Sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia menjalankan sistem trias politica yang terbagi menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, apakah sistem ini masih berjalan dengan baik? Bila tidak, apa solusi yang perlu diambil?
Salah satu permasalahan besar pemerintahan di Indonesia adalah degenerasi nalar dan tata kelola yang buruk. Kasus kepemimpinan dan pengelolaan yang tidak etis dan buruk bertentangan dengan harapan publik akan good governance yang dianggap sebagai sine qua non dan mesin untuk perwujudan cita Negara sebagaimana termaktub di Pembukaan UUD 1945. Tata kelola yang penulis maksudkan berkaitan dengan prinsip check-and-balance.
Check-and-balance (saling mengawasi dan mengimbangi antar lembaga dalam konsep pemisahan kekuasaan) merupakan konsepsi yang diprakarsai Charles Montesquieu dan prospeknya untuk memastikan good governance dalam konteks pemerintahan negara. Doktrin pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan, fungsi, tugas dan tanggung jawab tertentu dialokasikan ke lembaga negara secara berbeda dengan sarana kompetensi dan yurisdiksi yang ditetapkan. Sederhananya, pemisahan kekuasaan menyerukan pemisahan horizontal kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam urusan pemerintahan.
Charles Montesquieu selaku filsuf asal Prancis yang terkenal dengan artikulasi teori pemisahan kekuasaannya, seyogyanya sudah diterapkan pada konstitusi sebagian besar negara di seluruh dunia khususnya di negara-negara maju termasuk Amerika Serikat pada tahun 1780-an. Filsuf pertama memperkenalkan prinsip pemisahan kekuasaan adalah John Locke (1632-1704) jauh sebelum Montesquieu, tetapi Montesquieu yang biasanya dikreditkan dengan perumusan doktrin pemisahan kekuasaan. Landasan filosofis doktrin pemisahan kekuasaan berakar pada ketidakpercayaan yang melekat pada kekuasaan pemerintah terkonsentrasi. Pemisahan kekuasaan merupakan salah satu “prinsip esensial” konstitusionalisme dan demokrasi.
Pemisahan kekuasaan didasarkan pada gagasan bahwa setiap lembaga negara memiliki perangkat kekuasaannya sendiri, bersifat eksklusif dan tidak boleh dijalankan oleh lembaga lain. Sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan terlalu besar di tangan yang sama dan juga menjamin adanya check-and-balance di semua lembaga negara. Namun, penerapan trias politica prakarsa Locke dan Montesquieu dalam praktiknya masih memberikan ruang tumpang tindih dari satu lembaga ke lembaga lainnya di Indonesia.
Secara historis, Indonesia merupakan egara yang sejak proklamasi kemerdekaan di awal penataan kelembagaan telah menggunakan trias politica. Namun, prinsip check-and-balance tidak benar-benar mampu diterapkan. Misalnya, Presiden Soekarno, melalui TAP MPRS III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.
Semasa rezim Orde Lama ini, konsep trias politica yang digunakan adalah “Demokrasi Terpimpin”. Begitu juga dengan Orde Baru, Soeharto melanjutkan konsep “Presiden Seumur Hidup” dengan sistem “Demokrasi Pancasila”.
Dalam pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, dapat dinyatakan bahwa check-and-balance jauh panggang dari api. MPR RI diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara, sedangkan lembaga lainnya berstatus lembaga tinggi negara. Atas dasar ini pula, para pejuang reformasi melakukan pembahasan ulang dengan mengamendemen UUD 1945. Salah satu yang dibahas secara krusial adalah upaya penegasan untuk menata lembaga pemerintahan berprinsipkan check-and-balance.
Perwujudan yang terbentuk sudah lumayan memberikan oase dalam gurun kering kelembagaan – dimana semua lembaga negara setara secara horizontal, eksekutif, yudikatif, dan legislatif berstatus lembaga tinggi negara. Selanjutnya, yang menjadi pembeda adalah Orde Lama dan Orde Baru begitu kuat sistem parlementer, sedangkan pasca-Reformasi yang diperkuat merupakan sistem presidensil. Walaupun secara kelembagaan sudah sangat berbeda, tetapi perihal check-and-balance masih sama-sama belum terwujud.
Pasca-Reformasi yang telah berjalan 24 tahun, saling dominasi antar tiga lembaga tinggi negara masih begitu kerap terjadi. Secara aktualitas, hal ini disebabkan negosiasi multi-partai politik.
