Site icon PinterPolitik.com

Menyoal Pembangunan PLTU dari Ekofeminisme

Menyoal Pembangunan PLTU dari Ekofeminisme

Sejumlah warga melakukan aksi protes guna menolak pembangunan PLTU di Indramayu. (Foto: Tangan Rakyat)

Sejumlah warga Indramayu, Jawa Barat, menolak pembangunan PLTU karena cemas akan dampak lingkungannya. Bahkan, kalangan perempuan turut menolak. Bagaimana perspektif ekofeminisme melihat gerakan dari masyarakat ini?


PinterPolitik.com

Menurut Oekan Abdullah dan Dede Mulyanto dalam buku Isu-isu Pembangunan (2019), pembangunan merupakan diskursus yang melaluinya berbagai pihak mencoba untuk memaknai dunia dan mengubah dunia ini menurut kepercayaan dan pandangan mereka.

Oekan dan Mulyanto mencontohkan, misalnya saja pembangunan infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintah dengan retorika untuk meningkatkan pemerataan dan kesejahteraan, belum tentu diartikan sebagai pembangunan oleh warga yang terdampak paling merugikan dari prosesnya.

Bagi mereka yang tersingkir, proses tersebut lebih diartikan sebagai peminggiran karena dalam proses maupun sebaran manfaat hasilnya tidak jarang warga setempat hanya dijadikan penonton atau malah korban kemajuan, maka yang pemerintah lakukan tidak lebih sebagai penghancuran ketimbang pembangunan.

Hal tersebut, terjadi juga di Indramayu, tepatnya di Desa Mekarsari Kecamatan Patrol yang menjadi tempat dibangunnya PLTU yang rencananya mulai dikonstruksi pada tahun 2022. Sudah barang tentu, negara sendiri memainkan retorika bahwa signifikansi dari adanya pembangunan PLTU tersebut untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa dan Bali, serta berguna untuk pertumbuhan ekonomi dan menciptakan dampak positif di masyarakat.

Akan tetapi, sayangnya bagi warga sekitar, pembangunan tersebut bisa berdampak pada perampasan ruang hidup. Warga pun membentuk komunitas Jaringan Tanpa Asap Batu Bara (Jatayu) Indramayu. Tentu saja penolakan warga Jatayu ini sangat beralasan, mengingat adanya pembangunan PLTU tersebut, akan menutup mata pencaharian mereka yang selama ini bergantung kepada pertanian. Tidak berhenti di situ, kehadiran PLTU pun berpotensi akan menghadirkan dampak kerusakan lingkungan. 

Dan di sini, salah satu yang paling saya sesalkan adalah pendekatan pemerintah dalam menyikapi persoalan tersebut, yang justru menggunakan etika utilaristis, sehingga yang terjadi adalah “mengatasnamakan kebermanfaatan/kebahagiaan orang banyak kemudian mengorbankan nasib segelintir orang”.

Mengutip Agus Sudibyo dalam buku Demokrasi dan Kedaruratan (2019), padahal etika utilaristis tersebut tidak dapat diberlakukan secara universal untuk semua kasus dan situasi. Pendekatan etika tersebut tidak dapat diberlakukan pada masalah-masalah HAM atau hak-hak dasar. Namun sayangnya, negara kerap kali justru menggunakan pendekatan tersebut, sehingga tak pelak lagi, salah satu pihak yang paling dirugikan dalam konteks tersebut, yakni kaum miskin, termasuk di dalamnya para buruh tani.

Sehingga tidak mengherankan, di banyak tempat, termasuk di Mekarsari ini, hubungan politis yang dibangun negara dengan warga sekitar, yang sesungguhnya terjadi adalah “pengabaian”. Negara tidak bisa menjadi penjamin keberlangsungan hidup warga sekitar. Atas nama pembangunan, yang dilakukan negara justru seakan menuntut pengorbanan sebagian warganya, dan dalam kasus ini adalah para petani.

Bagi saya sendiri, fenomena tersebut justru masih menunjukkan kedangkalan dalam berdemokrasi. Mengingat, secara teoretis, apa yang dimaksud dengan demokrasi substansial, yakni saat partisipasi warga yang termarginalkan bisa berjalan secara efektif.

