HomePolitikMenjaga Pers, Merawat Demokrasi

Menjaga Pers, Merawat Demokrasi

Oleh Dadan Rizwan Fauzi, mahasiswa Magister Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Pendidikan Indonesia

Pers dinilai penting bagi berjalannya sebuah demokrasi. Namun, bagaimana caranya agar pers dan demokrasi dapat terawat satu sama lain?


PinterPolitik.com

Di bumi ini, setidaknya hanya ada dua hal yang membuat terang di bumi ini, yaitu sinar matahari di langit dan pers yang berkembang di bumi. Begitulah ungkapan dari seorang penulis besar bernama Mark Twain. Melalui ungkapan tersebut, pengarang The Adventures of Tom Sawyer ini ingin menegaskan betapa pentingnya kehadiran pers bagi kehidupan manusia, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bagi bangsa Indonesia, kehadiran pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Karena itulah, dalam Pasal 4 Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers, dinyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

UU Pers tersebut merupakan perwujudan dari Pasal 28f Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi menggunakan segala jenis saluran yang ada baik secara lisan maupun tulisan.

Menurut Yosep Adi Prasetyo, kemerdekaan pers itu mencakup dua hal utama, yaitu adanya struktur (freedom from) dan performance (freedom to). Kebebasan pers dapat sepenuhnya disebut merdeka apabila tidak ada sensor, bebas dari tekanan pada jurnalis, bisa independen di tengah pengaruh lingkungan ekonomi termasuk kepemilikan, serta bebas dari tekanan sosial dan politik. Kebebasan pers juga diukur dari  bagaimana cara pers menggunakan kemerdekaan tersebut.

Antara Kebebasan dan Bisnis Informasi

Sebagai perwujudan dari Pasal 28f UUD 1945, tentu, pers nasional telah mengalami pasang surut sebagai sebuah institusi media yang independen dan bertanggung jawab. Dengan bantuan teknologi, gawai, dan internet, media kini menjadi genggaman wajib yang memanjakan para pembaca.

Kini, industri media pun tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Berdasarkan data dari Dewan Pers, saat ini ada sekitar 47 ribu media siber yang ada di seluruh Indonesia. Sayangnya, dari 47 ribu media daring, baru 2.700 media daring yang terverifikasi. Artinya, masyarakat lebih banyak terpapar oleh media daring yang belum terverifikasi daripada yang sudah.

Theodore Jay Gordon dari Future Group di Noank, Connecticut, (Hernandes, 1996:9) mengatakan bahwa ada empat daya kekuatan yang mengubah dunia jurnalisme pasca-industrialisasi, yaitu munculnya abad komputer dan dominasi elektronika; globalisasi dari komunikasi ketika geografi menjadi kurang penting; perubahan demografi, terutama pertambahan jumlah orang-orang yang berumur di atas 40 tahun; serta perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat.

Baca juga :  Pemimpin Jakarta Pilihan Netizen Pinpol

Di satu sisi, media daring sangat memungkinkan penyebaran informasi jauh lebih cepat dari media konvensional. Namun, di sisi lain, kecepatan ini mengorbankan prinsip-prinsip dasar atau kode etik jurnalistik.

Akibatnya, jurnalisme daring selalu menjadi sorotan karena sering kali dianggap tidak mengedepankan objektifitas, akurasi, fairness, dan hanya mengejar keinstanan. Bahkan, tak sedikit pula yang terkena kasus berita bohong (hoaks).

Seperti halnya kelompok profesi advokat, pers Indonesia sejak awal telah memposisikan diri sebagai alat perjuangan. Maka, tidak berlebihan apabila pers sering kali disebut sebagai watchdog untuk mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan agar bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang mereka perbuat. Persoalannya, pada kondisi saat ini, watchdog yang ada justru tidak lagi berfungsi sebagai pelayan kepentingan umum.

Meminjam ungkapan James Curant, saat ini ada kecenderungan bahwa state-linked watchdogs can bark while private wathdogs sleep (pengawas yang memiliki hubungan dengan negara dapat menggonggong sedangkan yang swasta hanya tidur). Pers sebagai watchdog dalam kenyataan sekarang sudah mulai diikat kakinya dan dijinakkan gonggongannya.

