Site icon PinterPolitik.com

Menyoal Wacana Sertifikasi Pranikah

Menyoal Wacana Sertifikasi Pranikah

Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendy (kiri). (Foto: Jawa Pos)

Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) beberapa waktu lalu mewacanakan adanya sertifikasi pranikah bagi siapa-siapa saja yang hendak menjalankan kehidupan rumah tangga. Mungkin, sertifikasi tersebut alangkah lebih baik apabila menerapkan beberapa upaya literasi yang esensial.


PinterPolitik.com

Baru-baru ini, Kementerian Koordinator (Kemenko) Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) mengeluarkan wacana untuk menerapkan sertifikasi pranikah. Wacana tersebut harus benar-benar dikawal agar tidak memunculkan potensi negatif yang yang dikhawatirkan melampaui tujuan awalnya.

Oleh sebab itu, melalui tulisan ini saya ingin memberikan pendapat-pendapat dari beberapa perspektif. Sebelum masuk ke substansinya, mungkin, pemerintah sebaiknya jangan memakai terminologi “sertifikasi pranikah”.

Terminologi tersebut terkesan terlalu pragmatis karena sertifikasi merujuk pada orientasi terhadap hasil, bukan internalisasi nilai substantif yang dibutuhkan pasangan yang akan menikah. Bisa jadi, jika terminologi tersebut yang dipakai, para calon pasangan suami-istri hanya akan ikut program sertifikasi agar sebatas lulus tetapi konteks untuk mendapatkan internalisasi nilai menjadi kabur.

Seharusnya, terminologi lebih baik diarahkan menjadi “literasi pranikah”. Literasi merupakan sebuah kecakapan atau kompetensi dalam bidang-bidang tertentu yang pembelajarannya dinamis dan berlangsung seumur hidup – sama seperti das sollen (cita-cita ideal) pernikahan yang mengharapkan suami dan istri mampu menjalani proses pembelajaran untuk menjadi suami atau istri yang ideal yang berlangsung seumur hidup. Jadi, pembelajaran tidak selesai setelah mendapat sertifikat.

Kemudian, jika menggunakan terminologi literasi, maka harus ada mata pelajaran pokok literasi yang harus dikuasai setidak-tidaknya mencakup literasi finansial, digital, kesetaraan gender, pendidikan anak, dan agama (dalam konteks etika pluralisme). Bisa jadi, lima bidang literasi tersebut merupakan lima bidang utama yang menjadi kunci kehidupan rumah tangga yang ideal dan ikut membangun peradaban masyarakat.

Pertama, literasi finansial berkaitan dengan manajemen risiko pengelolaan keuangan yang menjadi hal vital bagi keluarga. Keluarga yang melek keuangan akan dapat berperan penuh dalam mendukung inklusi keuangan.

Dalam tulisan penulis yang berjudul Literasi, disebutkan bahwa keluarga yang memiliki literasi keuangan akan dapat memahami betul risiko investasi yang akan diambil, tidak terperangkap dalam utang untuk hal-hal yang tidak produktif, memiliki proteksi untuk masa depan, merencanakan pendidikan anak dengan instrumen keuangan yang sesuai, menyisihkan uang untuk ditabung, dan sebagainya.

Selain itu, orang tua yang literat finansial akan mampu menumbuhkan kesadaran pengelolaan keuangan yang tepat guna sejak dini seperti mengarahkan anak untuk menabung, mampu memberi penjelasan tentang perbedaan kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan pengeluaran (belanja), hingga mampu mengenalkan anak pada lembaga keuangan beserta produknya.

Kedua, materi kesetaraan gender bisa juga berkaitan dengan budaya patriarkis di masyarakat kita yang sudah melekat sejak lama. Perempuan sering menjadi objek dari laki-laki dalam kubangan pernikahan yang tidak ideal. Meskipun Kartini sudah memberi teladan untuk melawan sistem nilai tersebut, namun banyak masyarakat yang masih terjebak dengan pemikiran sempit itu.

Ini tentu merupakan bentuk ketidakadilan ideologis yang mengekang. Anggapan bahwa perempuan hanya berkewajiban untuk melaksanakan tugas mengurus anak, tugas rumah tangga, hingga melayani kebutuhan seksual suami merupakan anggapan yang terlampau naif. Di lain sisi, suami menjadi pencari nafkah dan dianggap punya kedaulatan mutlak sebagai kepala keluarga.

