Kawasan Indo-Pasifik semakin memanas dengan adanya rivalitas geopolitik antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS). Lantas, peran apa yang dapat diberikan oleh Indonesia?
“Who rules Eastern Europe commands the Heartland, Who rules the Heartland commands the World Island, Who Rules the World Island commands the World”
Kutipan di atas merupakan gambaran singkat tentang Heartland Theory yang dikemukakan oleh Halford Mackinder, seorang pakar geopolitik. Heartland diartikan sebagai sebuah wilayah atau area yang menyimpan kekayaan alam yang melimpah secara geografis serta lokasi yang strategis untuk memperluas pengaruh politik.
Heartland dalam pandangan Mackinder, mencakup kawasan Eurasia. Negara-negara yang tergabung dalam kawasan tersebut mencakup Rusia dan negara-negara Asia Tengah yakni Kazakhstan, Tajikistan, Turkmenistan dan Azerbaijan serta ditambah dengan Iran. Negara-negara tersebut secara geografis berada di dekat Laut Kaspia, yaitu perairan yang menyimpan sumber daya alam yang sangat besar.
Direktur Eksekutif International Energy Agency, Richard Jones, pernah mengemukakan bahwa ekspor minyak dan gas dari Wilayah Kaspia akan meningkat dalam 25 tahun mendatang, terhitung sejak tahun 2011. Potensi sumber daya minyak di lokasi ini mampu memenuhi kebutuhan gas bagi negara-negara Eropa.
Bahkan, salah satu negara Asia Tengah, yaitu Kazakhstan dinilai bakal memiliki peran penting, khususnya untuk mengamankan pasokan minyak untuk pasar Eropa. Kekayaan sumber daya ini mengundang ketertarikan dari negara-negara asing seperti Tiongkok dan Serikat.
Bagi Tiongkok, kawasan ini sangat penting bagi keberlangsungan program Belt and Road Initiative (BRI). Program ini hendak menghubungkan Asia, Eropa serta seluruh dunia.
Pasca pecahnya Uni-Soviet, Tiongkok sudah melakukan manuver dengan membangun pipa gas dari Kaspia menuju ke Tiongkok. Tindakan ini merupakan salah satu upaya Tiongkok untuk merealisasikan program Belt and Road Initiative guna menghubungkan jalur lalu lintas perdagangan Eropa-Asia.
Isu Sengketa Laut China Selatan
Seperti yang dikemukakan oleh MacKinder, bahwa negara yang menguasai Heartland akan mampu menguasai dunia. Nampaknya Tiongkok berupaya merealisasikan hal tersebut dengan membangun jalur perdagangan internasional yang menghubungkan negaranya ke Eropa.
Tiongkok memang memiliki tujuan untuk menghubungkan jalur dagang di kawasan Eurasia, melalui program Belt and Road Initiative (BRI). Berdasarkan laporan dari Fung Business Intelligence Centre, posisi Laut China Selatan memiliki peran penting khususnya dalam proyek 21st Century Maritime Silk Road.
Tiongkok semakin percaya diri sebab Presiden Tiongkok Xi Jinping mengemukakan bahwa 60 negara yang berada di lokasi yang terlibat dalam BRI tertarik untuk terlibat dalam proyek tersebut.
Berbagai upaya dilakukan Tiongkok untuk mendapatkan klaim atas Laut China Selatan seperti membangun pulau buatan di lokasi tersebut. Namun, upaya Tiongkok untuk mendapatkan klaim atas Laut China Selatan tidak mudah karena mendapatkan tekanan dari negara superpower yaitu Amerika Serikat (AS).
Sepertinya, AS mulai “mencium” adanya upaya dari Tiongkok untuk menggeser kekuatan AS sebagai negara superpower. AS saat ini berbeda dengan AS yang dipimpin oleh Presiden Barack Obama.
AS pada pemerintahan Presiden Donald Trump lebih terkesan isolasionis dengan slogan America First-nya sehingga tatanan internasional liberal semakin memudar. AS semakin menjauh dari negara-negara lain.
Meski terkesan menjauh dari negara lain, sepertinya AS tidak akan membiarkan Tiongkok leluasa bergerak untuk melanggengkan proyek BRI-nya. Meskipun secara geografis, wilayah AS jauh dari Laut China Selatan, hal tersebut tidak menghalangi AS untuk “ikut campur” dalam isu sengketa Laut China Selatan.
