Reunifikasi Korea antara Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) adalah mimpi yang hingga kini belum juga tercapai. Meski begitu, keinginan reunifikasi itu bisa jadi mimpi buruk dengan adanya berbagai kepentingan di antara keduanya yang belum dapat dipertemukan.
Ide reunifikasi atau persatuan kembali semenanjung Korea sejak pertemuan Panmunjom antara Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) pada 27 April 2018, mendadak kembali pupus. Peledakan sepihak Kantor Penghubung Korea di wilayah industri Kaesong pada 16 Junu lalu oleh Korut atas perintah adik pemimpin tertinggi Korut, Kim Yo Jong ditengarai menjadi penyebabnya.
Peristiwa ini sontak memicu reaksi keras dari pejabat tinggi Korsel, termasuk pengunduran diri Menteri Reunifikasi Kim Yeon-chul pada 19 Juni lalu. Beragam spekulasi mengenai mimpi buruk denuklirisasi Korea Utara bermunculan. Sekaligus menyisakan pertanyaan akan masih adakah harapan untuk perdamaian di semenanjung Korea?
Momen-Momen Penting Reunifikasi Korea
Dua tahun terakhir, terdapat sejumlah peristiwa dalam upaya penjajakan perdamaian Korut-Korsel. Pertama, Pertemuan Tingkat Tinggi (PTT) Antar Korea yang dimulai di perbatasan Panmunjom dalam Demilitarized Zone (DMZ). PTT ini menghasilkan Deklarasi Panmunjom yang poin-poinnya antara lain, kesejahteraan dan reunifikasi melalui pembangunan, menghilangkan tensi militer dan tensi perang, serta pembentukan rezim perdamaian semenanjung Korea. Meskipun deklarasi ini dinilai sangat retoris oleh Annisa Pratamasari (Kolom Opini Jawa Pos 30 April 2018), namun di awal publik cukup optimis bahwa PTT ini akan mengawali pembicaraan lebih lanjut tentang perdamaian Korea.
Pertemuan Panmunjom disusul oleh PTT Mei 2018, yang hasilnya tidak dipublikasikan. Sementara, PTT September 2018 menghasilkan Deklarasi Bersama Pyongyang yang menegaskan penyelenggaraan PTT berikutnya di Seoul.
Selain itu terdapat lima poin lainnya yang meliputi komitmen untuk menghindari persaingan militer, mendorong kerja sama ekonomi, menyelesaikan isu humaniter seperti mempersatukan keluarga yang terpisah, pertukaran dan kerja sama, serta mewujudkan Korea sebagai daratan yang damai dan bebas nuklir. Lagi-lagi poin di dalam deklarasi Pyongyang terlihat normatif dan ketiadaan tenggat waktu, sehingga membutuhkan waktu yang cukup panjang serta komitmen kuat antara kedua pemerintahan negara dalam mewujudkannya.
Perdamaian setidaknya secara simbolik “dibayar mengangsur” kedua negara dengan penyatuan delegasi Korea Bersatu dalam perhelatan olahraga Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Peristiwa lain yang bersifat soft diplomacy berkaitan dengan budaya menyusul, seperti: kerja sama film antara kedua negara, reuni keluarga terpisah di Gunung Kumgang, kehadiran Presiden Moon di Festival Arirang di Pyongyang, dan ketibaan kereta pertama Korsel di Stasiun Panmun, Korut.
Sementara, Pyongyang masih tampak berhati-hati dengan memberi syarat-syarat implementasi kesepakatan ihwal politik-militer seperti kebijakan disarmament dan denuklirisasi, meski telah terbukti menutup sejumlah fasilitas spaceport tempat peluncuran rudal nuklir Korut.
Campur Tangan AS: Mimpi Buruk Swadaya Bangsa Korea?
