Site icon PinterPolitik.com

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

ormas

Ilustrasi kegiatan ormas Gerakan Pemuda Kakbah (GPK) pada tahun 2020 silam. (Foto: Borobudur News)


Oleh: Noki Dwi Nugroho

PinterPolitik.com

Berbicara mengenai “preman”, yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas. Meskipun begitu, perlu diakui pula bahwa preman atau bisa dikatakan bagian dari local strongmen memiliki peran tersendiri dalam masyarakat.

Tak jarang, atas dasar kekuatan fisik dan keberanian yang dimiliki oleh mereka, beberapa pihak menggunakan jasa mereka untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan keamanan dan urusan lain yang memerlukan pendekatan secara koersif.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa politisi dan bahkan partai politik juga merupakan salah satu pelanggan yang menggunakan “jasa” para strongmen dalam mencapai tujuan politik mereka, terutama pada masa Pemilu seperti saat ini. 

Namun, pernahkah kita berpikir tentang apa yang membuat eksistensi mereka hadir dalam suatu masyarakat? Bagaimana pada akhirnya mereka dapat memperoleh pengaruh dan kekuasaan? Lalu, bagaimana pada akhirnya aktor politik dapat menggunakan jasa mereka?

Hikayat Penguasa-Preman

Eksistensi preman dalam kehidupan masyarakat di Indonesia sudah hadir jauh sebelum bangsa ini merdeka. Secara historis, praktik premanisme sudah berlangsung ketika feodalisme berkuasa di Nusantara.

Berbeda dengan preman yang hanya menggunakan kekuatan fisik sebagai modal untuk mendapatkan pengaruh, para preman di masa ini, yang biasa disebut dengan Jawara atau Jago memiliki kemampuan mistis seperti kekebalan dan kesaktian lainnya yang digunakan sebagai modal mereka untuk mendapatkan pengaruh dalam suatu masyarakat.

Sama seperti preman, para Jago ini melakukan tindakan kriminal yang membuat masyarakat resah. Namun, di sisi lain, Jago memiliki peran penting sebagai orang yang menjaga wilayah suatu pemerintahan lokal dari ancaman wilayah lain.

Sebagai imbalannya, Nordholt dalam artikelnya yang berjudul The Jago in the Shadow. Crime and ‘Order’ in the Colonial State in Java menyebutkan bahwa para Jago ini pada akhirnya berhasil mendapatkan reputasi dalam suatu kelompok masyarakat atas jasanya dalam menjaga daerah tersebut.

Berkembangnya zaman membuat peran Jago turut berubah. Pada masa kolonial, Jago memiliki peran sebagai tangan kanan dari bupati untuk menjaga ketertiban di daerah.

Bentuk kerja sama ini dilakukan oleh bupati karena pada saat itu, bupati yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah kolonial untuk mengurus segala urusan di daerah, memiliki permasalahan dalam menjaga ketertiban di daerah, terutama di daerah yang berada di bawah pengaruh Jago.

Maka dari itu, atas jasanya dalam menjaga ketertiban, para Jago seakan diberikan kebebasan oleh pemerintah kolonial saat itu untuk melakukan tindakan kriminal selama tidak menyinggung pemerintah kolonial.

Dalam perkembangannya, istilah “Jago” telah berganti dengan istilah yang lebih umum kita dengar sebagai preman, atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Vrijman (orang bebas). Istilah preman pada masa itu merujuk pada sekelompok orang yang bebas secara relasi kerja.

Tidak seperti sekarang yang dianggap buruk, mulanya, preman atau vrijman dianggap oleh masyarakat, terutama para buruh sebagai seorang pahlawan. Pasalnya, para preman ini tak segan untuk melakukan tindakan yang merugikan para pengusaha Belanda yang bertindak semena-mena kepada pekerja pribumi.

