Sistem e-budgeting Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang telah diterapkan sejak era Basuki Tjahaja Purnama (BTP atau Ahok) sebenarnya merupakan sistem transparansi yang baik. Namun, mengapa polemik lem aibon dapat terjadi? Apa yang perlu dilakukan oleh Anies Baswedan sebagai gubernur sekarang?
PinterPolitik.com
Sebelum sistem e-budgeting diimplementasikan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggunakan dua sistem dalam perencanaan penganggaran melalui Sistem Informasi Perencanaan (SIP) yang menjadi tanggung jawab Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) yang otoritasnya dipegang oleh Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD).
Setelah melalui tahap formulasi dalam mewujudkan pengelolaan anggaran secara jelas, terbuka, dan akuntabel, kedua sistem ini disatukan dan bertransformasi menjadi satu sistem yang dikenal dengan sistem e-budgeting yang berpedoman dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 mengenai Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah secara efektif dan transparan dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 mengenai keterbukaan informasi keuangan daerah kepada masyarakat. Upaya untuk menerapkan sistem e-budgeting diawali oleh kegelisahan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 2014, Basuki Tjahaja Purnama, terkait maraknya kegiatan penyelewengan anggaran di DKI Jakarta.
Dalam laporan BPK terhadap pengelolaan anggaran DKI Jakarta pada 2010, dijelaskan bahwa ditemukan berbagai indikasi kerugian daerah sebesar tujuh miliar rupiah dan kekurangan penerimaan daerah hingga sebesar empat miliar rupiah. Begitu pula dengan masih kurangnya tindak lanjut mengenai temuan pemeriksaan atas kepatuhan pada tahun anggaran 2009 total sebanyak 171 kasus dengan rincian 144 belum sesuai rekomendasi, 26 belum ditindaklanjuti, dan satu rekomendasi yang tidak ditindaklanjuti.
Pada tahun anggaran 2011, BPK mengindikasikan adanya 69 temuan kasus yang merugikan daerah hingga 4,82 miliar dan kekurangan penerimaan daerah sebesar 7,02 miliar. Angka ini memuncak pada tahun anggaran 2013 di mana menurut laporan BPK, terdapat temuan kerugian APBD DKI Jakarta sebesar 1,54 triliun yang dirinci dengan kerugian daerah sebesar 85 miliar, kekurangan penerimaan daerah 95 miliar, pemborosan 23 miliar, dan potensi kerugian daerah sebesar 1,33 triliun.
Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) menguatkan masalah keuangan DKI Jakarta dengan menyatakan bahwa DKI Jakarta adalah provinsi terkorup di Indonesia pada 2012 dengan persentase kasus dugaan korupsi sebanyak 46,7%. Wakil Ketua PPATK, Agus Santoso, menyatakan pada umumnya korupsi di daerah menggunakan modus dengan cara memindahkan dana anggaran APBD ke rekening bendahara provinsi.
Dalam teori mengenai good governance, dijelaskan bahwa salah satu unsur untuk mewujudkan good governance adalah keterbukaan informasi dan penerapan e-government. Hal ini juga sejalan dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 yang menjelaskan tentang kewajiban badan publik untuk membuka akses informasi kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan transparansi kepada publik.
UU tersebut juga adalah upaya untuk memenuhi Hak Asasi Warga Negara sesuai dengan bunyi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28F untuk mengetahui informasi publik. Upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencoba mewujudkan good governance melalui e-budgeting yang dimulai saat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) untuk tahun anggaran 2014 mulai membuahkan hasil secara bertahap.
Potensi kerugian APBD DKI pada tahun 2014 menyusut menjadi 214,29 miliar meski statusnya tidak berubah dari WDP. Hasil audit BPK ini belum cukup memuaskan bagi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang mengatakan bahwa e-budgeting belum maksimal karena terdapat temuan penyelewengan anggaran hingga sebesar 12,1 triliun.
Pada 2015 dan 2016, BPK tetap tidak mengubah status laporan APBD DKI Jakarta dari WDP, tapi suatu hal yang menjadi peningkatan adalah BPK tidak menyebutkan potensi kerugian anggaran DKI melainkan hanya memberikan beberapa catatan mengenai inventaris aset yang belum selesai, keterbukaan informasi yang belum valid, dan pengelolaan APBD yang terkait dengan aset tetap, pajak dan piutang yang belum maksimal.
Barulah pada 2017, setelah empat tahun berturut-turut mendapat status atau opini Wajib Dengan Pengecualian (WDP), akhirnya Pemprov DKI Jakarta mendapatkan status Wajib Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK berkat tidak ditemukannya penyimpangan (fraud) dari pengelolaan APBD pada tahun anggaran 2017. Status WTP tersebut dinilai krusial untuk membuktikan kredibilitas lembaga pemerintahan dan menjadi tolak ukur dalam hasil audit anggaran.
