Site icon PinterPolitik.com

Menavigasi Inklusivitas Politik Indonesia: Prabowo Subianto dan Perwujudan Consociational Democracy

051888800 1694003868 830 556 transformed

Prabowo Subianto (Foto: Republika)

Oleh: Damurrosysyi Mujahidain, S.Pd., M.Ikom.


Perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah berlalu dan sebagian besar rakyat Indonesia telah berkontribusi dalam terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden Indonesia selanjutnya.

Terpilihnya Prabowo dalam pilpres bukan melalui jalan yang singkat dan sederhana. Kompleksitas strategi dan pembacaan peta politik yang baik menjadi faktor besar yang mempengaruhi kemenangan Prabowo, di luar berbagai tendensi yang muncul setelahnya.

Besarnya koalisi serta pendekatan yang terkesan “baru” berhasil masuk pada dominasi segmen pemilih Indonesia dari berbagai kelompok elemen masyarakat. Keberhasilan ini tentu membawa Prabowo sebagai Presiden RI pada berbagai tantangan baru dihadapannya. Presiden sebagai entitas politik tertinggi memiliki tanggung jawab besar pada kondisi demokrasi suatu negara.

Terlebih, tantangan itu harus dihadap-hadapkan pada besar dan beragamnya kondisi masyarakat Indonesia yang tersebar di 38 provinsi dan terbagi dalam hampir 300 kelompok etnis yang berbeda. Terdapat nilai-nilai dasar demokrasi yang menjadi vital untuk dijunjung tinggi oleh pemangku kebijakan.

Seperti yang pernah dikatakan oleh mantan Kanselir Jerman, Angela Merkel. “Democracy thrives on openness, trust, and cooperation”. Keterbukaan, kepercayaan, dan kerjasama menjadi nilai dasar yang wajib diwujudkan oleh mereka yang sedang memegang kewenangan. Konsekuensi dasar dari berjalannya social contract yang harus dipenuhi.

Demokrasi konsosiasional (consociational democracy) kiranya menjadi pendekatan yang paling relevan untuk diaplikasikan di Indonesia. Pendekatan ini lahir dari pemikiran Arend Lijphart yang diperkenalkan pada karyanya, “Democracy in Plural Societies: A Comparative Exploration” yang terbit pada tahun 1977.

Pada karyanya tersebut, Arend menggambarkan bagaimana sebuah pendekatan baru tentang sistem politik yang dapat efektif mengelola keragaman pada masyarakat yang begitu plural. Didukung dengan analisis yang komprehensif mengenai bentuk sistem politik dan praktik pemerintahan di berbagai negara.

Indonesia menjadi objek politik yang tepat bagaimana demokrasi konsosiasional dapat menjawab berbagai dinamika politik dalam negeri dengan beberapa prinsip dasarnya. Terlebih lagi, kemenangan Prabowo dengan koalisi besarnya menjadi salah satu faktor yang dianggap Arend menjadi sebuah kekuatan tersendiri untuk mengupayakan terwujudnya demokrasi konsosiasional.

Pendekatan demokrasi jenis ini menekankan betapa pentingnya konsensus dan kerja bersama antar kelompok. Mulai dari kelompok sosial, etnis, keagamaan, hingga pada kelompok yang memiliki preferensi politik yang berbeda. Terlebih lagi pada kelompok yang masih terfragmentasi.

Menurut Arend, dalam sebuah keragamaan kelompok masyarakat yang begitu besar, stabilitas demokrasi hanya akan dapat dicapai dengan pembagian kekuasaan yang adil dan terdiri dari berbagai macam representasi kelompok masyarakat. Latar belakang inilah yang membuat Arend melahirkan pendekatan demokrasi gaya baru kala itu.

“Demokrasi konsosiasional bukanlah obat yang mujarab, namun ini merupakan cara yang realistis dan efektif untuk menangani perpecahan masyarakat yang mendalam”. Begitu kira-kira kalimat yang dituliskan Arend dalam karyanya. Keyakinan Arend akan klaimnya layak untuk diuji pada situasi politik Indonesia dengan besarnya relevansi variabel yang dibutuhkan.

Terdapat beberapa prinsip utama dalam pendekatan demokrasi konsosiasional yang mendukung terwujudnya stabilitas politik di Indonesia.

Pertama, pemerintahan koalisi besar (grand coalition). Kondisi pemerintahan harus dibentuk dari koalisi besar yang mencakup representasi berbagai kelompok masyarakat. Hal ini dibutuhkan untuk memastikan bahwa kepentingan tiap kelompok dapat terakomodir dengan baik.

Kedua, otonomi segmen (segmental autonomy). Harus dipastikan jika setiap kelompok memiliki otonomi sendiri untuk mengurus urusan internal mereka sendiri. Hal ini bisa berupa otonomi budaya, pendidikan, hingga otonomi politik yang termanifestasi dalam bentuk federalisme atau desentralisasi.

Ketiga, proporsionalitas (proportionality). Pelaksanaan sistem pemilu, pendistribusian sumber daya, hingga pengisian jabatan-jabatan publik harus dilakukan secara proporsional dan meritokrit. Hal ini dilakukan demi keadilan representasi semua kelompok.

Keempat, hak veto minoritas (minority veto). Prinsip terakhir ini harus menjadi sebuah konsentrasi tersendiri bagi pemerintah. Bagaimana menjamin veto dari keputusan penting yang berpengaruh pada kepentingan vital kelompok minoritas. Cara ini dilakukan untuk memastikan kepentingan minoritas tidak akan terabaikan.

