Guna mengatasi dinasti politik yang dianggap marak di Indonesia, instrumen hukum tertentu sebagai “amunisi” dinilai perlu untuk diterapkan. Selain itu, masyarakat juga dianggap perlu untuk memiliki kesadaran akan bahaya dinasti politik.
PinterPolitik.com
Pembicaraan mengenai dinasti politik belakangan ini mencuat kembali. Ini tak terlepas dari rencana anggota keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengikuti pemilihan kepala daerah yang akan datang.
Putra sulung Jokowi – Gibran Rakabuming Raka – misalnya, berencana mengikuti Pilkada Solo pada tahun 2020 ini. Sementara, Bobby Afif Nasution – suami dari putri Jokowi Kahiyang Ayu – bersiap untuk mengikuti Pilkada Medan pada tahun yang sama.
Sejak dulu, fenomena dinasti politik sudah menjadi perdebatan yang sangat panjang dalam konstelasi politik di Indonesia – seolah tak ada mekanisme pembatas yang dapat dilakukan oleh negara dalam meredam fenomena ini.
Dinasti politik selalu menimbulkan pro dan kontra dalam diskursus publik, baik yang pro maupun kontra, dengan argumen sendiri-sendiri yang tentunya sama-sama mempunyai alasan konstitusional.
Bagi kalangan yang pro, maju dalam kontestasi politik itu merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi dan tak ada yang boleh menghalangi hak tersebut. Namun, di kalangan yang kontra, persaingan jenis ini dianggap sangat tidak sehat karena ada kecenderungan nepotisme di dalamnya
Adanya upaya untuk hanya mendompleng nama oleh kerabat yang menjadi petahana dapat membuat kedudukannya menjadi tidak equal (setara) di antara calon yang memiliki hubungan darah dengan petahana dengan calon-calon lainnya.
Kehadiran dinasti politik yang melingkupi perebutan kekuasaan di level regional hingga nasional mengakibatkan substansi dari demokrasi sendiri sulit diwujudkan. Tumbuh suburnya dinasti politik – khususnya di daerah – tidak terlepas dari peran partai politik dan regulasi tentang Pilkada. Oligarki di tubuh partai politik menyebabkan mekanisme kandidasi dan pencalonan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selama ini, terdapat kecenderungan pencalonan kandidat oleh partai politik didasarkan pada keinginan elite partai saja – bukan melalui mekanisme yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan subjektif dan integritas calon.
Di samping itu, secara bersamaan, dinasti politik terus membangun jejaring kekuasaannya dengan kuat agar tetap dapat mempertahankan kekuasaannya dalam tubuh partai baik di tingkat daerah maupun pusat sehingga dapat dipastikan dinasti politik mampu menguasai dan mematikan demokrasi dalam partai politik.
Model-Model Dinasti Politik
Dinamisasi dinasti politik dalam tatanan implementasinya telah mengalami berbagai macam bentuk, mulai dari pertama kali eksis hingga sekarang. Ada tiga cara yang umum dilakukan.
Pertama, adanya dinasti politik dengan cara regenerasi. Jenis ini menghendaki kepemimpinan suatu daerah dengan tanpa jeda oleh satu keluarga, seperti di Provinsi Jambi, Provinsi Kalimantan Timur, dan Kabupaten Bangkalan (Jawa Timur).
Kedua, adanya pola yang dilakukan lintas kamar atau cabang kekuasaan. Pola ini dilakukan dengan, misalnya, kakaknya menjadi bupati kemudian adiknya menjadi ketua DPRD.
Ketiga, model kekuasaan dilakukan lintas daerah. Pola ini ditemukan di beberapa daerah, seperti di Lampung. Selain itu, dalam praktiknya, ada juga yang menerapkan ketiga model tersebut sekaligus, seperti di daerah Banten dan Sulawesi Selatan.
Dalam pasar politik pragmatis dewasa ini, terdapat dua syarat utama – yaitu mempunyai uang yang besar dan mempunyai keturunan orang yang berpengaruh – sehingga tingkat elektabilitasnya tinggi. Lalu, apakah fenomena ini wajar dalam konstelasi politik di Indonesia? Bagaimana fenomena ini disikapi oleh hukum di Indonesia?
