Para pemimpin perempuan di banyak negara dianggap lebih sukses dalam menangani pandemi Covid-19. Siapa sajakah mereka? Lalu, apa saja faktor yang turut berkontribusi pada kesuksesan tersebut?
Belakangan ini, muncul banyak tulisan di media yang menyatakan bahwa pemimpin perempuan di dunia lebih berhasil dalam mengendalikan pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak tahun 2020 lalu. Tokoh pemimpin perempuan seperti Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, dan Kanselir Jerman Angela Merkel, dinilai mampu lebih baik dalam menghadapi pandemi melalui kebijakan yang mereka implementasikan di negara masing-masing.
Seperti pemberitaan Kompas (22/8), yang juga mengutip beberapa studi ilmiah, menjelaskan bahwa kesuksesan dari pemimpin perempuan tersebut dalam menghadapi pandemi COVID-19 ialah mampu memberikan reaksi dan mengikuti temuan ilmiah lebih cepat dan juga mampu mengambil risiko secara ekonomi demi melindungi warga negaranya dibandingkan pemimpin laki-laki. Bahkan dalam artikel berita tersebut secara jelas menyatakan bahwa “…bahwa Anda akan lebih aman (dalam kondisi pandemi COVID-19) jika tinggal di negara dipimpin oleh seorang perempuan.” Pernyataan tersebut juga dapat kita temui di berbagai media berita lainnya, dengan intisari yang sama.
Namun, keberhasilan ketiga tokoh pemimpin perempuan tersebut juga tidak lepas dari latar belakang pendidikan dan juga pengalaman di dunia politik. Tentu, untuk membuat kebijakan yang dapat diterapkan di dalam masyarakat luas harus memiliki pengetahuan yang cukup baik dari segi keilmiahan atau politik.
Jacinda Ardern misalnya, beliau menempuh pendidikan sarjana di Universitas Waikato dengan gelar sarjana studi komunikasi pada tahun 2001 lalu (The University of Waikato, 2021). Selain itu beliau juga memiliki pengalaman di dunia politik ditandai dengan naiknya Jacinda menjadi pemimpin partai pekerja (Labour Party) pada tahun 2017 (Britannica, 2017).
Keberhasilannya dalam menerapkan kebijakan masa pandemi ini juga tidak semata-mata karena beliau merupakan perempuan, dan seperti pada pembahasan sebelumnya bahwa perempuan dinilai baik dalam pengambilan keputusan serta alasan-alasannya. Ada baiknya kita menganggap itu memang hal yang istimewa milik perempuan, atau kelebihan yang ada di dalam diri perempuan itu sendiri.
Namun, alangkah baiknya kita juga mengetahui bagaimana latar belakang pendidikan dan juga pengalaman politik, karena bisa saja kemungkinan besar yang menjadi faktor utama keberhasilan tokoh pemimpin perempuan tersebut dalam menangani pandemi COVID-19 ini berasal dari pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang tidak didapatkan secara alami begitu saja, tetapi dibentuk dan diasah.
Untuk itu, kita perlu melihat sisi lain, jika yang menjadi bekal untuk perempuan dapat terlibat langsung di bidang politik dan pemerintahan merupakan pendidikan formal (sekolah dan universitas misalnya) sekaligus pendidikan politik, maka penting untuk menyoroti apakah perempuan di dunia ini sudah mendapatkan akses pendidikan yang layak secara merata atau belum.
Pentingnya kemerataan akses pendidikan juga diulas oleh Paula Johnson (1976), tepatnya mengenai women and power. Johnson menyatakan bahwa kekuasaan dapat digunakan untuk menentukan seperti apa peran perempuan dan laki-laki dalam lingkungan sosial. Johnson menjelaskan kembali bahwa dengan kekuasaan peran gender dapat dikonstruksikan.
Mendukung hal ini, Schopler dalam Johnson (1976) mempelajari bagaimana seseorang menggunakan kekuasaan mereka. Kekuasaan yang besar/tinggi (high power) dapat diasosiasikan dengan banyaknya sumber daya yang dimiliki, status sosial, kepercayaan diri dan juga keterampilan. Salah satu akibat dari adanya high power adalah seseorang dapat memperoleh apa yang ia inginkan selama memiliki kekuasaan.
Di samping itu, konsekuensi dari adanya penggunaan high power ialah pemilihan bagaimana mode atau gaya “pengaruh” yang dipilih oleh seseorang tidak semata-mata hanya ingin mencapai kesuksesan secara langsung saja, tetapi juga mengenai bagaimana pandangan seseorang terhadap diri mereka sendiri. Dari sana kemudian dapat dihipotesiskan bahwa pengaruh tersebut juga dapat menjadi hasil dari ekspektasi peran gender di masyarakat.
Oleh karena itu Johnson memberikan solusi bagaimana agar ketimpangan peran dan diskriminasi perempuan dapat dihapuskan—setidaknya diminimalisir—yakni dengan cara memberikan kemudahan akses ke kekuasaan itu sendiri. Dengan membuat terobosan ke masyarakat untuk membuka selebar-lebarnya akses perempuan ke sumber kekuasaan, yang dapat berupa pendidikan, pekerjaan dan juga keahlian.
Terakhir, meninggalkan stereotip tradisional, di mana kita harus mendorong kebutuhan dan kepentingan positif perempuan seperti reformasi kesejahteraan dan pengasuhan anak. Berkaitan dengan hal tersebut, tentunya tanpa pembuktian ilmiah dan penyebaran informasi oleh media mengenai “bakat spesial” yang secara alami dimiliki oleh perempuan, kemerataan akses pendidikan untuk perempuan harus terus diperjuangkan, sebelum kemudian perempuan dapat didukung untuk melangkah maju ke dalam perpolitikan, terlebih menjadi seorang pemimpin.
Selain itu, pendidikan politik juga sangat penting untuk mendukung wawasan yang dimiliki perempuan dalam dunia politik. Untuk itu, berfokus pada kemerataan akses terhadap pendidikan menjadi hal utama sebelum nantinya perempuan dapat terjun langsung dan dapat ikut bersaing di dunia politik/pemerintahan.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.