Lebih lanjut, Korut mengklaim Korsel lalai dalam menahan laju aktivis ekspatriat eks-Korut yang menyebarkan selebaran propaganda anti-Pyongyang sehingga Kim Yo Jong segera merespons dengan perintah peledakan gedung Penghubung yang telah ditinggalkan oleh para diplomat Korsel sejak merebaknya pandemi Covid-19. Kondisi brinkmanship atau menyerempet bahaya memicu terjadinya restart hubungan kedua negara kembali semula.
Kehadiran AS dalam upaya perdamaian di semenanjung Korea diindikasikan menjadi salah satu faktor terbesar untuk menyatukan kembali kedua negara yang terpisah sejak 10 Agustus 1945 ini secara swadaya. Kepentingan negara adikuasa ini dalam memberikan sanksi pada Korut dengan denuklirisasi total dapat menghalangi langkah konkret bangsa Korea dalam menyelesaikan sendiri sengketa antar saudara sedarahnya.
Campur tangan AS di semenanjung Korea berulang ketika Presiden AS Donald Trump berambisi meraih Nobel Perdamaian ketika dapat mendamaikan kedua negara yang terlibat panas-dingin konflik sejak gencatan senjata tahun 1953 tanpa kesepakatan damai. PTT di Singapura antara Trump dengan Kim pada 12 Juni 2018, menyepakati akhir dari rangkaian latihan perang yang kerap meningkatkan tensi hubungan antara kedua negara – disusul PTT Hanoi pada akhir Februari 2019 dan PTT Panmunjom pada 30 Juni 2019 yang juga menghadirkan Presiden Moon Jae-in.
Mirisnya, PTT Hanoi dan Panmunjom oleh AS sama sekali tidak menghasilkan kesepakatan sehingga, kendati didukung oleh Korut dan Korsel, berbagai kritik berdatangan terutama dari internal AS sendiri melalui media-media AS yang menganggap Presiden Trump justru memberi jalan terhadap pengakuan Korut sebagai kekuatan nuklir global ketimbang tujuan awal AS yakni denuklirisasi secara penuh.
Pasca-peledakan Kantor Penghubung, upaya reunifikasi Korut-Korsel memasuki periode stagnasi. Preseden buruk dinyatakan Kim Jong-Un melalui kantor berita resmi Korut pada 22 Juni lalu, mempertanyakan peran Presiden Moon yang selama ini dianggap sebagai broker antara Pyongyang-Washington justru semakin mengeruhkan kesepakatan.
Moon dianggap tidak menegosiasikan peringanan sanksi nuklir dari AS. Sebaliknya, publik internasional makin resah dengan gagalnya kesepakatan berarti meningkatkan risiko potensi perang nuklir yang kemungkinan dapat terjadi dan tentunya akan berefek jauh lebih berbahaya daripada pandemi Covid-19.
Peran Honest Broker Dibutuhkan
Peliknya hubungan Korut-Korsel membutuhkan solusi konkret yang lebih manusiawi dan bebas kepentingan negara besar seperti AS. Untuk menghindarkan perseteruan berikutnya, terdapat dua alternatif upaya yang dapat ditempuh.
Pertama, membiarkan kedua negara menyelesaikan secara mendiri sengketanya dalam skema bilateral, disertai penarikan diri AS sebagai negara yang memiliki pengaruh besar baik di semenanjung Korea maupun Asia Timur. Kedua, menempatkan negara-negara bebas kepentingan politik di kawasan Semenanjung Korea untuk menjadi honest broker, yakni negosiator yang tidak berat sebelah atau tidak timpang dengan kepentingan tertentu.
Indonesia menjadi salah satu contoh negara yang memiliki sejarah panjang hubungan dengan kedua negara. Mengingat negara yang mempromosikan politik bebas-aktif, sudah saatnya Indonesia menawarkan perannya sebagai juru damai antara kedua negara.
Tulisan milik Probo Darono Yakti, Pengamat Politik Global, Research Fellow di Emerging Indonesia Project, dan Alumnus S2 Hubungan Internasional UNAIR.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.