Dinasti Politik dalam Kacamata Hukum
Jika diingat kembali, sebenarnya pernah ada instrumen hukum yang mengatur terkait fenomena dinasti politik ini. Terdapat suatu gagasan untuk meredam dinasti politik di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi salah satu UU yang sebenarnya telah membentuk dinding pembatasan terkait fenomena ini – melalui Pasal 7 huruf r yang menyatakan bahwa calon kepala daerah tidak dapat memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Namun, kemudian norma ini harus melalui Judicial Review pada tahun 2015, dan kemudian dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) yang dalam putusannya No. 33/PUU-XIII/2015, membatalkan regulasi tersebut karena dianggap inkonstitusional dan melanggar hak politik seseorang.
Sebenarnya, makna dari Pasal 7 huruf r ini menjelaskan bahwa calon kepala daerah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, kakek, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali jabatan.
Artinya, norma ini bermaksud mengatur penundaan hak kepada calon kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga dengan petahana untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, kecuali telah melewati satu kali masa jabatan/satu periode yang digantikan oleh orang lain yang bukan keluarganya.
Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat. Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan berlaku erga omnes (berlaku terhadap semua).
Filosofi dasar atau tujuan awal dari pembuatan norma ini adalah untuk menimbulkan fairness atau keadilan dalam kontestasi Pilkada. Fairness yang dimaksudkan yaitu melalui pembatasan partisipasi dari calon-calon yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana sehingga membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses Pilkada dengan cara mencalonkan diri.
Maka, sejatinya, jika melihat fenomena ini perlu kiranya menciptakan instrumen hukum yang bersifat progresif dan tidak hanya melihat fenomena ini dalam kacamata positivistik dan legalistik saja. Meskipun pilihan ditentukan oleh rakyat, peran petahana dalam proses ini sangat besar dan berpengaruh serta sulit untuk dideteksi keikutsertaannya.
Atas dasar itu, untuk terlaksananya kontestasi Pilkada yang adil, maka berbagai pembatasan bagi petahana harus – bahkan wajib untuk – dilakukan. Oleh karena itu, sejumlah pembatasan sebagaimana yang diatur dalam UU Pilkada tentu sudah pada tempatnya dan seharusnya diberikan dukungan.
Dengan adanya pembatasan tersebut, seorang petahana tidak lagi leluasa menggunakan birokrasi sebagai mesin pemenangan. Merujuk pada berbagai kebijakan pembatasan tersebut, langkah dalam membatasi sesungguhnya haruslah dialamatkan pada petahana bukan pada keluarga petahana.
Artinya, pembatasan diterapkan bukan karena petahana dinilai sebagai orang jahat, melainkan lebih karena pada diri petahana terdapat sejumlah atribut kekuasaan yang memungkinkannya melakukan pelanggaran demi meraih keuntungan dalam kontestasi politik terutama dalam Pilkada.
Hal ini senada dengan pendapat Carl J. Friedrich, bahwa Konstitusionalisme mengandung gagasan, pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat dikenakan beberapa pembatasan – yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diselenggarakan tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. (Wheare, 2015).
Di samping kebutuhan menciptakan instrumen hukum yang mampu meredam laju dinasti politik di Indonesia, masyarakat juga perlu sadar akan potensi bahaya yang ditimbulkan akibat praktik dinasti politik ini. Sikap kritis untuk memilih calon pemimpin harus sudah mulai tertanam dalam diri masyarakat dalam memilih siapa pemimpinnya nanti.
Kesadaran memilih calon yang benar-benar potensial dan berkapasitas baik menjadi kebutuhan mutlak yang tidak bisa dihindari. Pemimpin harus dapat kita verifikasi bahwa ia akan memimpin dengan membawa suara serta harapan masyarakat.
Oleh karenanya, Pilkada yang akan datang nanti menjadi ajang kritis kita untuk sama-sama melihat, mendengar, serta memilih calon pemimpin pilihan rakyat yang mampu bertanggung jawab bagi keberlangsungan orang banyak.
Tulisan milik Andri Yanto, mahasiswa di Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.