Keteguhan Perempuan Lawan Pembangunan PLTU

Menurut pemikir ekofeminis, yakni Vandana Shiva dalam buku Bebas dari Pembangunan (1997)perempuan kerap kali digusur dari kegiatan produktif oleh pembangunan yang makin meluas, karena proyek-proyek pembangunan menyita atau merusak sumber daya yang menjadi landasan bagi produksi pangan dan untuk kelangsungan hidup. Pembangunan menghancurkan produktivitas perempuan karena pembangunan merebut dari tangan kaum perempuan pengelolaan dan pengendalian lahan, air dan hutan, dan merusak ekologi sistem lahan, air dan tumbuh-tumbuhan, sehingga menurunkan produktivitas dan daya alam untuk memulihkan diri.

Lebih lanjut, Shiva pun mengemukakan bahwa sering kali pihak yang paling dirugikan dengan adanya pembangunan adalah perempuan. Apa yang dikemukakan Shiva tersebut, relevan juga untuk kasus pembangunan PLTU di Indramayu ini.

Jika tidak ada pembangunan PLTU, perempuan, termasuk di dalamnya para ibu-ibu, masih bisa ikut bekerja dengan menjadi buruh tani. Sedangkan dengan adanya pembangunan PLTU tersebut, jelas menghancurkan produktivitas kaum perempuan karena lahan-lahan pertanian diambil alih dan difungsikan untuk pembangunan PLTU.

Oleh sebab itu, perempuan yang turut tergabung dengan Jatayu ini, turut menyuarakan penolakannya atas rencana pembangunan PLTU tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, ibu Kodah misalnya, ia menyuarakan penolakan atas dibangunnya PLTU tersebut, di samping karena menggusur lahan pertanian, ia pun menyadari potensi kerusakan lingkungan yang dihadirkan oleh PLTU yang kelak turut mengancam keberlangsungan hidup anak-anak cucunya ataupun muda-mudi warga Mekarsari dan sekitarnya.

Dengan kata lain, usaha mereka dalam melakukan perlawanan terhadap pembangunan PLTU, merupakan usaha mereka untuk mempertahankan ruang hidup untuk dirinya sendiri, untuk keluarga, juga untuk anak-anak sekarang dan masa depan.

Mereka pun belajar juga dari pengalaman pembangunan PLTU I yang berlokasi di desa tetangga mereka, yakni Sumur Adem, di mana kehadiran PLTU I tersebut berdampak buruk untuk kelestarian lingkungan.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan, warga Jatayu ini, termasuk kalangan perempuannya begitu gigih memperjuangkan penolakan mereka atas pembangunan PLTU di Mekarsari tersebut. Bahkan, berdasarkan penelusuran penulis sendiri, ada juga cerita unik di tengah perlawanan para perempuan Jatayu ini, yakni kisah seorang ibu yang sedang mengandung, tapi tidak menyurutkan tekadnya untuk mengikuti serangkain aksi protes terhadap pembangunan PLTU, sehingga ketika anaknya lahir, anaknya dinamai “Jatayu”.

Tentu saja, keteguhan dan keberanian para ibu-ibu Jatayu pun perlu diapresiasi, mengingat ada juga usaha-usaha dari pihak tertentu untuk menggembosi gerakan Jatayu secara umumnya, tapi mereka bisa kokoh dengan pendiriannya. Para ibu-ibu pun turut berusaha menyadarkan anak-anak mereka mengenai pentingnya memperjuangkan ruang hidup yang terancam dengan adanya kehadiran PLTU ini, untuk masa depan anak-anaknya kelak.

Dapat dikatakan, para perempuan yang menolak pembangunan PLTU tersebut, turut mengafirmasikan etika ekologis, sehingga hal itulah yang menjadi dasar keteguhannya dalam berjuang melawan pembangunan PLTU, dan bagi penulis, yang mereka tunjukkan merupakan hal yang mengagumkan, karena menunjukkan kekayaan pengetahuan yang kental dengan nuansa filosofis.

Sebagai catatan tambahan, bagi saya, pembangunan-pembangunan yang dilakukan atas nama pertumbuhan PDB, kerap kali justru melahirkan kerugian hingga skala luas, seperti berdampak pada permasalahan iklim global. Hal tersebut, sebagaimana terangkum dalam buku yang ditulis oleh Lorenzo Fioramonti, yakni Problem Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi (2019).

Oleh sebab itu, sebenarnya pembangunan PLTU tersebut, tidak hanya merugikan petani ataupun ibu-ibu di Mekarsari, tetapi berpotensi juga merugikan kita semua. Dalam konteks inilah, secara teoretis menjadi tugas negara untuk mecari solusi agar menghasilkan suatu kebijakan yang mencerminkan keadilan.   


Tulisan milik Cusdiawan, Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik di Universitas Padjadjaran.


“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version