Dari segi partai politik, di antara tiga lembaga yang kemungkinan terbesarnya tidak berasal dari partai politik adalah yudikatif. Akan tetapi aktualisasimya di lapangan bahwa yudikatif tetap bersinggungan dengan partai politik karena sistem personalia yang masuk ke dalamnya tetap berasal dari keputusan presiden (eksekutif) dan dewan perwakilan rakyat (legislativf). Tentu kondisi memicu dilema penegasan prinsip check-and-balance.
Selama ini, para ahli senantiasa menekankan aspek penting dalam analisis pemisahan kekuasaan adalah pemahaman tentang sifat kekuasaan masing-masing lembaga negara. Analisis demikian menyisakan kekosongan solusi substantif yang menyentuh akar permasalahan.
Dalam negosiasi multi-partai, disepakati bahwa harus ada pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan check-and-balance yang sesuai untuk tujuan akuntabilitas, responsif dan keterbukaan. Sementara, masalah aktual terkait trias politica Indonesia selama ini adalah perkawinan elite dalam pengelolaan trias politica kemudian mengimbas pada kepentingan segelintir kelompok.
Sejauh kajian teoritis dan telaah praktik di lapangan, penulis menemukan bahwa dengan sistem multi-partai yang hiper-kuantitas menyebabkan ketidakmungkinan terwujudnya check-and-balance di Indonesia dengan matang. Terdapat dua permasalahan besar akibat hiper-kuantitas partai politik.
Pertama, persoalan para kader partai yang mengisi lembaga trias politica lebih cenderung menyalahgunakan wewenang atas dasar para kadernya harus tunduk pada AD/ART partai politik sehingga, jika pun ada beberapa orang dari pengisi tiga lembaga negara yang berjalan sesuai konstitusi melangsungkan tugas dan fungsinya, apabila tidak mengakomodir kepentingan partai politik akan mengalami posisi dilematis dan penuh tekanan.
Hiper-kuantitas partai politik yang berbanding terbalik dengan kualitas dan cenderung melakukan polarisasi harus diakui telah menghambat fokus pembangunan. Begitu juga dengan organisasi-organisasi masyarakat dan kepemudaan sebagai underbouw daripada partai politik turut menjadi pembawa polarisasi memicu pertengkaran-pertengkaran horizontal yang remeh temeh dan membebani APBN.
Atas kondisi demikian, penulis menawarkan gagasan neo-praktik trias politica melalui reformulasi sistem partai politik menjadi tiga haluan dengan catatan setiap haluan partai politik hanya bisa mengisi lembaga negara berbeda. Artinya, setiap partai politik diatur untuk bertarung dengan partai politik lainnya dalam memperebutkan pengelolaan satu lembaga negara.
Misalnya partai politik A, B, C, dan D diperkhususkan untuk lembaga legislatif. Partai politik E, F, G, dan H diperuntukkan pada lembaga eksekutif. Maka, pertarungan partai politik A, B, C, dan D untuk merebut hari rakyat hanya untuk menata lembaga legislatif.
Empat partai politik tersebut tidak bisa bertarung di partai politik untuk lembaga eksekutif, begitu juga partai politik yang diperuntukkan khusus eksekutif tidak bisa bertarung untuk lembaga legisltaif. Sementara, untuk lembaga yudikatif, pengisinya berasal dari kalangan profesional yang tidak boleh terlibat dalam partai politik.
Upaya ini berimplikasi pada penguatan prinsip pengawasan dan mengimbangi dalam perwujudan tujuan negara. Antar lembaga akan menggenjot kinerja masing-masing, baik secara internal maupun tugas pengawasan.
Demokratisasi sistem pemilu yang biasanya cenderung menggunakan polarisasi akan terkurangi, beban APBN semakin ringan untuk menghidupkan edukasi dan pengkaderan partai politik, memperlincah gerak kelembagaan mewujudkan tujuan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, dan memperkuat sistem kedaulatan rakyat (selama ini hanya memperkuat sistem perlementer dan sistem presidensil) – di mana rakyat semakin mudah melakukan pengawasan terhadap jalannya trias politica negara. Jalan menuju neo-praktik trias politica dapat diaktualisasikan dengan mengamendemen UUD 1945; merevisi UU tentang pemilu, pilpres, pileg, dan pilkada; serta merevisi UU tentang Partai Politik. Tentunya political will dan konsolidasi demokrasi konstitusional kita adalah kunci untuk mewujudkannya.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.