Pandemi global virus Corona (Covid-19) telah menghantam Indonesia. Namun, bagaimanakah respons pemerintah dalam menangani pandemi ini bila dinilai dari aspek hukum?
PinterPolitik.com
Wabah pandemi virus Corona atau yang sekarang ini memiliki sebutan resmi internasional, yaitu Covid-19 pertama kali muncul di Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, China, pada Desember 2019. Pada awal kemunculannya virus ini diyakini berasal dari hewan yakni kelelawar ataupun dari hewan yang dimakan dalam keadaan tidak matang atau kurang higienis dalam proses penyajiannya.
Dalam perkembangannya virus ini bertransformasi sangat cepat sehingga dapat menular dari manusia ke manusia dalam waktu yang sangat singkat yang menyerang saluran pernapasan, yaitu batuk, pilek, sakit tenggorokan, dan bahkan sesak napas.
Covid-19 ini membuat pemerintah Wuhan bekerja keras untuk dapat mengatasi penyebaran virus yang sudah sangat cepat memakan korban penduduk di Wuhan dengan jumlah kasus orang yang terpapar berjumlah sekitar 82,788 kasus dengan total angka kematian sekitar 4.632 kasus. Atas dasar tersebut pemerintah Wuhan pun melakukan keputusan untuk melakukan lockdown pada tanggal 23 Januari 2020 terhadap semua wilayah transportasi dan warga pun dilarang untuk melakukan aktivitas keluar rumah. Hal tersebut dilakukan guna memutus rantai penyebaran Covid-19 yang dapat ditularkan melalui manusia ke manusia.
Setelah kasus pertama muncul di Wuhan yang mengakibatkan hampir ribuan orang terinfeksi dan kebijakan pemerintah Wuhan melakukan lockdown justru kasus penyebaran Covid-19 ini semakin tak terbendung karena jumlah orang yang terpapar virus ini semakin banyak yang menyebar hampir ke seluruh negara. Diketahui bahwa negara-negara di Eropa juga terdampak virus ini yang jumlahnya pun sangat besar. Salah satunya adalah negara Italia yang dikonfirmasi jumlah kasus aktifnya sekitar 187.327 kasus dengan total kematian sekitar 25.085 kasus.
Sedikit pendahuluan diatas mengenai awal mula penyebaran Covid-19 yang sudah sangat meluas lantas bagaimana dengan di Indonesia yang kasus pertamanya diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal Maret 2020 dengan informasi 2 (dua) Warga Negara Indonesia positif terpapar Covid-19. Pemerintah pada mulanya langsung bergegas menunjuk Rumah Sakit yang dikhususkan untuk mengisolasi pasien tersebut yaitu di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta.
Grafik penyebaran Covid-19 di Indonesia semakin melonjak naik mulai hari ke hari di bulan Maret. Namun,pemerintah kala itu belum melakukan kebijakan untuk menerapkan pembatasan sosial berskala besar ataupun karantina wilayah.
Di saat merebaknya wabah Covid-19 ini di Indonesia banyak sekali berita hoaks yang beredar di kalangan masyarakat dikarenakan pemerintah tidak cepat dalam bertindak untuk membuat laman resmi ataupun satu kanal untuk dapat diakses masyarakat. Hoaks yang terjadi pun salah satunya mengenai sudah banyaknya orang yang positif terpapar padahal belum ada informasi resmi dari pemerintah dalam hal ini dipegang kendali oleh Kementerian Kesehatan RI.
Pada akhirnya, pada 13 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menunjuk seorang juru bicara untuk penanganan Covid-19 untuk mencegah adanya kesimpangsiuran berita selain itu juga agar komunikasi publik dapat berjalan lancar dan efektif pada satu kanal yang terpercaya. Langkah tersebut menurut penulis sudah sangat bagus karena memang untuk menghindari adanya berita hoaks yang cepat sekali menyebar di kalangan masyarakat sehingga dapat menyebabkan kepanikan.
Namun, yang agak disayangkan kenapa penunjukan Juru Bicara tersebut baru dilakukan selang beberapa hari setelah adanya konfirmasi warga negara Indonesia terbukti positif Covid-19. Lagi-lagi pemerintah tampaknya cenderung bergerak lambat dalam melihat kondisi yang akan terjadi ke depannya.
