Pemerintahan di Republik Turki dikenal dengan nilai-nilai Pos-Islamisme. Namun, pemerintahan Erdogan dan AKP kini dinilai tak kembali menerapkan nilai-nilai tersebut.
PinterPolitik.com
Dinamika politik negara Turki selalu menarik untuk ditilik. Apalagi, sosiolog Asef Bayat memandang Turki di era kontemporer ini sebagai contoh konkret implementasi pos-Islamisme.
Turki dengan partai yang mendominasi dalam pemerintahannya saat ini, Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) dianggap merupakan salah satu contoh entitas politik di era modern yang mengimplementasikan konsep pos-Islamisme. AKP berdiri pada tahun 2001 dengan anggota yang terhimpun dari pecahan beberapa partai konservatif yang telah berdiri sebelumnya.
Pendiri-pendiri penting AKP adalah mantan Islamis yang mendukung sekularisme. Terhitung sejak berdirinya AKP, mereka selalu memenangi mayoritas suara dalam enam pemilihan umum legislatif terakhir (pada tahun 2002, 2007, 2011, Juni 2015, November 2015, dan 2018).
Secara ideologis, AKP berhaluan tengah-kanan dengan mengklaim dirinya sebagai partai yang berideologi konservatif-demokratis (muhafazakar demokrasi) dan tetap menyerap nilai-nilai keislaman dan nilai-nilai yang diturunkan dari Kekaisaran Ottoman. Namun, secara bersamaan, di awal pembentukannya, AKP menampilkan dirinya sebagai partai yang pro-Barat, pro-Amerika, menolak pembauran Islam dengan politik, serta berada dalam spektrum politik yang berkomitmen pada ekonomi liberal dan advokasi keanggotaan Uni Eropa.
AKP bergerak menuju sekularisme moderat dan “pasif” a la Amerika Serikat, bukan sekularisme model laïcité Prancis yang radikal (dan terkadang militan). Singkatnya, AKP merupakan partai konservatif-demokratis yang pro-Islam, tetapi bukan partai Islam. AKP telah mengalami empat kali pergantian kekuasaan di dalam struktur partai: 13 tahun 13 hari pertama oleh Recep Tayyip Erdoğan, satu tahun 269 hari oleh Ahmet Davutoğlu, 364 hari oleh Binali Yıldırım, dan kembali dipimpin oleh Erdoğan sejak 21 Mei 2017 hingga saat ini.
Paham Islamisme vs Pos-Islamisme
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pos-Islamisme, penulis akan terlebih dahulu memaparkan pemaknaan atas konsep Islamisme. Islamisme adalah pemahaman agama Islam dalam bentuk tatanan sebuah negara, yakni negara Islam.
Kelompok Islamisme telah mengagungkan Islam yang diterapkan pada zaman Rasulullah SAW di Madinah, dan terdapat upaya untuk mengembalikan praktik berislam pada zaman sekarang untuk kembali seperti praktik berislam pada zaman Rasulullah SAW. Agendanya tidak lain adalah mendirikan kembali tatanan negara Islam dan menggerakkan umat Islam untuk kembali membangun tatanan totaliter yang kemudian disebut sebagai nizam Islami.
Kelompok Islamisme mulanya lahir pada generasi di sekitar abad ke-18 Masehi. Kemudian, dilanjutkan dengan munculnya gerakan Islamisme berpuncak pada tahun 1928 Masehi di Mesir bersamaan dengan munculnya Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna di tahun yang sama.
Ciri utama Islamisme adalah interpretasi Islam sebagai nizam Islami, maknanya adalah agama menjadi satu dengan negara; dan menganggap bahwa kelompok Yahudi merupakan musuh utama yang akan menghancurkan umat Islam. Hal ini timbul dari adanya konflik kepentingan antar-kedua agama, di mana Yahudi dianggap berupaya untuk menciptakan tatanan dunia tertentu, yang bergesekan dengan cita-cita kelompok Islamisme.
Selain itu, demokratisasi dan posisi Islamisme institusional dalam sebuah negara demokratis memiliki banyak paradoks. Penganut Islamisme pada dasarnya menghendaki pendirian negara Islam, yang tentunya akan bertentangan dengan tujuan demokratisasi yang di dalamnya memuat gagasan civic pluralism.
