominasi elite, sebagai implikasi politik ijon yang menjadikan partai malfungsi dan hanya berfokus pada pencarian rente daripada mendorong partisipasi politik (Sari, 2016). Ini dipertegas oleh Kawamura (2018) yang risetnya mengatakan parlemen masih diduduki oleh partai politik yang tidak memiliki kemampuan dan insentif untuk mengatur basis dukungan politik di lapisan masyarakat bawah, yang mengakibatkan meratanya politik klientelistik dan korupsi sehingga hal tersebut mengakibatkan ketidakpedulian partai terhadap kemiskinan dan ketimpangan.

Keberadaan masyarakat sipil menjadi sangat penting dalam melihat persoalan yang kini terjadi, terutama semakin menguatnya oligarki yang telah menggurita dalam struktur pemerintahan republik ini. New Developmentalism telah menjadi ide buruk dalam upaya pemajuan republik ini, karena secara ide hanya bertumpu pada ekonomi tidak melihat faktor kemanusiaan dan lingkungan hidup.

Hal ini ditandai dengan munculnya aneka kebijakan dan regulasi yang sifatnya top-down dan sering kali koersif sehingga mengakibatkan terampasnya hak-hak warga negara, dari hak partisipasi, hak hidup dan hak ekonominya. Sebab ketimpangan politik yang terjadi di Indonesia dapat dikikis dan dihilangkan kala oposisi sipil menguat, sehingga iklim demokrasi kembali bangkit dan upaya pengarusutamaan pemenuhan hak rakyat dapat kembali dipenuhi.

Berkaca dari hal ini maka masyarakat sipil perlu merekonstruksi dan merekonfigurasi gerakan mereka untuk menjadi penantang serius rezim oligarki dan ide New Developmentalism-nya dengan mengarusutamakan transformasi masyarakat sipil sebagai agenda awal dalam proyek jangka panjang gerakan sipil. Selain itu, perlu juga memikirkan imajinasi bagaimana melakukan reklaiming negara, agar agenda demokrasi deliberatif kembali berjalan.

Kondisi ini harus dijalankan secara sungguh-sungguh, mulai melakukan konsolidasi lintas gerakan sipil dan mulai memikirkan wadah partai yang progresif untuk menjadi counter hegemony dari kartelisme partai politik dan kuasa oligarki yang bercokol di republik ini. Pengupayaan untuk mendorong antar masyarakat sipil untuk berbagi pandangan mereka melawan hegemoni melalui penggunaan persuasi atau propaganda sembari meningkatkan kesadaran. Satu pandangan menggambarkan kemungkinan bahwa begitu kelompok kontra-hegemonik memperoleh cukup dukungan dan konsensus melawan kekuatan saat ini (Carroll, 2006).


Tulisan milik Wahyu Eka Setyawan, Pengkampanye WALHI Jawa Timur.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Banner Ruang Publik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...