Sistem e- budgeting di DKI Jakarta juga dipuji oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, yang mengatakan bahwa e-budgeting memiliki manfaat dalam dua tahap yakni penganggaran yang bersifat akuntabel dan pengawasan oleh masyarakat secara langsung setelah data tersebut diunggah, Ia bahkan berharap penerapan e-budgeting dapat dicontoh oleh berbagai daerah lain untuk segera diterapkan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mendapatkan penghargaan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2015 berkat program unggulan seperti e-budgeting dan e-musrenbang, penghargaan tersebut termasuk sebagai kategori perencanaan terbaik kategori provinsi, terbaik untuk perencanaan inovatif, terbaik perencanaan progresif, pencapai MDGs (Millenium Development Goals) terbaik tahun 2015, dan pencapai indikator terbanyak.
Pada 2019, Pemprov DKI Jakarta kembali menerima penghargaan dari Komisi Informasi Republik Indonesia sebagai Badan Publik Pemerintah Provinsi Kualifikasi Informatif pada 2019 berkat efektivitas program keterbukaan informasi, inovasi, dan kolaborasi terhadap publik.
Namun, akhir-akhir ini penerapan e-budgeting kembali menjadi sorotan berkat pengungkapan anggaran lem aibon sebesar 82 miliar, biaya influencer 5 miliar, ballpoint sebesar 124 miliar, serta anggaran lainnya. Anggaran ini pertama kali diungkap oleh anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Wiliam Aditya Sarana, di akun sosial medianya dan langsung mendapat sorotan dari kalangan masyarakat.
Adanya sorotan masyarakat tersebut memaksa Pemprov DKI untuk bergerak cepat, Gubernur DKI Jakarta saat ini, Anies Baswedan, langsung mengadakan rapat internal dengan jajarannya untuk mengecek kembali anggaran-anggaran yang janggal tersebut. Beliau juga menjelaskan bahwa sistem e-budgeting saat ini belum maksimal dan terkesan kurang smart karena tidak bisa mendeteksi secara otomatis penginputan yang salah.
Pernyataan ini langsung ditanggapi oleh dua mantan Gubernur DKI Jakarta pada periode sebelumnya, yakni Djarot Sjaiful Hidayat dan Basuki Tjahaja Purnama, menurut Djarot polemik mengenai e-budgeting terletak pada kesalahan Sumber Daya Manusia (SDM) yang menginput anggaran dan kelalaian pemimpin untuk mengevaluasi anggaran yang telah ditetapkan. Sementara, menurut Basuki, sistem e-budgeting sudah baik karena dapat mengetahui anggaran secara detail sehingga berbagai anggaran “siluman” dapat bisa dideteksi sejak dini.
Direktur Eksekutif Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran (LETRAA), Yenny Sucipto, mendukung pendapat ini dengan mengatakan bahwa adanya kemunduran Pemprov DKI dalam melakukan pengelolaan anggaran, padahal pada pemerintahan sebelumnya sistem e-budgeting sudah dilaksanakan dengan baik.
Dalam jurnalnya yang menganalisis tentang penerapan e-budgeting di DKI Jakarta, Martiningtyas Yunita mengatakan bahwa pada dasarnya sistem e-budgeting DKI sudah memiliki konsep dan tujuan yang sangat baik, namun masih terdapat beberapa kekurangan seperti masih kurangnya kemampuan sistem e-budgeting untuk menelusuri penginputan data secara historis dari seluruh user dan masih mengandalkan kemampuan evaluator atau admin.
Kedua, integrasi sistem e-budgeting kepada berbagai stakeholder seperti antara SKPD dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (LKPP) dinilai masih kurang. Jika integrasi antar lembaga tersebut berjalan secara maksimal maka akuntabilitas dan kejelasan anggaran dalam sistem e-budgeting juga akan meningkat.
Selain itu, Yunita juga menekankan pentingnya peran pemimpin seperti Gubernur untuk senantiasa mengawasi pengelolaan anggaran sejak perencanaan hingga evaluasi, ketegasan pemimpin tentunya akan berperan besar dalam mengawasi berbagai gerak-gerik bawahan dan penentuan arah kebijakan ke depannya.
Tulisan milik Alif Nurrachman, Dinan Arkani Waluyantara, Elvan Fitransyah, dan Havilah Ananta Siregar; mahasiswa-mahasiswi di Universitas Indonesia.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.