Site icon PinterPolitik.com

Netanyahu Manfaatkan Serangan Hamas?

Netanyahu Manfaatkan Serangan Hamas?

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (Foto: AFP/ABIR SULTAN)

Oleh: Lettu Wahyu Suryodarsono, S.Tr.(Han), M.Sos, Alumni Paramadina Graduate School of Diplomacy


PinterPolitik.com

Konflik antara Israel dengan Palestina kembali memanas pasca serangan roket kelompok Hamas yang terjadi pada 7 Oktober 2023 lalu. Serangan tersebut dilakukan dalam suasana hari terakhir perayaan umat Yahudi di Israel, serta menambah panjang deretan pertumpahan darah yang terjadi di sekitar kawasan tersebut.

Serangan awal Hamas pada beberapa hari lalu juga tercatat sebagai peristiwa paling berdarah sepanjang sejarah modern Israel, khususnya pasca peristiwa Holocaust. Dilansir dari The Economist pada 12 Oktober 2023, korban tewas dari pihak Israel atas serangan tersebut diestimasikan mencapai 1.300 orang, dan korban luka-luka mencapai 3.300 orang.

Lebih lanjut, sekitar 150 orang dijadikan sandera pasca serangan tersebut. Meskipun demikian, jumlah tersebut tetaplah tidak sebanding dengan jumlah korban tewas dari pihak Palestina, yang hingga saat ini mencapai estimasi 4.000 orang. Dengan begitu, jumlah korban tewas dari kedua belah pihak berpotensi mencapai 6.000 orang, dengan 1.600 korban diantaranya merupakan anak-anak.

Untuk diketahui, terdapat beberapa catatan menarik dalam serangan kali ini, yang salah satunya disinyalir merupakan buah dari kegagalan intelijen yang dilakukan oleh Israel. Intelijen Israel diketahui gagal mengantisipasi maupun mencegah serangan dari Hamas, sehingga menimbulkan korban jiwa yang sangat besar dari warga sipil.

Hal ini seolah mengulang kembali sejarah saat terjadinya Perang Yom Kippur tahun 1973. Meskipun Israel meraih kemenangan, intelijen Israel mengalami kelengahan pada awal serangan oleh Mesir dan Suriah di tengah kepercayaan diri atas perang-perang yang telah dilakoni sebelumnya.

Dalam kasus serangan kali ini, keterlenaan di atas kepercayaan diri yang timbul muncul dari kecanggihan senjata dan alat-alat pendukung operasi sehingga membuat intelijen Israel hanya melaksanakan “business as usual”, yang pada akhirnya memberikan persepsi bahwa pergerakan Hamas sudah sangat terkontrol.

Hal ini menimbulkan kesan bahwa fungsi badan intelijen Israel, seperti Mossad dan lain-lain, tidaklah secanggih serta seefektif seperti yang banyak diberitakan maupun dibicarakan.

Benjamin Netanyahu selaku Perdana Menteri Israel diketahui telah mengeluarkan pernyataan mengutuk secara keras serta mendeklarasikan perang atas serangan yang dilakukan oleh kelompok Hamas. Serangan balik pun dilakukan dengan melancarkan “Operation Iron Swords”, dengan mengupayakan isolasi di wilayah Gaza serta menerapkan operasi tempur skala besar di lingkungan perkotaan padat seperti pada konflik di Mosul, Irak.

Sikap ini memantapkan posisi seorang Benjamin Netanyahu sebagai seorang Perdana Menteri dalam memainkan peran yang strategis terhadap konflik Israel-Palestina, dimana ia telah menduduki jabatan sebagai orang nomor satu di Israel tersebut selama lebih dari 16 tahun.

Ia tercatat menjadi Perdana Menteri Israel dalam berbagai periode, yakni pada tahun 1996-1999, lalu pada tahun 2009-2021, dan terakhir pada tahun 2022 hingga saat ini.

