Site icon PinterPolitik.com

Mengupas Hubungan Islam dan Demokrasi

Mengupas Hubungan Islam dan Demokrasi

Gelombang demonstrasi yang terjadi pada 2 Desember 2016. (Foto: Istimewa)

Akhir-akhir ini, muncul narasi bahwa demokrasi semakin tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Beberapa pemikir Barat juga menilai ketidakcocokan di antara keduanya. Namun, benarkah begitu?


PinterPolitik.com

Meninggalnya Bahtiar Effendy menyisakan kesedihan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Sepanjang hidupnya, cendekiawan Muslim ini dikenal sebagai salah satu figur yang “ambisius” untuk mendudukan posisi Islam dan politik secara proporsional.

Jika berbicara mengenai Islam dan politik, Effendy seperti memendam amarah pada dua pihak. Pihak pertama adalah para sarjana Barat yang kerap dianggap salah dalam mempersepsikan Islam pada konteks politik modern dan pihak kedua adalah pada segolongan dari umat Islam sendiri.

Amarah itulah – meski istilah amarah kurang tepat digunakan pada konteks keilmiahan Bahtiar Effendy – yang sepertinya menjadi energi bagi Effendy untuk terus memberikan kontribusi bagi generasi dalam memahami kedudukan Islam dan politik.

George Kennan – seorang diplomat dan sejarawan Amerika, seperti dikutip Samuel P. Huntington, pada suatu ketika menyatakan bahwa hanya Baratlah yang mempunyai tradisi budaya yang compatible dengan nilai-nilai demokrasi. Pandangan ini dikutip oleh Huntington sebagai salah satu penguat tesisnya untuk mengatakan bahwa kebudayaan masyarakat dunia di luar Barat bersifat inimical (bertentangan) dengan nilai demokrasi, terlebih-lebih yang berkaitan dengan agama.

Jika ada sebuah “masyarakat agama” yang menerapkan demokrasi, menurut Huntington, seperti dikutip Effendy, maka hal itu contradiction in terms. Huntington mencontohkan demokrasi Konfusius yang dianggapnya memiliki kontradiksi.

Menurut Effendy, bukan hanya Huntington yang memiliki pendapat demikian. Para ahli lainnya – sebut saja Francis Fukuyama, Larry Diamond, Juan Linz, dan Seymour Martin Lipset – juga memiliki pandangan yang mirip.

Para penstudi Barat itu beranggapan bahwa Islam secara inheren tidaklah sesuai dengan demokrasi. Bahkan oleh sementara pihak Islam dipandang sebagai ancaman besar terhadap peradaban Barat.

Pendapat para ahli di atas memunculkan reaksi bukan hanya dari penstudi Muslim, melainkan juga dari para ahli di Barat sendiri. John L. Esposito misalnya, menyatakan bahwa terdapat penafsiran yang salah mengenai Islam dari sarjana Barat. Kesalahan tersebut salah satunya disebabkan oleh “bias-bias sekular” yang dimiliki oleh para sarjana Barat.

Robert N. Bellah  juga memiliki kesimpulan yang mirip. Bahkan, Bellah sampai pada kesimpulan bahwa penyelenggaran pemerintahan yang dikembangkan Nabi Muhammad di Madinah pada masa klasik Islam bersifat egaliter dan partisipatif.

Demikian terkesannya Bellah sehingga berani menilai bahwa apa yang dilakukan Nabi terlalu modern untuk ukuran zamannya. Namun, karena tipisnya sumber daya infrastruktur politik yang dimiliki, rekayasa demokratis (democratic engineering) gagal untuk dipertahankan.

Melihat perdebatan-perdebatan mengenai Islam dan demokrasi, pertanyaan besarnya bukanlah apakah Islam kompatibel dengan demokrasi atau mengapa Islam harus mengadopsi demokrasi, melainkan bagaimanakah menggagas sebuah sintesa yang memungkinkan untuk menjalin hubungan antara Islam dengan demokrasi.

Pertanyaan terakhir inilah yang coba (selalu) dijawab oleh Effendy. Tujuannya, cendekiawan Muslim ini ingin menunjukkan kepada masyarakat global bahwa Islam memiliki nilai-nilai yang sesuai untuk diterapkan dalam sistem politik modern.

Dua Aliran Utama Pemikiran Politik Islam

Pembahasan mengenai Islam dan politik boleh dibilang telah menjadi pembahasan yang sangat panjang. Titik fokus pembahasan ini biasanya selalu tentang hubungan Islam dengan politik atau negara. Bagaimanakah konsepsi politik atau negara dalam Islam?

Dalam menjawab pertanyaan ini, para penstudi Islam, sebagaimana dinyatakan Munawir Sjadzali, umumnya terbelah menjadi tiga aliran. Aliran pertama adalah aliran fundamentalis yang menganggap bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan; sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara.

