Ketegangan politik antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Taiwan (Republik Tiongkok) semakin memanas akhir-akhir ini – bahkan turut membuat Amerika Serikat (AS) khawatir akan kemungkinan konflik bersenjata. Apakah mungkin Tiongkok menyerang Taiwan dalam waktu dekat ini?
Tidak pelak lagi, eskalasi ketegangan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Taiwan (Republik Tiongkok) akan mempengaruhi kestabilan keamanan dunia apalagi kalau sampai Tiongkok menyerang Taiwan secara militer. Amerika Serikat (AS), meskipun tidak mempunyai hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan, tidak akan tinggal diam.
Berdasarkan beberapa kesepakatan antara Tiongkok dan AS (communiques) tahun 1972, 1978, dan 1982, serta akta hubungan dengan Taiwan (Taiwan Relation Acts) yang disepakati Kongres, Presiden AS Ronald Reagan memberikan enam jaminan kepada Taiwan, yaitu mengakui satu Tiongkok dengan posisi RRT sebagai pemerintah yang sah dan Taiwan merupakan bagian dari dari Tiongkok meskipun beberapa pejabat AS menafsirkan mengakui bukan berarti menerima, menolak penggunaan senjata dalam menyelesaikan perbedaan (disputes), menjaga dan meneruskan hubungan komersial dan kultural melalui Institut Amerika Taiwan (AIT), berkomitmen untuk tetap menjual senjata perang kepada Taiwan dalam rangka mempertahankan diri, menjaga kemampuan untuk mempertahankan Taiwan meskipun tidak harus melakukan hal demikian. Intinya, AS menginginkan Selat Taiwan yang damai dan stabil.
Tensi di Selat Taiwan meningkat sejak 2016 terpilihnya Tsai Ing-wen sebagai Presiden Taiwan. Berbeda dengan pendahulunya Presiden Ma Ying-jeou yang lebih lunak dan mendorong kerja sama dua sisi Selat, Presiden Tsai menganut garis keras terhadap Beijing. Sementara itu, Beijing juga tidak kendur – bahkan, melalui beberapa tindakan agresif seperti penerbangan pesawat perang di sekitar negara pulau tersebut terlihat bahwa Beijing ingin unjuk gigi.
Beijing mendaku bahwa Taiwan terikat dan harus menghormati kesepakatan yang dikenal sebagai Konsensus 1992, yang disepakati oleh perwakilan dari Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Partai Koumintang (KMT). Kesepakatan ini menimbulkan tafsiran berbeda di antara kedua belah pihak.
Menurut Presiden Tiongkok Xi Jinping, Konsensus 1992 merefleksikan kesepakatan bahwa kedua sisi Selat Taiwan milik Satu Tiongkok dan semua pihak harus berupaya menuju re-unifikasi. Bagi Taipei, yang dimaksud dengan Satu Tiongkok adalah yang berada di bawah Taipei (ROC).
Perlu dicatat bahwa dari awal KMT tidak pernah mencanangkan keinginan untuk merdeka bahkan secara konsisten ingin menjaga hubungan baik dengan Beijing. Akan tetapi, kekalahan KMT dalam Pemilu terakhir kepada Partai DPP (Democratic Progressive Party) yang dipimpin oleh Presiden Tsai mengubah arah angin. Partai DPP tidak pernah menyetujui Konsensus 1992 dan terang-terang menolak tawaran Presiden Xi “Satu Negara – Dua Sistem” ala Hong Kong atau Macau.
Para analis mengkhawatirkan peningkatan kemampuan militer Tiongkok dan ketegasan di bawah kepemimpinan Xi untuk mewujudkan mimpi Tiongkok pada tahun 2049 membuat Beijing menggunakan kekerasan dalam proses re-unifikasi. Dalam laporan Kementerian Pertahanan AS 2020 tercantum kekawatiran akan gerakan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Tiongkok sedang mempersiapkan diri untuk kontingensi unifikasi Taiwan dengan Tiongkok daratan. Akan tetapi, sementara analis yang lain menduga bahwa tindakan militer Tiongkok tidak akan terjadi dalam dekade ini.
Harland Ullman, Ph.D seorang penasihat senior Washington DC menulis dalam artikel Why China wont’ invade Taiwan and Russia won’t invade Ukraine bahwa Tiongkok tidak akan melakukan invasi ke Taiwan. Kemungkinan Tiongkok tidak akan invasi terjawab dari perhitungan sejarah.
Dalam rencana AS tahun 1944 untuk membebaskan Taiwan dari pendudukan 30,000 tentara Jepang, menurut perhitungan tersebut memerlukan dua kali lipat kekuatan militer Operasi Causeway Bay pada masa pendudukan Pantai Normandy yang melibatkan 400.000 marinir dan 4.000 kapal.
Tiongkok, menurut Ullman, belum memiliki kekuatan sebesar itu. Beijing dapat saja menggunakan opsi lain seperti embargo dan lain-lain. Demikian kesimpulannya.
Artikel ini sepakat bahwa Tiongkok belum akan menyerang Taiwan dalam waktu dekat akan tetapi bukan karena alasan perhitungan kekuatan militer. Penulis meminjam pemikiran Immanuel Kant bahwa kedamaian abadi dapat tercapai melalui tiga pilar – salah satunya adalah interdependensi ekonomi.
Kant menulis bahwa negara-negara yang saling ketergantungan secara ekonomi akan berkelakuan lebih damai dari pada negara-negara tanpa ketergantungan ekonomi. Tesis Kant ini apabila diaplikasikan kepada Tiongkok di bawah kepemimpinan Xi yang mengusung kesejahteraan ekonomi pada tingkatan masyarakat, peningkatan kerja sama ekonomi dengan negara-negara lain melalui Belt & Road Initiative (BRI), maka tidak berlebihan untuk menakar bahwa kebangkitan Tiongkok melalui Mimpi Tiongkok (Zhungguo Meng) Xi Jinping, kebangkitan Tiongkok berdasarkan saling ketergantungan ekonomi tidak akan membuat Beijing gegabah mengangkat senjata.
Pada masa pemerintahan Presiden Ma tahun 2008 sampai 2016, terdapat 20 Pakta Kerja Sama Ekonomi dengan Beijing di bawah Cross-Straits Economic Cooperation Framework Agreement, dengan menghilangkan trade barrier kedua negara.
Pada tahun 2020, ekspor Taiwan ke Tiongkok mencapai titik tertinggi. Taiwan adalah produsen chip terbesar di dunia, chip komputer ini diperlukan dari barang konsumen elektronik rumah-tangga, hand-phone, sampai ke peralatan militer. Industri elektronik Tiongkok juga memerlukan chip ini – terbentuk saling ketergantungan ekonomi antara kedua negara.
Meminjam pandangan Kant, kemungkinan RRT menyerang Taiwan dengan kekuatan militer penuh sangat kecil terjadi dalam waktu dekat ini. Akan tetapi, analisa artikel ini bertumpu pada tesis Kant. Bagaimana kalau Immanuel Kant salah?
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.