Site icon PinterPolitik.com

Mengurangi Polarisasi Agama, Berkaca dari Pemilu 2024

Presiden Harus Lulus Moh Limo?

Kotak an kertas suara Pemilu. (Foto: USSFEED)

Oleh: Muhammad Iqbal Saputra


Pada Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024), isu politisasi agama kembali mengemuka. Politisasi agama merupakan penggunaan simbol dan retorika agama untuk meraih dukungan politik. Menjelang Pemilu 2024, berbagai aktor politik memanfaatkan sentimen keagamaan untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat.

Taktik ini sering kali digunakan karena dianggap efektif dalam merebut  emosi dan simpati masyarakat, terutama yang memiliki literasi politik rendah. Politisasi agama berpotensi memecah belah masyarakat dengan menimbulkan ketegangan antar kelompok yang berbeda pandangan politik. Penggunaan isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) untuk tujuan politik dapat memperparah perpecahan dan menciptakan iklim politik yang tidak sehat.

Politisasi agama terjadi ketika nilai-nilai, simbol, dan praktik agama digunakan untuk tujuan politik tertentu. Fenomena ini sering kali melibatkan eksploitasi agama untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan politik, dan dapat dilihat dalam berbagai bentuk, mulai dari kampanye politik yang mengusung isu-isu keagamaan hingga manipulasi sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan elektoral.

Kampanye politik yang menggunakan isu-isu keagamaan sering kali mengangkat tema-tema yang sensitif dan emosional bagi pemeluk agama tertentu. Misalnya, kandidat politik mungkin berjanji untuk memperjuangkan penerapan hukum syariah atau melindungi kepentingan kelompok agama tertentu. Hal ini dapat menarik dukungan dari pemilih yang merasa isu-isu tersebut penting bagi identitas dan keberadaan mereka.

Simbol-simbol agama seperti jilbab, salib, atau ritual keagamaan sering digunakan dalam kampanye politik untuk menunjukkan kedekatan atau kepatuhan seorang kandidat terhadap nilai- nilai agama. Penggunaan simbol ini dapat menciptakan citra positif di mata pemilih yang religius, namun juga berisiko memecah belah masyarakat yang beragam keyakinannya.

Manipulasi sentimen keagamaan dilakukan dengan cara mengarahkan emosi dan keyakinan pemilih terhadap isu-isu tertentu yang diangkat secara strategis untuk memperoleh dukungan. Contohnya, menyebarkan isu-isu yang menuduh lawan politik sebagai anti agama tertentu, atau tidak beragama dapat menciptakan ketakutan dan kemarahan di kalangan pemilih yang religius.

Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas Muslim, kerap menyaksikan politisasi agama dalam berbagai peristiwa politik. Pemilu 2024 menjadi salah satu contoh paling nyata, di mana agama digunakan secara intensif oleh berbagai pihak untuk mengonsolidasikan dukungan. Kandidat politik sering kali menggunakan identitas agama mereka sebagai alat kampanye.

Dalam Pemilu 2024, beberapa calon menggunakan identitas sebagai Muslim yang taat untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok keagamaan konservatif. Isu-isu seperti penerapan hukum syariah, pelarangan LGBT, dan perlindungan terhadap agama Islam menjadi tema utama yang diangkat dalam kampanye. Dalam debat-debat politik, sering kali isu-isu keagamaan bahkan dijadikan topik utama.

Para kandidat tidak ragu untuk menyerang lawan politik dengan tuduhan yang terkait dengan agama, seperti menuduh tidak cukup religius atau bahkan dianggap sebagai ancaman bagi agama tertentu. Retorika ini bertujuan untuk menimbulkan keraguan di kalangan pemilih terhadap kompetensi dan integritas lawan politik.

Media sosial juga memainkan peran besar dalam menyebarkan sentimen keagamaan. Pada Pemilu 2019, banyak kampanye menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan yang mengandung isu keagamaan. Akun-akun anonim dan bot sering kali digunakan untuk menyebarkan hoaks dan propaganda yang mengarah pada politisasi agama, sehingga menciptakan polarisasi di masyarakat.

Lantas, Bagaimana Mengatasinya?

Pendidikan Agama Islam dapat memainkan peran penting dalam menghadapi politisasi agama. Pendidikan yang baik bukan hanya mengajarkan ritual dan dogma, tetapi juga menanamkan nilai-nilai universal seperti kejujuran, keadilan, dan toleransi. Pendidikan Agama Islam menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan (jurdil) dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk politik. Keterbukaan informasi dan akuntabilitas adalah pesan agama untuk mewujudkan  pemilu yang adil dan transparan. Dengan pendidikan yang menekankan nilai-nilai ini, masyarakat akan lebih kritis dan waspada terhadap upaya politisasi agama yang manipulatif.

Pendidikan Agama Islam yang mengajarkan moderasi dapat membantu mengurangi ekstremisme dan radikalisme. Moderasi beragama mendorong sikap yang inklusif dan toleran, sehingga masyarakat dapat hidup berdampingan meskipun berbeda pandangan politik. Sikap moderat ini penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, terutama dalam konteks pemilu yang penuh dengan dinamika dan perbedaan pendapat.

Dengan pendidikan Agama Islam yang baik, literasi politik masyarakat dapat ditingkatkan. Masyarakat yang memiliki literasi politik tinggi akan lebih sulit terpengaruh oleh politisasi agama. Mereka akan lebih kritis dalam menilai kandidat politik dan tidak mudah terbawa oleh retorika agama yang digunakan untuk tujuan politik sempit.

Pendidikan Agama Islam memiliki peran penting dalam menghadapi politisasi agama pada   Pemilu 2024. Dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan moderasi, serta meningkatkan literasi politik, pendidikan Agama Islam dapat membantu masyarakat menjadi lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh politisasi agama. Ini penting untuk memastikan pemilu yang adil, transparan, dan memperkuat persatuan bangsa.

Pendidikan agama Islam yang baik adalah kunci untuk membangun masyarakat yang bijak dalam berpolitik, sehingga politisasi agama  tidak lagi menjadi ancaman bagi demokrasi dan kebersamaan kita. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gus Dur, “Agama mengajarkan pesan-pesan damai. Namun para ekstremis akan  memutar balikkannya. Kita butuh agama yang ramah, bukan agama yang marah”.

Artikel ini ditulis oleh Muhammad Iqbal Saputra

Muhammad Iqbal Saputra adalah Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Exit mobile version