Aliran kedua adalah aliran sekularis yang menganggap bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Aliran ketiga adalah aliran akomodatif yang beranggapan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, melainkan terdapat seperangkat tata nilai etis bagi kehidupan bernegara.

Namun, Effendy membagi tipologi pemikiran politik Islam menjadi dua saja, yaitu aliran legal-formal dan aliran substansial. Aliran legal-formal beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara, syari’ah harus dijadikan konstitusi negara, kedaulatan politik ada di tangan Tuhan, konsep nation-state bertentangan dengan konsep umat yang tidak mengenal batasan politik, dan konsep musyawarah berbeda dengan demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern. Berdirinya sebuah negara Islam yang formalistis dan ideologis sangat penting bagi pendapat aliran ini.

Aliran substansial beranggapan bahwa tidak ada konsep tentang negara atau sistem politik di dalam Islam. Namun, Al-Quran mengandung nilai-nilai etis yang disediakan untuk melakukan kegiatan sosial dan politik umat manusia.

Nilai-nilai tersebut mencakup ajaran tentang keadilan, kesamaan, persaudaraan dan kebebasan. Bagi aliran ini, menurut Effendy, sepanjang negara berpegang pada nilai-nilai itu, maka mekanisme yang diterapkan sudah sesuai dengan ajaran Islam. Berdirinya sebuah negara Islam yang bersifat formalistis dan ideologis sudah tidak terlalu penting adanya.

Islam dan Demokrasi dalam Perspektif Bahtiar Effendy

Jika melihat tipologi Effendy di atas bisa dimaknai bahwa aliran legal-formal akan sangat sulit – kalau bukan mustahil – untuk bisa menerapkan sistem politik dan demokrasi modern. Hal ini menurut penulis setidaknya dikarenakan dua hal.

Pertama, konsepsi politik aliran legal-formal meniscayakan negara berbentuk teokrasi, di mana kekuasaan tertinggi berada di Tangan Tuhan. Konsep ini tentu bertentangan dengan konsep demokrasi yang meniscayakan kedaulatan berada di tangan rakyat.

Kedua, penerapan syariah sebagai konstitusi negara berimplikasi pada munculnya asumsi bahwa politik – di negara multikultural – hanya untuk kepentingan dan kemaslahatan golongan Islam saja. Implikasi lainnya adalah konsepsi ahl-dzimmah yang dianggap tidak sesuai dengan pluralisme yang menjadi tolok ukur politik dan demokrasi modern.

Bagi Effendy, aliran legal-formal bisa mengganggu, atau menghalangi, perkembangan etika sosial-politik dan sistem politik yang pluralistik dan egaliter. Dalam negara yang formalistik-legalistik itu, tidak mustahil persoalan ahl al-dzimmi (posisi non-muslim di negara Islam) dan peran perempuan dalam politik akan dipersepsikan sebagai contoh kasatmata tentang tidak pluralistiknya sistem kenegaraan Islam.

Pandangan aliran legal-formal inilah yang sepertinya menjadi basis dibuatnya tesis oleh sejumlah pemikir Barat untuk menarik kesimpulan bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi. Sebagaimana dinyatakan Effendy, di dalam Islam terdapat aliran pemikiran yang kaya dan beragam.

Memandang Islam secara monolitis seperti yang dilakukan Huntington atau Fukuyama, bukan saja akan membuahkan kesimpulan yang meleset tetapi secara metodologis juga sukar dipertanggung jawabkan. Effendy menunjukkan negara Madinah sebagai contoh.

Menurut Effendy, Madinah di bawah Nabi Muhammad merupakan negara dengan sistem politik paling modern di zamannya dan telah menerapkan nilai-nilai demokrasi. Nabi secara substansial – bukan legal formal – telah membuktikan bahwa Islam bukan hanya kompatibel dengan demokrasi, melainkan juga sudah menjadi pelopor digerakkannya demokrasi modern.

Boleh jadi, karena asumsi inilah, seorang Effendy terkesan sangat “ambisius” untuk mengatakan pada dunia bahwa secara ilmiah Islam dan sistem politik modern bukanlah dua kubu yang bertentangan. Ini bukan lagi soal apakah Islam kompatibel atau tidak dengan demokrasi, melainkan soal apakah para pemikir Barat bersedia melihat fakta-fakta tersebut secara objektif dan soal apakah sebagian umat Islam bersedia membuka wacananya lebih luas untuk melahirkan diskursus-diskursus ilmiah untuk menjawab tantangan zaman.

Mungkin, seorang Effendy yang sepanjang hidupnya bergulat dengan pemikiran politik Islam dan memperjuangkan “jalan tengah” demokrasi, bukanlah seorang “pro-demokrasi,” melainkan seorang “pro-kemanusiaan,” yang berdiri di atas fondasi keislaman dan naluri ilmiah.

Tulisan milik Robby Milana, praktisi media dan mahasiswa Pascasarjana FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version