Tentunya, perjalanan karier politik seorang Benjamin Netanyahu bukanlah tanpa batu sandungan. Salah satunya adalah akibat dari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh kelompok Hamas, yang utamanya terjadi sejak pemerintahannya pada tahun 2009. Hamas diketahui telah melakukan berbagai rangkaian serangan roket selama pemerintahan Netanyahu sejak tahun 2011 hingga saat ini.

Namun, apabila ditelisik secara lebih mendalam, serangan-serangan tersebut, meskipun menimbulkan kerugian baik bagi pihak Israel maupun Palestina, nyatanya justru memberikan keuntungan politis bagi Netanyahu sendiri dalam melanggengkan kekuasaannya selama bertahun-bertahun.

Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana bisa?

Serangan Hamas Untungkan Netanyahu?

Selama Benjamin Netanyahu berkuasa, agaknya kita perlu menggarisbawahi beberapa poin penting peristiwa pergolakan politik domestik Israel pada saat rangkaian serangan oleh Hamas dilakukan. Pada tahun 2011, Hamas melakukan serangan roket di masa kepemimpinan Netanyahu yang pada kala itu sedang terjadi inflasi besar-besaran dan kenaikan harga kebutuhan pokok di Israel.

Kejadian ini seperti membuat warga Israel melupakan sejenak krisis ekonomi yang melanda negaranya pada saat itu, dengan mengalihkan fokus pada isu serangan yang dilakukan oleh Hamas. Pada tahun 2012, serangan roket kembali terjadi ketika Netanyahu membentuk koalisi dengan Partai Yisrael Beiteinu, sebuah partai politik konservatif yang sangat menentang kemerdekaan dan berdirinya negara Palestina.

Pada tahun 2014, Netanyahu mengeluarkan pernyataan yang menolak rekonsiliasi antara Fatah dengan Hamas. Netanyahu kemudian melancarkan aksi militer terhadap Hamas yang diketahui melakukan penculikan terhadap warga Israel. Dalam kasus ini, serangan roket oleh Hamas pun kembali terjadi.

Pada bulan Januari 2017, kepolisian Israel melakukan investigasi terhadap dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Netanyahu, dimana ia diduga menerima suap dari dua pebisnis asal Amerika Serikat, yaitu James Packer dan Arnon Milchan.

Selain itu, Netanyahu juga diduga melakukan kolusi dengan Yedioth Ahronoth, salah satu media massa terbesar di Israel, guna menjaga pemberitaan positif di media tersebut agar popularitas politiknya tetap terjaga. Pada saat itu, Netanyahu dikenal sebagai politikus yang memiliki banyak pendukung, namun di saat yang bersamaan, banyak pula yang membencinya. Tak lama berselang, serangan roket dari Hamas ke Israel pun kembali terjadi.

Polisi lalu menetapkan Netanyahu sebagai tersangka pada tahun 2018. Pada tahun 2019, kejaksaan Israel menyelesaikan penetapan tersangka Netanyahu dan melakukan proses penuntutan. Lalu pada tahun 2021, mantan menteri di era pemerintahan Netanyahu, Naftali Bennet, menjadi bagian dari oposisi dan membentuk koalisi untuk menjatuhkan pemerintahan Netanyahu pada pemilihan umum yang akan datang.

Yang menarik adalah, serangan roket Hamas terjadi secara beruntun tak lama setelah kejadian-kejadian tersebut pada tahun 2018, 2019, dan juga 2021. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa serangan-serangan roket yang terjadi oleh Hamas justru menaikkan dan menjaga popularitas politik Netanyahu di kalangan warga Israel.

Netanyahu membangun figur sebagai politikus nasionalis yang mementingkan kepentingan negara dengan berperan sebagai pelindung rakyat dari serangan “teroris” di luar Israel, termasuk Hamas. Kesan ini terus bertahan, hingga pada tahun 2021, Netanyahu mengalami kekalahan dalam pemilu Israel.

Pasca kembali menjadi Perdana Menteri Israel, Netanyahu mengeluarkan kebijakan pada tahun 2023 yang memangkas kewenangan Mahkamah Agung Israel untuk melakukan judicial review serta memilih hakim. Kewenangan tersebut diberikan kepada aktor pemerintah yang dianggap vis-à-vis atau tidak sejalan dengan kebijakan Perdana Menteri.