Ada juga anggapan bahwa salah satu karakter dari kelompok Islamis ialah ideologi jihadisme yang merupakan pengejawantahan kembali jihad. Sejalan dengan hal itu, di bawah bendera Islamisme, kalangan Islamisme menafsirkan teks Alquran untuk mendukung ide politik yang telah direligionisasi. Akibatnya, kelompok Islamis dinilai sangat terobsesi untuk mengajukan soal kemurnian sebagai klaim atas otentisitas.
Pos-Islamisme merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Asef Bayat melalui karyanya yang Making Islam Democratic (2007) dan esai pendeknya yang berjudul The Coming of a Post-Islamist Society (1996). Pos-Islamisme merupakan sebuah kondisi di mana fase eksperimentasi, seruan, daya tarik, energi, simbol, dan sumber-sumber legitimasi Islamisme telah habis, bahkan di antara para pendukungnya yang dulunya sangat ambisius.
Karena itu, pos-Islamisme bukan diartikan sebagai anti-Islam, melainkan lebih kepada mencerminkan kecenderungan untuk me-resekularisasi agama. Secara dominan, hal ini ditandai dengan seruan untuk membatasi peran politik agama.
Seperti yang disebutkan oleh Bayat, hal ini tidak lain adalah upaya untuk mencari sumbu antara religiusitas atau keagamaan dan hak, iman (religiusitas) dan pembebasan, serta Islam dan kebebasan. Pos-Islamisme juga menunjukkan bagaimana negara sipil dan non-agama hidup berdampingan dengan peran aktif untuk agama di ruang publik sebagai fitur yang paling terlihat.
Pos-Islamisme berusaha menunjukkan bagaimana Islam dan demokrasi tidaklah mutually exclusive. Justru, demokrasi menjadi sistem yang dibangun di mana Islam bisa menjadi salah satu materinya.
Intinya, semangat dari pos-Islamisme adalah meng-update Islamisme, menggabungkan prinsip-prinsip agama dengan pilihan individu dan kebebasan, yang akhirnya menciptakan sebuah Islam demokratis.
Pos-Islamisme di Turki
Kembali merujuk pada studi kasus, sebagai konsekuensi logis dari lokasinya yang terletak di antara benua Eropa dan Asia, arah gerak negara Turki seringkali memicu berbagai pertanyaan. Pada awalnya, daerah tersebut dikenal dengan Kekaisaran Ottoman, yang kemudian secara resmi berubah menjadi Türkiye Cumhuriyeti (Republik Turki) pada tahun 1923.
Republik Turki didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk yang menganut nilai-nilai sekuler dan mendorong adanya modernisasi dari Barat. Masa-masa di mana Ataturk memerintah merupakan masa di mana Turki mengalami pergeseran ideologis menuju pos-Islamisme.
Menurut Ataturk, membatasi peran agama dalam pemerintahan Turki adalah cara terbaik demi memaksimalkan modernisasi dan westernization di Turki, yang akhirnya memaksa masyarakat Turki untuk menjadi sekuler dan modern. Ataturk kemudian menjabat sebagai Presiden Turki hingga kematiannya pada tahun 1938. Selama masa pemerintahannya, terjadi penghapusan sistem kekhalifahan, penutupan sekolah-sekolah Islam tradisional (madrasah), pembubaran pengadilan agama pada tahun 1924, dan lain sebagainya.
Permasalahan muncul kala, meski AKP mengadvokasi nilai-nilai demokrasi dan liberalisme, serta keberadaan enam prinsip utama ideologi Kemalisme yang dianut secara luas oleh masyarakat Turki yang telah dikodifikasikan dalam bentuk konstitusi negara pada tahun 1937 dalam Kongres ke-4 Cumhuriyet Halk Partisi (CHP), partai tertua Turki yang didirikan oleh Ataturk, penulis melihat bahwa prinsip sekularisme dan nilai-nilai pos-Islamisme perlahan-lahan bergeser, terutama pada masa pemerintahan Erdoğan dengan AKP. Maka dari itu, dalam tulisan ini penulis akan lebih banyak mengkaji mengapa sekularisme (dan demokrasi, dalam batas tertentu) semakin lama justru semakin menghilang dari dinamika politik Turki.
Pos-Islamisme di Bawah Erdoğan dan AKP?
Beberapa contoh penerapan kembali kebijakan-kebijakan yang dianggap sebagai sebuah ‘kemunduran’ bagi sebagian masyarakat. Pemerintah Turki misalnya, mulai menyebut pengerahan pasukan militernya di wilayah Afrin, Suriah, sebagai “jihad.” Selama dua hari pertama operasi militer (yang dimulai pada tanggal 20 Januari 2018), Direktorat Urusan Agama (Diyanet) memerintahkan sekitar 90.000 masjid di Turki untuk menyiarkan surat al-Fath yang merupakan doa “penaklukan” atau “kemenangan” melalui speaker-speaker di atapnya.
