HomeRuang PublikMengapa Presiden Selalu Orang Jawa?

Mengapa Presiden Selalu Orang Jawa?

Oleh Ahmad Fajar Rahmatullah, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Sebagian besar sosok presiden-presiden Indonesia merupakan individu yang berasal dari komunitas etnis Jawa. Mengapa presiden Indonesia kerap berlatarbelakang orang Jawa?


PinterPolitik.com

Ngomong-ngomong tentang presiden, akhir-akhir ini mencuat ke publik beberapa nama yang berpotensi untuk ikut serta dalam pemilihan presiden tahun 2024. Walaupun masih sekitar lagi tahun lagi, nama-nama seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil akhir-akhir ini naik ke publik dengan berbagai hasil lembaga survei.

Dalam hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada 27 Mei-4 Juni 2021 di 34 provinsi, sebanyak 1.200 responden menentukan sembilan nama kepada pemilih. Hasilnya, dari simulasi sembilan nama ini, terlihat bahwa per hari ini Prabowo saat ini memiliki elektabilitas yang paling tinggi di angka 23,5 persen.

Di peringkat selanjutnya, terdapat nama Ganjar Pranowo dengan elektabilitas 15,5 persen, Anies Baswedan 13,8 persen, sementara Sandiaga Uno yang berdarah Bugis 7,6 persen. Selanjutnya, terdapat nama Airlangga Hartarto sebesar 5,3 persen, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) 3,8 persen, Puan Maharani 2 persen, Erick Thohir yang merupakan orang Lampung 1,9 persen, dan Moeldoko 0,1 persen.

Yang menarik adalah bukan karena nama pertama bapak Prabowo yang mendapatkan elektabilitas tinggi, melainkan, dari sembilan nama yang di berikan kepada responden, tujuh dari sembilan nama tersebut semuanya berasal dari etnis Jawa.

Pernahkah kita berpikir mengapa presiden Indonesia di dominasi orang Jawa?  Presiden pertama Republik ini Bapak Soekarno dari  Surabaya, Jawa Timur. Presiden kedua Soeharto dari Bantul, D.I. Yogyakarta.

Kemudian, Abdurahman Wahid atau yang biasa kita kenal dengan Gus Dur dari Jombang, Jawa Timur. Megawati Soekarnoputri pun kelahiran Yogyakarta. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Pacitan, Jawa Timur. Hanya satu pengecualian dari semua nama yang sudah disebutkan di atas, yaitu Bapak B.J. Habibie yang merupakan kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan.

Untuk melihat fenomena tersebut, kita bisa melihatnya dengan pendekatan sosiologi dengan apa yang di sebut dengan identitas sosial. Identitas sosial, menurut Michael A Hogg dan Dominic Abrams dalam bukunya yang berjudul Social Identifications: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes, didefinisikan sebagai pengetahuan individu bahwa ia memiliki kelompok sosial tertentu bersama-sama dengan beberapa makna emosional dan nilai dari keanggotaan kelompok. Kelompok sosial adalah dua atau lebih individu yang berbagi identifikasi sosial baik umum maupun pribadi atau yang hampir sama artinya mereka menganggap diri mereka sebagai anggota dari kategori sosial yang sama.

Baca juga :  Gibran: Like Father Like Son

Lebih lanjut, Michael Hogg (1998,p 16) mendeksripsikan pendekatan identitas sosial bertumpu pada asumsi tertentu tentang sifat manusia dan masyarakat, serta keterikatan mereka. Secara khusus, ia mempertahankan bahwa masyarakat terdiri atas kategori sosial yang berdiri dalam kekuasaan dan status hubungan satu sama lain – di mana kategori sosial itu mengacu atas dasar kebangsaan, ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan sebagainya.

Sementara, Sherman (1994) dalam buku milik Robet A. Baron dan Don Byrne (2003: 162-163) mengatakan bahwa setiap orang berusaha membangun sebuah identitas sosial (social identity) – sebuah representasi diri yang membantu kita mengonseptualisasikan dan mengevaluasikan siapa diri kita. Dengan mengetahui siapa diri kita, kita akan mengetahui siapa diri (self) dan siapa yang lain (others).

Berkaca dari pendekatan identitas sosial dan fakta bahwa suku di Indonesia didominasi oleh suku Jawa, merujuk pada sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS tahun 2010, Indonesia memiliki 1.340 Suku bangsa. Dilansir melalui situs resmi Sekretariat Negara (Setneg), suku Jawa merupakan kelompok terbesar dengan porsi 41 persen dari total populasi di Indonesia.

SP2020 mencatat bahwa penduduk Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, yaitu sebesar 151,59 juta penduduk atau 56,10 persen dari total penduduk Indonesia. Artinya, secara sosial masyarakat etnis Jawa yang begitu banyaknya mau tidak mau mencari pemimpin yang merepresentasikan identitas sosial mereka. Hal itu setidaknya relevan.

Fakta banyaknya etnis Jawa dan persebaran penduduk yang terkonsentrasi di Pulau Jawa  tersebut memiliki hubungan erat jika dilihat dari perspektif politik dengan apa yang disebut politik identitas dan representasi politik.

Menurut Lukmantoro yang dikutip melalui Juhana Nasrudin dalam jurnalnya yang berjudul Politik Identitas dan Representasi PolitikStudi Kasus pada Pilkada DKI Periode 2018-2022 menyatakan bahwa politik identitas Lukmantoro adalah politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik – baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan.

Baca juga :  The War of Java: Rambo vs Sambo?

Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Politik identitas merupakan tindakan politis dengan upaya-upaya penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai- nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan.

Dari pendekatan sosiologis di atas mengenai identitas sosial, serta fakta bahwa etnis Jawa merupakan etnis atau suku yang dominan di Indonesia, serta dominasi pemegang suara yang berada terpusat pulau Jawa, maka tak khayal penduduk yang amat besar ini harus diwakilkan oleh seorang sosok pemimpin.

Artinya, ketika berbicara identitas sosial maka seorang pemimpin mau tidak mau harus berasal dari kelompok yang memiliki dominasi jumlah yang besar – dalam hal ini etnis atau suku Jawa. Maka tak khayal identitas sosial menghasilkan apa yang di sebut dengan politik identitas dalam struktur kepemimpinan nasional.

Hal ini juga di dukung oleh bagaimana partai politik kecenderungannya dipimpin oleh elite politik yang berasal dari etnis Jawa. Sebut saja PDIP yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, Demokrat dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gerindra dipimpin oleh Prabowo Subianto, dan masih banyak lagi. 

Hal tersebut merupakan apa yang disebut dengan representasi politik. Menurut Nuri Suseno dalam bukunya yang berjudul Representasi Politik, perkembangan representasi politik dapat diamati sejauh mana keberadaan negara dalam pelaksanaan demokrasinya yang sangat dipengaruhi oleh perubahan fenomena politik.

Berbicara fenomena politik atau representasi kepemimpinan yang di pegang oleh etnis atau suku Jawa menyebabkan representasi politik di tingkat pusat kecenderungannya menghasilkan pemimpin yang merupakan representasi etnis atau suku Jawa dalam proses demokratisasi di Indonesia.

Lantas, setujukah kamu dengan fenomena ini? Well, biarlah fenomena ini menjadi proses negara kita menuju demokratisasi yang lebih inklusif.


Tulisan milik Ahmad Fajar Rahmatullah, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Banner Ruang Publik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...