Site icon PinterPolitik.com

Mempersoalkan Checks & Balances Indonesia

Mempersoalkan Checks & Balances Indonesia

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR. (Foto: Setneg)

Dalam sebuah demokrasi, lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia sudah seharusnya menjalankan fungsi checks & balances. Namun, fungsi tersebut tak dapat jalan bila ada yang mendominasi. Mengapa?


PinterPolitik.com

Lengsernya Suharto dan berakhirnya rezim Orde Baru memberikan jalan bagi para reformis untuk merubah dan memperbaiki sistem politik Indonesia. Salah satu komponen yang mereka perhatikan adalah pemerintah beserta instrumen-instrumennya.

Pengalaman yang diperoleh pada masa Orde Baru menunjukan bahwa pemerintah dijadikan alat oleh Suharto untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaannya. Di bawah kekuasaannya, lembaga-lembaga pemerintah selain eksekutif seperti DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Mahkamah Agung (MA) terlihat hanya menjalankan perintah yang diberikan oleh jajaran eksekutif termasuk Presiden.

Dominasi lembaga eksekutif terhadap yang lainnya dan ketidakmampuan lembaga-lembaga lainnya untuk mengawasi dan menyeimbangi kekuasaan eksekutif di masa Orde Baru mengkhawatirkan para reformis. Maka dari itu, di rezim Reformasi, mereka memutuskan untuk mengurangi wewenang eksekutif dan mengatur kembali wewenang lembaga legislatif dan yudikatif melalui amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 agar tercipta checks and balancesantarlembaga pemerintah.

Berbicara tentang checks and balances, penulis teringat kepada James Madison. Beliau adalah salah satu orang yang mengembangkan sistem checks and balances di Amerika Serikat (AS) yang pada saat itu baru saja memperoleh kemerdekaannya dari Kerajaan Inggris.

Mengomentari pemerintahan, beliau mengungkapkan bahwa “If men were angels, no government would be necessary. If angels were to govern men, neither external nor internal controls on government would be necessary.” Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa manusia membutuhkan pemerintah karena manusia bukanlah makhluk sempurna yang dapat mengurusi kehidupannya sehari-hari tanpa menghadapi atau menimbulkan masalah. Namun, di saat yang sama, Madison juga mengimplikasikan bahwa ketidaksempurnaan manusia tersebut berpotensi memunculkan pemerintah tirani jika tidak diawasi dengan cermat.

Beliau kemudian juga mengungkapkan bahwa, jika manusia berkehendak untuk merangkai suatu pemerintahan untuk memerintah manusia lain, maka mereka harus memastikan bahwa pemerintahan yang mereka bentuk dapat mengendalikan dirinya sendiri. Hal inilah yang menjadi tujuan penyusunan sistem checks and balances, yaitu, memaksa agar pemerintah dapat mengendalikan dirinya sendiri dalam menjalankan tugasnya sehari-hari.

Madison beserta kolega-kolega seperjuangannnya beranggapan bahwa di dalam negara yang demokratis, kebebasan yang dianugerahi oleh demokrasi dapat dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mencapai tujuan mereka masing-masing secara sepihak. Dikhawatirkan, upaya untuk memenuhi tujuan-tujuan pribadi oleh orang perseorangan atau oleh unit masyarakat lainnya seperti partai politik akan membahayakan kepentingan bersama yang dimiliki oleh banyak orang lainnya, sehingga terjadi tirani.

Kehadiran checks and balances dimaksudkan agar kekuasaan yang dimiliki oleh salah satu lembaga negara tidak menjadi terlalu besar sehingga dapat digunakan oleh segelintir orang untuk mencapai tujuan mereka masing-masing dengan merugikan masyarakat yang lebih luas.

Checks and balances dapat diwujudkan dengan pertama-tama memisahkan dan membedakan cara perolehan legitimasi untuk memperoleh jabatan di masing-masing lembaga pemerintahan. Artinya, masing-masing jabatan di dalam sistem pemerintahan suatu negara, dalam kasus ini AS, harus diperebutkan melalui pemilu yang menggunakan metode pemilihan yang berbeda-beda.

Tujuannya adalah untuk mengurangi potensi terjadinya perebutan kekuasaan lembaga-lembaga pemerintah oleh segelintir orang atau faksi untuk mencapai tujuan mereka secara sepihak. Di tahap yang pertama ini, harus diperhatikan pula bahwa pemilu harus sering diselenggarakan tanpa membahayakan stabilitas pemerintahan dan penyusunan kebijakan jangka panjang.