Warga Israel pun melakukan protes dan demonstrasi atas kebijakan tersebut selama lebih dari satu minggu, dan pada bulan Oktober, serangan roket Hamas pun kembali terjadi. Hal ini kembali menjaga popularitas politik pada figur seorang Netanyahu dengan mengutuk serangan Hamas dan selanjutnya mendeklarasikan perang.

Netanyahu Mirip Bush?

Bertahannya pemerintahan Netanyahu yang menjaga figur sebagai pemimpin nasionalis dan melindungi keselamatan rakyat selama pergolakan politik domestiknya ini menunjukkan bahwa sesungguhnya warga Israel lebih condong menginginkan figur pemimpin yang kuat dan mampu melindungi stabilitas dengan menghalau segala bentuk gangguan eksternal negaranya.

Maka tak heran, ada kesan bahwa Netanyahu justru mengambil keuntungan secara politis dari rangkaian serangan roket yang dilakukan oleh Hamas selama ini.

Pertanyaan lebih lanjutnya adalah, apakah Hamas sadar akan korelasi serangan ini dengan Netanyahu, serta dampaknya pada kondisi politik domestik di Israel saat ini?

Lalu, apabila pemerintah Israel khususnya Netanyahu selama ini dikenal memiliki kedekatan yang erat dengan Amerika Serikat dengan banyaknya bantuan dari sisi sektor pertahanan, pertanyaan lebih lanjutnya adalah, apakah negeri Paman Sam tersebut juga memiliki keterlibatan dalam pendanaan gerakan-gerakan Hamas terhadap Israel selama ini?

Langkah politik yang dilakukan oleh Netanyahu sendiri sedikit banyak juga memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh George W. Bush pasca terjadinya serangan 9/11. Peristiwa 9/11 tanggal 11 September 2001 seakan menjadi ujian bagi kepemimpinan George W. Bush di AS, terutama dalam hal mengatasi masa-masa sulit rakyat Amerika pasca serangan teror tersebut.

Hasilnya, apa yang terjadi pasca serangan teror destruktif tersebut justru menjadi political gain bagi Bush dalam menjalankan pemerintahannya ke depan.Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh ABC-Washington Post, Bush hanya memperoleh approval rating sebesar 55 persen pada awal September 2001.

Namun beberapa hari setelah peristiwa 9/11, tepatnya pada tanggal 9 Oktober, popularitasnya melonjak hingga 92 persen. Popularitas dan keuntungan politis yang didapat kemudian dikonversi oleh Bush dengan meraih kemenangan dalam pemilu berikutnya pada tahun 2004, dimana ia berhasil menang atas rivalnya dari Partai Demokrat, yaitu John Kerry.

Netanyahu dan Bush merupakan dua contoh konkret bagaimana seorang aktor politik dapat melakukan “pengalihan isu” pemerintahan domestik akibat dari apa yang terjadi di lingkup eksternal negaranya. Agaknya hal ini dilakukan agar tiap-tiap politisi mendapatkan political gain dari masalah yang sedang dihadapi pemerintahannya, khususnya bila masalah tersebut bersumber dari luar wilayah negara yang ia pimpin.

Namun kembali lagi, mempertahankan kekuasaan bukanlah hal yang terpenting dilakukan bagi seorang pemimpin ataupun politisi, melainkan bagaimana kepemimpinannya dapat membawa kemakmuran bagi sekitarnya.

Kebijakan Israel di era Netanyahu nyatanya tidak berdampak positif bagi proses normalisasi hubungan diplomatik dan perdamaian di kawasan Timur Tengah. Kebijakan Bush pasca 9/11 yang bertajuk “War on Terror” pun juga semakin memperkeruh hubungan AS dengan negara-negara Timur Tengah, dan nyatanya membuat ia sebagai figur yang sangat tidak disukai di sana.


Opini adalah kiriman dari Wahyu Suryodarsono. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Exit mobile version