Indonesia dan Demokrasi Konsosiasional

Lantas, bagaimana memandang sistem politik Indonesia melalui kacamata pendekatan demokrasi konsosiasional selama ini. Satu sisi, Indonesia dilihat sangat relevan untuk dilakukan pendekatan gaya demokrasi konsosiasional sebagai suatu alternatif konstitusional, sebagai langkah meredam dinamika politik yang dihasilkan dari keragaman kelompok masyarakat.

Indonesia sendiri sebenarnya telah melaksanakan beberapa prinsip utama demokrasi konsosiasional. Terbentuknya pemerintahan dari koalisi besar sudah jelas terpenuhi sejauh ini. Mulai dari Pilpres 2019 kala itu dimenangkan oleh Joko Widodo yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIK) dengan total 10 partai di dalamnya. Kemudian Pilpres 2024 yang dimenangkan oleh Prabowo dengan diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) dengan total 10 partai pengusung. 

Selanjutnya, otonomi segmen pun juga dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Mulai dari desentralisasi yang diwujudkan pasca reformasi 1998 melalui UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang mendefinisikan desentralisasi dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Otonomi khusus juga terwujud pada daerah Aceh dan Papua. Provinsi Aceh sendiri memiliki UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memiliki otonomi khusus untuk menerapkan hukum syariah. Sama halnya dengan Papua yang memiliki UU No. 21/2001 tentang kewenangan dalam pemerintahan lokal dan pengelolaan sumber daya alam.

Kemudian ada prinsip proporsionalitas yang juga diejawantahkan dalam pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Dimana jumlah kursi DPR yang dialokasikan dengan proporsional sesuai jumlah suara yang diperoleh partai politik. UU No. 10/2008 juga dapat menjadi contoh implementasi prinsip proporsional dengan menetapkan kuota 30% dari keterwakilan Perempuan dalam pencalonan anggota legislatif.

Setelah tiga prinsip utama sebelumnya, masih sangat disayangkan bila prinsip minority veto belum diakomodir dalam konstitusi. Meski begitu, terdapat budaya hak veto minoritas dengan tidak formal yang biasa diupayakan dalam konsensus dan musyawarah ketika pengambilan keputusan.

Setelah penjabaran relevansi nilai demokrasi konsosiasional di Indonesia yang pada dasarnya telah dilaksanakan melalui amanat konstitusi, bagaimana kabar demokrasi Indonesia sejauh ini. Ada baiknya jangan hanya melihat relevansi tersebut dari kacamata normatifnya. Sebab dampak dalam pelaksanaan pun tak boleh luput dari pembahasan.

Jika dilihat koalisi besar pemerintah justru dinilai publik hanya sebagai satu strategi kuorum dalam pemaksaan perumusan kebijakan dengan minimnya keterlibatan publik. Dimana partai-partai koalisi tersebut seharusnya menjadi wadah representasi kelompok masyarakat Indonesia dalam pemenuhan kepentingan.

Mulai dari polemik RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dianggap publik merugikan namun akhirnya disahkan menjadi UU No. 11/2020 pada 5 Oktober 2020. Kemudian pada polemik revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disahkan juga menjadi UU No. 19 Tahun 2019 tentang revisi UU No. 20 Tahun 2002.

Contoh lain pada polemik yang lahir akibat perwujudan nilai otonomi segmen. Pada jurnal terbitan Oxford Academic dengan judul, “Indonesian Autonomies: Explaining Divergent Self-Government Outcomes in Aceh and Papua” jelas menggambarkan betapa otonomi khusus tersebut justru menghasilkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan.

Papua sebagai daerah otonomi khusus yang menerima sekitar $7,4 miliar sejak tahun 2002 ternyata menimbulkan ketidakpuasan sosial akibat distribusi dana yang tidak merata, serta memicu aksi korupsi besar-besaran dari pejabat setempat. Belum lagi pada ketegangan etnis hingga disparitas pembangunan yang muncul akibat pelaksanaan otonomi khusus.

Dari semua gambaran diatas, tidak mengherankan jika Indonesia harus bertengger pada kategori demokrasi cacat (flawed democracy) dengan skor indeks demokrasi hanya 6,71 menurut laporan Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2022.

Harapan besar tertuju pada Prabowo Subianto sebagai presiden RI terpilih periode 2024-2029. Terlebih konstelasi politik akbar kemarin dimenangkan oleh koalisi besar yang memiliki tanggung jawab tak kalah besar dalam pengakomodiran banyak kepentingan kelompok masyarakat yang sebelumnya dijual habis-habisan demi perolehan suara di akar rumput.

Pengisian jabatan publik juga harus dilakukan secara meritoktratis sesuai prinsip proporsional dalam demokrasi konsosiasional. Rakyat sudah jera melihat pengisian komposisi kabinet yang lebih berorientasi pada kontribusi pemenangan sebelumnya. Akhirnya beberapa musibah menimpa beberapa objek vital Indonesia akibat minimnya kapasitas pemangku kebijakan utamanya.

Prinsip demokrasi konsosiasional berupa hak veto minoritas alangkah baiknya juga dapat dipertimbangkan dalam kacamata konstitusi kita. Betapa penjaminan kepentingan kelompok minoritas dirasa penting terutama dalam pembangunan regulasi yang ramah akan kelompok minoritas Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh Damurrosysyi Mujahidain, S.Pd., M.Ikom.

Damurrosysyi Mujahidain, S.Pd., M.Ikom. adalah Staf Ahli Lingkungan Hidup, MLH PP Muhammadiyah


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Exit mobile version