Lalu, setelah penunjukan juru bicara dari Kementerian Kesehatan tersebut memang semua sumber berita yang diliput media berasal dari satu kanal dan sudah cukup efektif menangkal adanya isu-isu hoaks yang selama ini beredar yang meresahkan masyarakat. Akan tetapi menurut penulis pemerintah terlalu menutup-nutupi data faktual terkait dengan berapa banyak jumlah orang yang terpapar Covid-19 ini.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berita adanya kasus kematian yang janggal yang terjadi di Cianjur. Pada saat itu diberitakan bahwa telah terjadi kasus kematian salah seorang warga Cianjur namun penyebab kematiannya bukanlah positif Covid-19 hal ini menjadi membingungkan karena selang beberapa hari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil justru membuat rilisan resmi bahwa orang tersebut meninggal karena positif Covid-19.
Dari peristiwa tersebut saja, penulis bisa melihat bahwa telah terjadi miskordinasi antara Dinas Kesehatan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait dengan keterbukaan data. Selain itu, faktor lamanya hasil laboratorium yang seharusnya dapat diketahui cepat sehingga bisa terdata seseorang dinyatakan positif atau negatif.
Peristiwa di atas merupakan sedikit gambaran awal bagaimana Dinas Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan Pemerintah Provinsi gagap dalam mengambil data faktual terkait berapa jumlah pasien positif maupun yang meninggal karena Covid-19. Hal ini justru akan semakin membuat warga masyarakat kebingungan menelan informasi yang mana.
Menurut penulis, harusnya Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Provinsi bisa bekerja sama dengan baik sehingga dalam penyajian data tidak saling ralat satu sama lain. Keterbukaan data dan informasi sangat lah diperlukan di tengah situasi genting seperti ini karena dengan demikian publik pun akan semakin percaya kinerja pemerintah untuk serius menangani dan menyelesaikan pandemi Covid-19 ini. Dengan keterbukaan akses, publik menyerap informasi maka warga akan semakin patuh terhadap aturan dan protokol yang diterapkan oleh pemerintah.
Lantas, mari kita membahas bagaimana pemerintah dalam hal ini mengeluarkan beberapa peraturan hukum terkait untuk mencegah penyebaran Covid-19. Pada tanggal 31 Maret 2020, Presiden Joko Widodo, menetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dalam keputusannya menetapkan bahwa Covid-19 sebagai penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat sehingga wajib dilakukan upaya-upaya untuk penanggulangannya.
Dengan demikian, dapat dianalisis bahwa Covid-19 ini haruslah ditanggulangi dengan serius yang mengharuskan adanya kerja sama yang baik. Pemerintah secepatnya harus memberikan segala fasilitas yang mumpuni kepada garda terdepan yaitu tenaga medis (Dokter dan Perawat) yaitu berupa masker medis, alat perlindungan diri, hand sinetizer,dan lainnya.
Bila kita melihat dari grafik dan statistik kasus Covid-19 di Indonesia sangat lah mencengangkan karena hari demi hari jumlahnya semakin naik drastis begitu pula angka kematian yang tidak sedikit. Bila berkaca pada negara-negara Asia Tenggara lainnya jumlah kematian karena kasus Covid-19 bisa dikatakan tertinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Adapun jumlah kasus aktif di Indonesia per 23 April 2020 yaitu 7.418 kasus dan jumlah kematiannya yaitu 635 kasus. Hal tersebut memanglah tidak mudah bila pemerintah terus-menerus bergerak lamban dalam melakukan kebijakan untuk memutus mata rantai Covid-19 ini.
Alhasil, tarik menarik kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun tak terelakkan, hal ini bisa kita ambil contoh misalnya di wilayah DKI Jakarta yang merupakan episentrum kasus aktif terbanyak pun tak bisa mengambil langkah tegas dan cepat. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang sudah ingin melakukan kebijakan untuk ‘lockdown’ pun susah mendapatkan izin langsung dari Pemerintah Pusat.
Namun, pada akhirnya pemerintah sepakat untuk menetapkan kebijakan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar bagi setiap daerah berzona merah. Adapun aturan PSBB merupakan turunan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Adapun Permenkes merupakan aturan turunan Peratuan Pemerintah atau PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Membahas mengenai PSBB, menurut penulis, kebijakan tersebut sedikit terlambat diterapkan oleh pemerintah karena hal itu dilihat dari segi grafik orang yang terpapar yang terlanjur sudah meningkat drastis sedangkan kebijakan PSBB barulah diterapkan. Menurut penulis, bila pemerintah serius maka seharusnya sudah menerapkan kebijakan PSBB di daerah zona merah yang merupakan pusat penyebaran Covid-19 ini.