Upaya terbaru yang dilakukan AS adalah meningkatkan aktivitas militer di lokasi tersebut dan pengoperasian kebebasan navigasi. Lantas, mengapa AS yang pada masa pemerintahan Donald Trump seolah kembali melirik kawasan Indo-Pasifik dan harus kembali berurusan dengan negara-negara di Asia Tenggara? Padahal, sebelumnya Trump terlihat menunjukkan ketidaktertarikannya untuk menjalin hubungan dengan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, dengan keluar dari kesepakatan dagang Trans-Pasifik.
Ini semua karena potensi kekayaan yang ada di Laut China Selatan. Berdasarkan laporan dari pemerintahan AS, posisi strategis Laut China Selatan sebagai jalur lalu lintas perdagangan internasional mampu menghasilkan 5,3 milyar dollar AS.
Sementara itu, data dari Badan Informasi Energi AS mencatat bahwa terdapat cadangan minyak bumi senilai 11 milyar barel, dan gas alam sekitar 190 triliun kaki kubik. Bahkan, pada tahun 2035, diprediksi 90 persen lalu lintas perdagangan minyak bumi dari Timur Tengah akan melintasi perairan Laut China Selatan.
Kawasan Indo-Pasifik yang dikelilingi oleh negara-negara Asia Tenggara sepertinya telah menjadi “Heartland” yang baru bagi kekuatan global yaitu AS dan Tiongkok. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara harus bersiap, termasuk Indonesia.
Peran Indonesia
Di masa pandemi Covid-19, tensi antar kedua negara semakin tinggi karena AS mulai meningkatkan aktivitas militer di kawasan tersebut. Badan Keamanan Laut Republik Indonesia, menilai akselerasi kekuatan militer kedua negara berpotensi membuat situasi semakin memanas.
Kondisi ini memaksa Indonesia harus terlibat lebih jauh di dalam isu Laut China Selatan. Indonesia harus menjamin keselamatan warganya di Pulau Natuna serta sumber daya di perairan Natuna.
Meski demikian, Indonesia sendiri sejauh ini masih tetap kuat mengandalkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait Hukum Kelautan (UNCLOS) 1962, untuk mempertahankan Zona Ekonomi Ekslusif di perairan Natuna dari intervensi kapal ikan Tiongkok di perairan Natuna. Upaya ini untuk menjaga kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia dari Tiongkok. Hal ini memperlihatkan begitu pentingnya mekanisme multilateral bagi Indonesia dalam penyelesaian isu yang melibatkan negara-negara kuat.
Indonesia sebagai negara middle power masih cukup bergantung kepada mekanisme multilateral sehingga akan lebih baik fokus untuk memperkuat posisinya di Organisasi Regional, yaitu ASEAN. Isu sengketa Laut China Selatan bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk memimpin negara-negara di ASEAN menuju persatuan yang lebih erat lagi.
Tindakan ini begitu penting dilakukan untuk mencegah potensi terjadinya perpecahan negara-negara di kawasan ASEAN, akibat isu Laut China Selatan. Terlebih lagi, ada intervensi negara di luar kawasan seperti AS dan Tiongkok.
Dengan menggalang kekuatan sesama negara kawasan, Indonesia bisa menjadi penyeimbang, bersama negara-negara ASEAN. Indonesia mungkin belum bisa menyamai peran Iran atau Rusia seperti di Laut Kaspia, yang menentang langsung keberadaan AS di Laut Kaspia.
Namun setidaknya, Indonesia bisa meniru persatuan yang kuat antara negara-negara di pesisir Laut Kaspia. Caranya yaitu dengan penguatan kerja sama regional sesama negara ASEAN, serta dukungan lembaga internasional seperti PBB, supaya bisa membendung intervensi negara-negara kuat seperti AS dan Tiongkok.
Selain itu, bila melihat kekuatan kedua negara yang sama-sama kuat, bukan tidak mungkin bila kawasan Laut China Selatan akan menjadi kawasan yang bipolar. Apabila hal ini terjadi, tentunya Indonesia harus menyesuaikan diri, caranya dengan tetap menjalin hubungan yang baik dengan kedua negara. Tujuannya, agar mencegah tensi tinggi di kawasan Indo-Pasifik, sehingga bisa meminimalisir potensi konflik.
Maka, inilah kesempatan Indonesia untuk mempersatukan negara-negara kawasan khususnya ASEAN, untuk bersama-sama menjaga stabilitas kawasan. Solidaritas yang kuat di kawasan bisa menjadi penyeimbang bagi kekuatan negara-negara besar seperti AS dan Tiongkok.
Saat ini, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah tampil sebagai negara yang memprioritaskan solusi damai atas situasi yang terjadi di Laut China Selatan. Harapannya, beberapa tahun ke depan, Indonesia mampu menjadi pemain penting dalam persaingan global.
Tulisan milik Giftson Ramos Daniel, Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Indonesia.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.