Akibatnya, dia tak akan menggonggong apalagi menggigit tuannya walau mungkin tuannya melakukan tindakan yang mencurigakan. Dia hanya menggonggong orang asing yang mngkin tidak begitu dikenalnya.

Hal demikian bisa kita saksikan dari adanya tumpang tindih dalam kepemilikan. Saat ini, pers atau media massa sudah banyak dimiliki oleh pengusaha yang sekaligus juga terjun sebagai politisi.

Akibatnya, media massa hanya dimanfaatkan sebagai alat citra politik untuk menggiring simpati warga. Padahal, Charles Lindbergh pernah mengingatkan bahwa bahaya terbesar bagi negara ini terletak pada kepemilikan dan pengaruhnya yang besar dalam film, pers, radio dan pemerintah kita.

Merujuk pada realita tersebut, pers hendaknya dikembalikan pada idealisme awal sebagai penyalur fakta yang akurat. Jika pers terus saja menyajikan konten dengan mengutamakan kecepatan tanpa memperhatikan akurasi berita, tentu prinsip jurnalisme akan makin memudar.

Pers tak lagi menjadi alat vital yang menyampaikan kebenaran. Pers bisa saja hanya mengacu pada kepentingan pasar dan pemilik modal. Meskipun memang tak dinafikkan, orientasi ekonomi juga diperlukan untuk menunjang roda kehidupan sebuah perusahaan media.

Baca juga :  Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Meneguhkan Kemerdekaan Pers

Lalu, bagaimana memelihara (maintain) dan meneguhkan kebebasan pers agar tidak tergelincir kearah sebaliknya? Mungkin, ada beberapa hal yang wajib dilakukan untuk menjaga atau memelihara kebebasan pers. Upaya ini dapat dimulai dengan mengembangkan dan merawat demokrasi.

Pada negara penganut sistem demokrasi, pers bukan sekedar berfungsi sebagai instrumen, pranata, dan mekanisme demokrasi. Lebih dari itu, pers merupakan bagian dari kunci demokrasi itu sendiri.

Tanpa demokrasi, tidak akan ada kemerdekaan pers. Begitu juga dengan sebaliknya, tanpa pers yang merdeka, demokrasi dapat dipastikan sebagai demokrasi semu belaka karena di dalamnya akan bersembunyi otoritarianisme. Oleh karenanya, menjaga kemerdekaan pers merupakan bagian dari merawat demokrasi.

Kedua, upaya ini dapat dilanjutkan mengembangkan dan menegakkan regulasi hukum. Pers bukan pranata (institution) yang kebal terhadap hukum. Pers tidak berada di atas hukum (above the law).

Siapapun dapat berkeberatan atau menggugat pers. Namun demikian, hendaknya penegakan hukum (law enforcement) terhadap pers bukan untuk membelenggu apalagi mematikan (kriminalisasi) pers, melainkan sebagai upaya memelihara dan memebesarkan tanggung jawab dan disiplin pers agar lebih berintegritas.

Ketiga, pers perlu menjunjung prinsip-prinsip kemanusiaan. Pers tidak hanya sekedar menyampaikan kebenaran berita tetapi harus memperhatikan akibat yang dapat timbul dari berita.

Kode etik pers harus dijadikan sebagai aturan disiplin (discplionary rules) dan aturan moral (moral rules). Artinya, selain bekerja atas dasar profesionalisme, pers harus menjalankan asas dan kaidah kemanusiaan (humanity).

Pun demikian pemerintah tak perlu bertindak terlalu represif karena pers yang tidak bebas bukan hanya kerugian bagi pers, melainkan juga kerugian bagi publik dan penguasa.

Pemerintah akan kehilangan partner penghubung antara publik dengan penguasa dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Apabila kita semua dapat menjalankan semua prinsip tersebut dengan baik, bisa jadi sangatlah sempit upaya untuk mereduksi kebebasan pers.

Tulisan milik Dadan Rizwan Fauzi, mahasiswa Magister Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Pendidikan Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...