Adapun pengertian PSBB sendiri adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Adapun kriteria untuk suatu daerah dapat menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar harus memenuhi beberapa poin yaitu jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah dan terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
Dari adanya aturan PSBB, maka dapat dilihat sebagian besar kota di Indonesia sudah melakukan kebijakan PSBB misalnya di Jakarta berlaku dari tanggal 10 April 2020, di Bandung berlaku mulai tanggal 22 April 2020, di Surabaya yang sampai saat ini sedang melakukan permohonan, lalu di Tangerang berlaku tanggal 18 April 2020, selain itu di Makassar berlaku tanggal 24 April 2020. Namun lagi-lagi tidak semua provinsi yang mengajukan permohonan PSBB akan disetujui oleh Kementerian Kesehatan karena haruslah memenuhi kriteria epidemiologi.
Lalu, kebijakan yang ketiga yang dikeluarkan oleh Pemerintah adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahas Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Keuangan. Kebijakan ini menurut penulis, bila dilihat dari aspek formilnya tidak memenuhi unsur ‘kegentingan yang memaksa’ karena bila mengkaji dari judul dan substansi Perppu sesungguhnya Perppu ini tidak diperuntukkan bagi penanganan dari adanya dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor keuangan.
Dapat dilihat dari frasa …”dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan”. Selain itu bila kita membaca di dalam Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
Hal ini terbilang sangat membingungkan karena terdapat impunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan negara sehingga nantinya bila ada dugaan pelanggaran hukum justru tidak dapat dijerat undang-undang tipikor. Selain itu, berpotensi melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut penulis, Perppu tersebut masih banyak poin yang seharusnya direvisi karena berdasarkan aspek formil maupun materiil tidaklah berdasarkan aturan dan substansi yang tepat. Ke depannya Pemerintah juga harus lebih cermat dalam mengeluarkan peraturan jangan sampai hanya karena situasi genting seperti ini lantas mengeluarkan aturan tanpa melihat substansi yang harusnya tetap dipegang sebagai landasan hukum.
Membahas mengenai pencegahan dan penanganan Covid-19 memang dapat dibahas dari banyak aspek yaitu aspek ketatanegaraan, aspek kesehatan, aspek politik hukum, aspek administrasi negara, aspek hukum kedaruratan, maka dari itu ke depannya diperlukan para pakar dan ahli hukum untuk bisa segera merancang peraturan yang mumpuni khususnya bila Indonesia dalam keadaan darurat. Karena sudah banyak peraturan di Indonesia yang dapat dilakukan dalam keadaan normal namun bila Indonesia dalam keadaan tidak normal atau dalam situasi genting maka peraturan mana yang seharusnya diberlakukan.
Dari pandemi Covid-19 yang menghantam Indonesia ini merupakan pelajaran ke depannya bagi pemerintah pusat dan daerah begitu juga DPR selaku pemangku legislatif. Masyarakat akan menilai sejauh mana keseriusan pemerintah untuk bisa melindungi warga negaranya baik dari kesehatan maupun kesejahteraan. Jangan sampai ada lagi kejadian tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sehingga memperlambat kinerja dalam mengeluarkan kebijakan.
Pada intinya, penulis memiliki pandangan pemerintah harus bisa lebih cepat, tanggap, dan efektif dalam mengeluarkan peraturan hukum terkait untuk pencegahan dan penanganan Covid-19. Hak konstitusional warga negara juga harus dilindungi dan diberikan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dari itu, dibutuhkan kerja sama yang matang dari semua sektor untuk bisa memutus rantai penyebaran Covid-19 ini, pemerintah pusat dan daerah, tenaga medis dan perawat, begitu juga pola tingkah laku masyarakat sehingga virus Covid-19 ini segera berlalu dan Indonesia kembali dalam situasi dan kondisi yang kondusif. Dengan adanya peraturan yang matang dan sikap tegas pemerintah maka ke depannya Indonesia akan siap bilamana pandemi serupa terjadi lima sampai sepuluh tahun mendatang.
Tulisan milik Kristo Roland Pattiapon, Advokat.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.