HomeRuang PublikMenakar Demokrasi Tanpa Partai Politik

Menakar Demokrasi Tanpa Partai Politik


Oleh Muh. Akbar, Mahasiswa Sosiologi Universitas Hasanuddin

PinterPolitik.com

Publik Indonesia per hari ini menaruh rasa ketidakpercayaan pada partai politik (parpol). Survei dari Indikator Politik, misalnya, menunjukkan posisi parpol yang selalu berada paling bawah di antara institut lainnya seperti Polri dan KPK dari tahun ke tahun.

Ditengarai kondisi ini merupakan akumulasi dari berbagai macam pangkal. Mulai dari tingkah pongah para kadernya, cara kerja parpol yang hierarkis dan cenderung feodal, hingga gagalnya parpol menjelma selaku wadah pendidikan politik dan justru menjadi biang kerok dari berbagai fenomena kekerasan politik.  

Senada dengan temuan di atas, para wakil rakyat yang berasal dari parpol dipandang pula memberi kontribusi penuh terhadap pembentukan citra dan trust issue oleh masyarakat.

Tidak jarang kasus-kasus tindak pidana korupsi dan aneka kontroversi lainnya menjerat para wakil rakyat ketika sedang berada di tampuk kekuasaan. Wakil rakyat beserta partai politiknya bertransformasi menjadi musuh masyarakat yang punya segudang penyakit dan tak tahu kapan sembuhnya.

Dengan segala tegangan dan konsekuensi dari masalah yang ada, tidak sedikit yang menyoal alternatif yang mungkin bisa hadir sekaligus menjadi solusi. Seperti, mungkinkah wakil rakyat kita tidak lagi mesti lahir dari rahim sebuah partai politik? Atau, apa saja yang mesti diperhatikan dalam mewujudkan demokrasi tanpa partai politik?

Menyahut Tren Global

Laporan Ellison (2021) berjudul Can we have democracy without political parties menunjukkan tren perkembangan pesat dari praktik demokrasi tanpa partai yang terjadi di belahan benua biru.

Ellison mencatat beberapa negara seperti Irlandia dan Prancis pada titik tertentu justru menyertakan warga sipil dalam konsensus pembuatan regulasi genting yang melibatkan beragam isu krusial, seperti pengurangan gas rumah kaca hingga polemik aborsi.

Menghadirkan warga sipil pada aktivitas sekaliber pembuatan aturan tidak bisa dipandang sebagai upaya pencitraan dan usaha merias wajah demokrasi secara formalitas. Sebab, upaya mengadakan prinsip demokrasi langsung tanpa campur tangan partai politik berujung pada hasil yang manis. Seperti yang terjadi di Prancis.

Baca juga :  Effendi Simbolon: Membelah Laut “Merah”?

Pemerintah Prancis memanggil kurang lebih 150 warga mereka secara acak yang berasal dari kalangan berbeda beda, dari guru hingga pengangguran, untuk bersama merancang upaya adil demi mengurangi gas rumah kaca. Hingga pada bulan Desember 2020, hasil referendum langsung tersebut masuk ke dalam agenda penetapan konstitusi nasional perihal krisis iklim.

Walau, saat setelah hasil dari curah gagasan para warga disepakati konstitusi, tampaknya pemerintah Prancis tak begitu serius menanggapi aturan yang berlaku. Bahkan, laporan Phalnikar (2021) dalam France’s citizen climate assembly: A failed experiment? mengurai respons Presiden Prancis yang justru menuding para warga itu kelewat batas dan keluar tupoksi yang berlaku sebagaimana mestinya.  

Calatayud (2019) mewanti-wanti proses demokrasi tanpa partai atau secara umum dapat kita kategorikan merupakan praktik politik di luar arus utama bisa melemah kapan saja. Untuk itu ia menyarankan setiap alternatif memiliki daya tahan yang teruji.

Amatannya terhadap kasus yang terjadi di Polandia dan Islandia yang kemudian ditulis dalam Politics Without Parties menunjukkan kebangkitan politik akar rumput mestinya diimbangi oleh pengorganisasian kelompok yang bersifat non-partisan dan memiliki visi dan misi sama. Di samping, mereka harus memiliki strategi dan rencana jangka panjang mengingat mereka dalam waktu cepat ataupun lambat akan segera berhadapan dengan segala risiko akibat melawan politik arus utama yang disokong oleh berbagai macam sumber daya.

Mengedepankan kekuatan komunal akan sangat membantu dan agaknya menjadi strategi paling efektif kiwari ini. Melihat kecenderungan praktik demokrasi tanpa partai selama ini masih berpangku tangan dengan gerakan-gerakan akar rumput yang punya keterbatasan. Lain hal ketika upaya alternatif ini berhasil “merebut kekuasaan”.   

Fakta empiris itu dapat ditemui pada sebuah kota kecil yang terletak di negara Venezuela. Di Kota ini, hak berkuasa tidak dipegang oleh pejabat negara maupun partai politik beserta elitenya—sesuatu yang sering didengar di Indonesia sebagai slogan basi—melainkan oleh para warga, yang secara langsung menerapkan apa yang dinamakan demokrasi radikal. Mengembalikan seluruh keputusan dan kontrol penuh pada rakyat biasa sebagai objek sekaligus subjek dalam berdemokrasi.

Baca juga :  Effendi Simbolon: Membelah Laut “Merah”?

Nama kota itu adalah Torres. Dan, uniknya penerapan praktik tersebut sudah ada semenjak tahun 2004. Tentu Kota Torres tidak sekenanya langsung berubah dalam sekian detik, terdapat proses yang melelahkan dan datang dari penjuru arah.

Menukil Bregman (2020) dalam Humankind: A Hopeful History menjelaskan, setelah sekian dekade bertransformasi, Kota Torres telah berhasil menurunkan tingkat korupsi dan klientelisme secara drastis. Sarana publik seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan turut dibangun secara masif, dan yang terutama partisipasi masyarakat dalam kehidupan berada di bawah kendali mereka sendiri.

Apa yang terjadi di Torres dimulai ketika seorang calon wali kota bernama Julio Chávez yang tanpa partai dan bermodalkan dukungan gerakan akar rumput dengan “nekat” mengikuti pemilihan di bulan Oktober tahun 2004.

Rintangan Masa Depan

Mereka yang memilih jalan terhadap demokrasi murni tanpa melibatkan partai politik seperti mewujudkan anggota DPR dari unsur perseorangan bukan lah sesuatu yang mudah. Terdapat banyak tantangan melingkupi upaya yang bakal ditempuh.

Biaya kampanye politik yang menguras miliaran rupiah, kedigdayaan partai politik itu sendiri yang bisa saja menjadi ancaman dikala proposal tanpa partai diajukan, hingga halangan konstitusi negara yang rupanya mengharuskan kandidat wakil rakyat seperti DPR dan Presiden-Wakil Presiden berasal dari partai politik. Sederet rintangan tersebut tentunya menjadi semacam bahan refleksi dan diskusi, sembari berkaca pada tren global dan preseden yang sudah ada di muka bumi ini.   

Usaha untuk mewujudkan hal tersebut bukan lah sebuah kemustahilan. Sebab kita punya bukti sangat kuat bahwa politik dan demokrasi tanpa partai bukan hanya isapan jempol dan omong kosong belaka. Hal tersebut memang ada, sebab tidak ada yang namanya utopia, hanya kita saja yang kurang berimajinasi dan berusaha.

Jadi, apa salahnya mencoba, kan?


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...