HomePolitikMempertanyakan Kebijakan Kartu Pra-kerja Jokowi

Mempertanyakan Kebijakan Kartu Pra-kerja Jokowi

Oleh Yukaristia, Sarjana Pendidikan Akuntasi dari Universitas Negeri Malang

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk memberlakukan kebijakan Kartu Pra-kerja di tengah pandemi virus Corona (Covid-19). Namun, apakah penerapannya bisa berjalan dengan efektif?


PinterPolitik.com

Pandemi telah mengubah segala hal dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, sosial, hingga ekonomi. Kita sendiri bisa melihat bahwa kapitalisme sedang sekarat. Banyak pabrik terpaksa tutup, kegiatan ekonomi mandek.

Martin Suryajaya (2020) dalam tulisannya berjudul Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona menyebutkan bahwa mandeknya kapitalisme terjadi karena beberapa hal. Pertama, de-industrialisasi, yaitu mulai berkurangnya intensitas produksi secara fisik. Hampir setiap industri padat karya mengurangi aktivitas normal mereka dalam memproduksi barang.

Hal tersebut tentu saja membuat pekerja terkena getahnya. Mereka harus mengalami pengurangan jam kerja yang berdampak pada pengurangan gaji, diberhentikan sementara, hingga yang paling buruk mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Kedua, de-finansialisasi, yaitu kegiatan finansial yang normal terjadi di bursa keuangan menjadi menyusut. Banyak orang menarik investasinya karena spekulasi. Banyak dana masyarakat di lembaga keuangan yang diuangkan untuk berjaga-jaga. Hal tersebut tentu membuat kapitalisme finansial juga terhambat.

Ketiga, diskoneksi fisik yang membuat industri jasa tutup. Kita bisa melihat hampir jasa-jasa seperti perhotelan, pariwisata, bioskop, kafe, dan sebagainya harus mati karena pandemi ini. Dampaknya juga dirasakan oleh pemilik modal hingga para pekerja yang terpaksa di-PHK.

Di tengah krisis tersebut, pemerintah Indonesia justru mulai menjalankan kebijakan Kartu Pra-kerja. Masyarakat langsung menyerbunya untuk mendapatkan pelatihan-pelatihan yang sementara ini dialihkan menjadi pelatihan daring.

Kartu Pra-kerja akan memberi penggunanya akses terhadap dana khusus untuk pelatihan yang mereka inginkan di suatu perusahaan jasa yang memiliki core business di bidang training and development. Kartu Pra-kerja yang telah terverifikasi berisi saldo hingga Rp 1 juta yang dapat digunakan untuk membiayai training and development bagi masyarakat yang memang masih belum mendapatkan pekerjaan hingga yang menjadi korban PHK imbas dari pandemi Covid-19.

Sebagian pihak menyebutkan bahwa penerapan kebijakan Kartu Pra-kerja ini bertujuan bagus karena merupakan investasi untuk meningkatkan kualitas diri setiap manusia. Skenario ini sejak awal digagas oleh Jokowi bahwa penerapan pelatihan seharusnya memang secara tatap muka (fisik) sehingga masyarakat bisa melihat dan belajar secara langsung.

Namun, karena pandemi, maka sementara dialihkan secara daring. Untuk argumen Presiden Jokowi tersebut saya relatif setuju, mengingat bahwa keterampilan kerja bagi masyarakat memang sangat diperlukan, terutama pelatihan untuk keterampilan jenis baru dalam era industri 4.0 seperti coding, data analyst, hingga keterampilan-keterampilan penunjang bisnis ekonomi kreatif.

Tetapi, di lain sisi, kita sepakat bahwa kebijakan ini, terlepas dari pemenuhan janji kampanye Jokowi maupun untuk investasi kualitas manusia ke depan, tidaklah tepat bila harus dipaksakan untuk diterapkan dalam kondisi krisis seperti ini. Kita sedang menghadapi kondisi kahar di mana segala aktivitas normal, baik dalam bidang pendidikan, sosial, hingga ekonomi harus terhenti.

Baca juga :  Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kondisi force majeure ini seharusnya dapat ditangani dengan kebijakan-kebijakan manajemen krisis yang lebih relevan dan logis. Bayangkan, kapitalisme yang harus kita akui menjadi tulang punggung perekonomian negara, dan sebagai tempat mencari sesuap nasi bagi pekerja, harus terhenti. Otomatis, secara hitung-hitungan ekonomi, hal ini pasti akan menimbulkan resesi.

Pendapatan masyarakat menurun, bahkan yang paling buruk tidak memperoleh pemasukan secara langsung pasti akan mempengaruhi daya beli. Konsumsi masyarakat pasti menurun drastis karena pandemi ini.

Di saat-saat seperti ini, skenario terburuk bisa saja terjadi. Kita tidak dapat memungkiri bahwa kebutuhan yang tak terpenuhi bisa menyebabkan seseorang terpaksa melakukan tindakan kriminalitas. Kejahatan di tengah pandemi tidak dapat dihindarkan karena dampak derivatif Covid-19 terhadap ekonomi juga sangat signifikan.

Perampokan, pencurian, bahkan pembunuhan bisa terjadi dan tak terhindarkan. Bahkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat angka kriminalitas dalam dua minggu ini meningkat. Kenyataan memprihatinkan lainnya yaitu pasca penerapan kebijakan kontroversial pelepasan narapidana asimilasi, tindakan kriminalitas juga kerap kali dilakukan lagi oleh para narapidana tersebut dalam kondisi kahar ini. Tentu, hal ini menimbulkan kekhawatiran lain bagi masyarakat selain khawatir akan kondisi kesehatan dan perekonomian rumah tangga mereka.