Selain itu, Menteri Pendidikan Turki mewajibkan seluruh sekolah publik untuk memasukkan praktik-praktik Islam dalam sistem pendidikannya. Diyanet memiliki kewenangan yang kini diperluas oleh Erdoğan. Sebelumnya, Diyanet yang didirikan oleh Ataturk pada 1924 ini memiliki fungsi meregulasi urusan keagamaan dalam model sekulernya. Seperti contohnya, Diyanet mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa perempuan yang telah berusia 9 tahun dan laki-laki yang telah berusia 12 tahun dapat menikah, sebab menurut hukum syariah, kedewasaan telah hadir saat masa pubertas.
Bahkan ketua Diyanet kini, Ali Erbas, diangkat oleh Erdoğan menjadi wakil presiden secara de facto. Bukti-bukti ini menggambarkan bagaimana Erdoğan memaksimalkan dan melanggengkan kekuasaan politiknya secara terintegrasi dengan agama. Me-mainstream-kan jihad dan memberikan sanksi kekerasan terhadap mereka yang “menyinggung Islam” adalah sebagian dari langkah-langkah kembalinya Turki kepada Islamisme.
Dalam segi demokrasi, Turki di bawah kepemimpinan Erdoğan juga tidak mengalami perkembangan yang berarti. Justru, perpolitikan seakan diatur hanya untuk menguntungkan rezim petahana.
Sebagai contoh, media-media independen dihalangi untuk meliput pihak-pihak oposisi, anggota mereka sering kali dilecehkan dan ditangkap atas dasar tuduhan palsu. Belum lagi, pemilihan umum sejak tahun 2015 tidak berjalan dengan bebas dan adil.
Hal ini merupakan perubahan radikal dalam politik Turki. Sebab, meskipun Turki tidak pernah menjadi negara liberal yang “aktif”, pemilihan umum berlangsung secara bebas dan adil sejak tahun 1950. Namun, tidak sejak pemilihan umum November 2015 dan keberadaan Referendum Konstitusi 2017.
Erdoğan menghalangi partai-partai oposisi untuk membentuk koalisi yang mengisi mayoritas kursi parlemen. Salah satunya dengan memantik kembali peperangan melawan partai separatis Partiye Karkaren Kurdistan (PKK) dengan kampanye “war on terror”-nya.
PKK pun melawan dengan aksi terorisme. Publik percaya turunnya suara AKP pada pemilu Juni 2015 (dari 49% menjadi 41%) memantik adanya serangan teror sehingga, pada snap election di November 2015, suara untuk oposisi terpecah dan AKP meraup 50% suara kembali. Referendum Konstitusi 2017 juga secara radikal mengubah sistem pemerintahan Turki, dari yang sebelumnya Turki mengadopsi sistem parlementer menjadi strong presidential.
Bukti-bukti di atas menggambarkan bagaimana Erdoğan bersama AKP mulai kembali pada pola-pola Islamisme dan memundurkan demokratisasi. Budaya organisasi dan politik aktor-aktor pos-Islamis merupakan produk dari kerangka budaya politik dan institusi sebelumnya yang restriktif dan cenderung cacat.
Namun, sering kali, seiring aktor-aktor pos-Islamis tersebut bercokol di atas kekuasaannya. Mereka mulai memanfaatkan kekuasaan dari kerangka yang restriktif dan cacat yang menaikkan mereka ke atas takhta tersebut. Setelah pelaksanaan kekuasaan yang berkepanjangan, aktor-aktor pos-Islamis ini kehilangan “selera” demokratisasi dan mulai “memainkan” kekuasaannya.
Secara singkat, dari pemaparan kritis di atas, dapat dipahami bahwa Erdoğan cenderung membentuk pola pemerintahan yang sultanistik dengan kembali pada ideologi Islamisme di luar variabel lain, yakni sistem elektoral yang bersifat semi-otoritarian dan ekonomi yang neopatrimonialisme yang juga mendukung klaim kembalinya Islamisme dalam politik Turki. Jadi, klaim Bayat terkait Turki sebagai contoh konkret penerapan pos-Islamisme di era kontemporer – khususnya di bawah kepemimpinan Erdoğan – sangat mungkin untuk dinegasikan.
Tulisan milik Zakia Shafira, mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.