Peran laki-laki akan terlalu menonjol. Perempuan hanya dinarasikan secara subordinat. Kekangan ideologis semacam itu akan menciptakan sebuah hegemoni salah satu pihak yang dalam hal ini adalah laki-laki (suami) dalam keluarga.

Hegemoni tersebut akan menutup ruang diskursus moral dan ruang-ruang intelektual. Tertutupnya ruang-ruang tersebut juga dapat berpengaruh dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, seperti dalam suasana musyawarah atau sistem demokrasi, pendapat perempuan atau hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan perempuan akan dipandang tidak terlalu penting.

Ketiga, kita sepakat bahwa era kini menuntut setiap individu untuk melek teknologi dan literat dalam mengakses informasi maupun media sosial berbasis internet. Pondasi tersebut juga harus dibangun dalam keluarga melalui literasi digital. Orang tua harus punya kecakapan ini guna menghindari hoaks maupun potensi menyebarkan berita-berita hoaks tersebut.

Selain itu, literasi digital penting agar orang tua punya pengetahuan tentang segmentasi konten berbasis internet untuk anak-anak mereka. Dengan literasi digital yang mumpuni, orang tua juga dapat membimbing anak untuk memanfaatkan sumber-sumber digital secara lebih efektif untuk tujuan mulia seperti mengakses portal edukatif dan informatif.

Keempat, literasi pendidikan anak juga dinilai penting. Rhenald Kasali (2019) dalam buku berjudul Sentra menyebutkan bahwa keluarga punya peran vital untuk mengawal tumbuh kembang yang ideal bagi anak dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Kasali menjelaskan bahwa orang tua harus memahami perkembangan kognitif anak (Jean Piaget), cara-cara belajar yang berbeda-beda (Howard Gardner), kecakapan dalam kehidupan (Ellen Galinsky), hingga nilai-nilai yang esensial (disarikan dari Kitab Suci). Hal itu semua merupakan hal wajib yang harus dikuasai orang tua dalam pendidikan anak sejak usia dini demi tumbuh kembang anak yang paripurna dan demi membangun generasi yang berdaya.

Kelima, literasi juga perlu mencakup peningkatan pemahaman keluarga terhadap materi agama dan etika pluralisme. Pemberian materi ini penting untuk meminimalkan kenaifan keluarga dalam menjalankan ajaran agama.

Literasi ini akan mendorong keluarga untuk mengamalkan apa yang disebut sebagai intergroup contact kepada semua orang. Dalam implementasinya, contoh paling nyata adalah saat perayaan hari besar agama, para orang tua mengajak anak-anak mereka untuk mengunjungi umat beragama yang merayakan hari besar agamanya.

Mereka akan dilatih untuk memiliki orientasi keagamaan yang intrinsik yang memandang agama sebagai sumber pengharapan dalam menjalani kehidupan. Allport & Ross dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Personal Religious Orientation and Prejudice menyebutkan bahwa orientasi keagamaan intrinsik membuat penganutnya cenderung mendambakan kehidupan sosial beragama yang toleran, rukun, dan kooperatif.

Pada akhirnya, jika memang wacana sertifikasi pranikah akan menjadi program, maka harus dipastikan pelaksanaannya jangan diperumit. Semua harus bisa dilaksanakan secara fleksibel dan tidak rigid. Fleksibel dalam artian bahwa program bisa diakses kapan saja dan tidak dibutuhkan persyaratan administratif yang rumit.

Pemerintah hanya menjadi fasilitator dalam hal pendanaan. Legalisasi sertifikat bisa diserahkan kepada penyelenggara agar bisa dengan mudah diterbitkan, dievaluasi, dan ditindaklanjuti.

Kemudian, dalam urusan lembaga yang menyelenggarakan literasi tentang pernikahan tidak boleh diakomodasi seluruhnya oleh pemerintah tetapi harus bekerja sama dengan civil society, seperti organisasi keagamaan (memberikan literasi agama dan etika pluralisme), organisasi pendidikan (ahli pendidikan untuk memberi materi tentang Pendidikan Sentra), LSM bidang kesetaraan gender, lembaga dalam bidang literasi digital, hingga lembaga keuangan untuk memberikan literasi keuangan.

Jika seluruh literasi-literasi tersebut dilaksanakan secara horizontal, maka para calon suami-istri akan memahami bahwa kehidupan berumah tangga nantinya tidak hanya sebatas tanggung jawab individual, melainkan juga tanggung jawab komunal dalam lingkup masyarakat, bangsa, dan negara.

Tulisan milik Yukaristia, Sarjana Pendidikan Akuntasi dari Universitas Negeri Malang.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version