Krisis ekonomi karena pandemi ini seharusnya disikapi secara matang-matang oleh pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang tidak terlalu mendesak seharusnya bisa ditunda dulu.

Selain kritik terhadap pembebasan para napi secara asimilasi, kritik terhadap kebijakan Kartu Pra-kerja ini tidak datang dari tokoh politik saja, tetapi juga dari kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat lebih menyarankan agar pemerintah seharusnya lebih fokus memenuhi kebutuhan pokok melalui Bantuan Langsung Tunai.

Meskipun pemerintah juga telah menerapkan kebijakan bantuan sosial lewat Kartu Sembako, serta merelokasi anggaran beberapa kementerian untuk ditujukan kepada masyarakat, ada baiknya kebijakan Kartu Pra-kerja ditunda lebih dulu hingga keadaan kembali membaik.

Jaminan ekonomi terhadap akses layanan kesehatan dan kebutuhan pangan pokok lebih mendesak. Fokus pemerintah memang seharusnya diarahkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat agar konsumsi tetap stabil.

Kita juga tahu bahwa menjaga daya beli merupakan keniscayaan karena hampir 2,5% lebih pertumbuhan ekonomi Indonesia pada angka lima koma sekian persen disumbang dari sektor konsumsi rumah tangga. Artinya, menjaga perekonomian agar resesi tidak terlalu tajam harus dilakukan dengan memaksimalkan bantuan sosial ekonomi guna mendorong konsumsi.

Jika pemerintah mengajak masyarakat yang mampu secara ekonomi untuk bekerja sama, masyarakat sudah melakukannya. Hampir setiap tokoh publik mengajak masyarakat memberi bantuan sosial yang ditujukan untuk pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) hingga bantuan sembako melalui platform seperti Kitabisa, target miliaran rupiah untuk itu semua mayoritas tercapai. Ini menandakan bahwa masyarakat ingin pemerintah juga fokus dulu untuk menjamin aspek kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat.

Argumen lain yang seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah mengapa Kartu Pra-kerja ditunda lebih dulu adalah karena sistem pelatihan daring ini tidak jelas ukuran efektivitasnya. Ditakutkan, dana triliunan rupiah ini hanya akan terbuang secara tidak efektif.

Baca juga :  Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Begini, bayangkan ketika pelatihan secara daring melalui jasa penyedia layanan training and development ini hanya dilakukan sekali. Artinya, pengguna Kartu Pra-kerja mendapat akses terhadap pelatihan yang berbiaya ratusan ribu, hingga jutaan, melalui sistem pendanaan di kartu tersebut.

Jika kita mengatakan ini bagus, ya memang bagus untuk menambah wawasan dan keterampilan baru. Namun, biaya mahal dan sustainability dari program pelatihan itu justru yang menjadi pertanyaan.

Kita tahu bahwa ternyata banyak materi-materi pelatihan itu bisa dipelajari secara gratis di Google dan Youtube. Hal lainnya yaitu perihal sustainability dari program pelatihan.

Sebagai masyarakat yang pernah magang di salah satu organisasi non profit level internasional yang bergerak dalam bidang pendidikan, saya mempertanyakan bagaimana sistem evaluasi perkembangan pengguna Kartu Pra-kerja dapat dimonitor, hingga bagaimana jaminan pada akses terhadap lowongan pekerjaan benar-benar ada.

Saya ingin menceritakan sedikit tentang bagaimana organisasi yang dulu menjadi tempat saya magang mempunyai tiga sistem bagus yang terintegrasi untuk benar-benar melaksanakan pemerataan kualitas literasi dan kualitas hidup masyarakat yang menggunakan program tersebut.

Jadi, institusi ini memiliki tiga kunci utama dalam pengembangan kualitas manusia, yaitu Educate, Evaluate, dan Employ. Pendekatan Educate yaitu mereka menggunakan aplikasi berbasis Android yang di dalamnya berisi materi pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris meliputi speaking, listening, writing, reading, grammar bagi anak-anak hingga orang dewasa. Bahkan, aplikasi ini dapat diunduh secara gratis di Google PlayStore.

Pendekatan Evaluate yaitu mereka menggunakan platform Learnalytics. Platform tersebut didesain agar pengguna dapat mengamati sejauh mana perkembangan level kemampuan bahasa Inggrisnya. Pengguna juga akan diberi materi tambahan untuk semakin meningkatkan kemampuannya.

Kemudian, pendekatan employ, yaitu mereka menggunakan platform Solve Employment. Pengguna yang telah mencapai level kemampuan tertentu akan mendapat undangan untuk memperoleh kesempatan magang hingga lowongan pekerjaan dengan perusahaan partner.

Berdasarkan tiga sistem yang terintegrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa program peningkatan keterampilan pengguna bisa berjalan efektif. Mereka bisa menikmati materi secara gratis, bisa mengamati perkembangan kemampuan mereka, hingga dalam skenario yang paling bagus adalah mendapat akses terhadap pekerjaan jika mereka telah benar-benar mencapai level requirements yang dibutuhkan.

Kita berharap pemerintah bisa mengevaluasi kembali kebijakan yang telah diterapkan. Kita semua juga berharap bahwa pandemi ini segera berakhir sehingga aktivitas normal bisa kembali berjalan. Doa yang terbaik untuk Indonesia.

Tulisan milik Yukaristia, Sarjana Pendidikan Akuntasi dari Universitas Negeri Malang.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...