Eksistensi preman masih bertahan hingga bangsa ini berhasil mendapatkan kemerdekaannya pada 1945. Pada masa ini, ketika kondisi negara masih jauh dari kata stabil, preman-preman di daerah saling berebut kekuasaan untuk menjadi penguasa lokal di daerahnya.

Kondisi ini bertahan hingga tiba pada masanya, ketika Belanda kembali datang dan mencoba menguasai kembali Indonesia. Secara tidak langsung, kondisi ini pada akhirnya membuat para preman yang semula saling berkonflik menjadi bersatu dan banyak dari mereka yang bergabung dengan milisi untuk berperang melawan Belanda.

Perjuangan rakyat berbuah manis ketika Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949. Indonesia sekali lagi berhasil membebaskan diri dari upaya penjajahan bangsa asing. Akan tetapi, tetap saja masih ada PR besar bangsa ini dalam menjaga kestabilan negara yang saat itu masih jauh dari kata stabil. Kondisi ini diperburuk dengan tingkat pengangguran yang tinggi, yang membuat para preman-preman kembali melancarkan tindakan kriminalnya.

Ian Douglas Wilson dalam bukunya, Politik Jatah Preman menyebutkan bahwa pada masa ini, para preman yang sebelumnya cenderung bertindak secara perorangan telah mendirikan satu organisasi yang menjadi wadah bagi para preman untuk bertindak bersama.

Pelembagaan para preman ini tidak membuat mereka berhenti melakukan tindakan kriminal. Mereka justru menggunakan organisasi sebagai sarana untuk menghasilkan penghasilan, misalnya dengan menjadikan organisasi sebagai penyedia jasa keamanan bagi para pengusaha.

Berkembangnya waktu membuat organisasi preman dilirik oleh kelompok kepentingan untuk membantu meraih kekuasaan politik. Organisasi yang identik dengan loreng oren, misalnya. Organisasi yang dibentuk dari kelompok preman ini digunakan oleh militer pada 1965 untuk membantu militer dalam melakukan pembantaian terhadap orang yang diduga sebagai simpatisan komunis.

Hal ini secara tidak langsung juga turut membantu Soeharto untuk mendapatkan kursi tertinggi di pemerintahan. Sebagai imbalan atas jasanya, organisasi ini seakan dibiarkan oleh negara dalam melakukan tindakan kriminal, selagi tidak mengurusi urusan politik.

Masih dalam bukunya Politik Jatah Preman, Wilson menyebutkan bahwa pada masa kepemimpinan Soeharto, kelompok preman melembagakan diri secara formal dalam bentuk ormas (organisasi kemasyarakatan) yang diakui oleh negara. Pola relasi patron-klien antara negara dan preman ini telah memberikan keuntungan baik pada negara dan para preman.

Dengan menjadikan kelompoknya sebagai Ormas, mereka tidak akan diberi sanksi oleh negara atas perbuatan kriminalnya. Di sisi lain, dengan bekerjasama dengan Ormas, posisi negara semakin kuat dengan menyebarkan politik ketakutan melalui para preman.

Melalui hal ini juga, negara akan memberikan perlindungan terhadap rakyatnya jika mereka setia pada pemerintahan Orde Baru.

Mencari Rente Melalui Parte

Lengsernya Soeharto dari kursi kekuasaan yang telah didudukinya selama 32 tahun telah membuat banyak perubahan dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia. Runtuhnya kekuasaan otoriter Soeharto telah membawa angin segar demokratisasi di negara ini.

Demokratisasi dalam praktiknya memang telah mendorong lahirnya banyak partai politik baru. Namun, di sisi lain hal ini juga turut mendorong para kelompok preman untuk menjadikan partai politik baru sebagai sarana untuk mencari rente (rent seeking) melalui praktik klientelisme yang dilakukannya.

Istilah Rent Seeking atau pencari rente berasal dari kata rent (sewa) dan seeking (mencari). Dalam kaitannya dengan hal ini, istilah pencari rente merujuk pada suatu upaya yang dilakukan oleh seorang individu atau kelompok untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi dengan menggunakan pengaruh yang dimiliki olehnya.

Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan oleh ormas di era Orde Baru dapat dikatakan sebagai praktik pencari rente. Pasalnya, di era tersebut kehadiran beberapa ormas dapat dilihat sebagai upaya para preman untuk menjadikan dirinya sebagai klien dari para penguasa dengan membentuk organisasi yang lebih formal (ormas).

Layaknya seorang klien, hal ini mereka lakukan semata-mata hanya untuk mencari siapa yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka, entah itu keuntungan materil atau perlindungan hukum atas tindak kriminal yang dilakukannya.

Di era reformasi kini, pola-pola yang dianggap kuno seperti ini masih lazim dilakukan oleh para politisi dan partai politik.

Pada Pemilu 1999, misalnya, Wilson menyebutkan bahwa menjadi fenomena yang sangat umum ketika banyak partai politik baru membentuk ormas paramiliter. Pembentukan kelompok ini lagi-lagi dibangun atas dasar relasi patron dan klien.

Dalam hal ini, partai politik membutuhkan kelompok yang dapat membantunya untuk mencapai tujuan politiknya. Sementara itu, para preman juga membutuhkan sarana untuk mendapatkan rente melalui kekuatan politik.

Pada mulanya, pembentukan ormas paramiliter oleh partai politik ini didasasi pada alasan untuk menjaga partai dari hegemoni partai lama yang sudah berkuasa sejak era Orde Baru, yang mana partai tersebut sudah terlebih dahulu memiliki ormas paramiliter yang berperan sebagai aparatusnya. Namun, peran ini semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu.

Ormas paramiliter yang menjadi underbow partai politik bertambah perannya sebagai penghimpun basis massa di daerah. Berbekal pengaruh yang cukup kuat di wilayah yang “dikuasai” olehnya, mereka dapat dengan mudah untuk menghimpun suara untuk partai yang dianggap sebagai patron mereka.

Hal ini dapat dibuktikan dari fenomena yang akhir-akhir ini turut meramaikan proses pemilu—banyak dari Ormas telah mendeklarasikan dukungannya terhadap salah satu peserta di Pemilu 2024.

Selain berperan dalam menghimpun massa di basis akar rumput, ormas-ormas ini juga memiliki peran sebagai aparatus yang berperan dalam urusan keamanan dan sebagai kelompok yang mengintimidasi lawan politik dari partai yang menjadi patronnya.

Sebagai contoh, peristiwa bentrokan antarormas yang merupakan underbow dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang terjadi pada beberapa waktu lalu di Magelang.

Hal ini merupakan satu dari sekian bukti bagaimana para ormas yang merupakan underbow dari partai politik bekerja dalam hal-hal yang sifatnya koersif.

Kiranya sudah menjadi rahasia umum bahwa partai politik memiliki kedekatan khusus dengan para preman (ormas). Terlebih, hubungan ini menjadi semakin mesra ketika memasuki masa-masa pemilihan umum seperti saat ini.

Kedekatan ini tercermin dari beberapa momen ketika para elit politik menghadiri kegiatan yang diselenggarakan oleh Ormas dengan menggunakan atribut dari ormas tersebut. Bahkan, tak jarang banyak dari elit politik bergabung menjadi anggota dari sebuah ormas.

Hal ini mungkin menjadi alasan mengapa ormas yang seringkali melakukan tindakan kriminal tidak diberikan sanksi tegas oleh pemerintah (pembubaran organisasi). Pemerintah hanya akan membubarkan ormas jika mereka berada di posisi yang tidak sejalan dengan kekuasaan.

Pada akhirnya, partai politik membutuhkan mereka untuk mendulang suara. Di sisi lain, ormas juga membutuhkan partai politik sebagai sarana untuk mencari rente.


Artikel ini ditulis oleh Noki Dwi Nugroho

Noki Dwi Nugroho adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Padjajaran


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Exit mobile version