Contohnya, di AS, sebuah pemilihan umum diadakan setiap dua tahun sekali untuk memilih sepertiga anggota senat. Metode pemilihan umum tersebut dapat mencegah terbentuknya kubu-kubu yang terlalu kuat di antara anggota senat.

Selain itu, dengan mengganti hanya sepertiga dari keseluruhan anggota senat yang sedang menjabat, metode pemilihan tersebut dapat menjamin kesinambungan proses pembuatan kebijakan dan undang-undang. Tidak seperti di Indonesia, mana, anggota DPR dapat merubah PROLEGNAS (Program Legislasi Nasional) setiap kali mereka memulai masa jabatan yang baru dengan mengemban amanat serta tanggung jawab yang bisa saja tidak bersinambung dengan masa sebelumnya.

Kedua, harus dibentuk sebuah sistem yang dapat mencegah penguatan salah satu lembaga pemerintah dengan mengorbankan lembaga yang lain. Artinya, masing-masing lembaga tidak boleh lebih kuat daripada yang lainnya.

Caranya, lembaga-lembaga pemerintah harus ditempatkan di dalam suatu hubungan resiprokal yang sama-sama melemahkan dan sama-sama menguatkan, tergantung situasi dan kondisinya. Cara ini sesuai dengan ide yang dimiliki oleh Montesquieu, yang memerlukan agar kekuasaan dimitigasi dengan menggunakan kekuasaan. Checks and balancesmengharuskan adanya interaksi antarlembaga dalam rangka pelaksanaan pengawasan dan pengimbangan terhadap satu sama lain.

Contohnya, sekali lagi di AS, Presiden. sebagai kepala eksekutif tingkat federal dapat memveto rancangan undang-undang yang dikirimkan oleh kongres selaku lembaga legislatif tingkat federal. Namun, veto tersebut dapat dibatalkan jika Kongres mampu membuat sepertiga anggotanya setuju atas pembatalan tersebut.  

Hubungan timbal balik antara dua lembaga seperti ini juga terjadi di dalam hubungan antara cabang eksekutif dan yudikatif, serta yudikatif dan legislatif. Terlihat bahwa masing-masing lembaga memiliki kekuasaan untuk memengaruhi satu sama lain.

Namun, usaha untuk saling memengaruhi ini tidak dapat dipersepsikan sebagai perampasan kekuasaan dan wewenang antarlembaga, melainkan sebagai usaha suatu lembaga pemerintah untuk mengawasi dan menyeimbangi kebijakan lembaga lainnya yang berpotensi memperlemahnya.

Intinya, checks and balances di dalam tradisi AS sebagai negara modern yang pertama kali mengembangkannya secara komprehensif adalah upaya yang dikerahkan untuk mencegah penggunaan instrumen-instrumen pemerintahan oleh segelintir orang atau faksi untuk mencapai tujuan sepihak mereka dengan mengorbankan tujuan orang banyak. Usaha ini diselenggarakan dengan memecah legitimasi masing-masing lembaga pemerintah dan memberikan kekuasaan kepada masing-masing lembaga tersebut untuk mengawasi dan mengimbangi satu sama lain dalam rangka mencegah penguatan salah satu di antaranya.

Dengan memecah dan membagi legitimasi di antara lembaga-lembaga pemerintah, seseorang atau sekelompok tidak akan mampu menghimpun kekuasaan yang cukup secara akumulatif untuk mencapai tujuannya. Selanjutnya, dengan menempatkan lembaga-lembaga pemerintah dalam hubungan resiprokal yang terlihat saling ‘menyaingi’, maka seseorang atau sekelompok tidak akan mampu memanipulasi dan menggiring salah satu lembaga untuk mencapai tujuannya tanpa mendapati perlawanan yang sengit dari lembaga-lembaga lainnya yang selalu waspada.

Berdasarkan pengalaman penerapannya di AS, penulis menemukan sekurang-kurangnya tiga syarat yang harus dipenuhi untuk memastikan sistem checks and balances bekerja sebagaimana mestinya. Pertama, metode pemilu yang digunakan untuk memilih pemangku jabatan publik di lembaga-lembaga pemerintah harus dibedakan antarlembaga.

Kedua, pemilihan umum harus sering diselenggarakan tanpa membahayakan stabilitas pemerintahan dan penyusunan kebijakan jangka panjang. Terakhir, lembaga-lembaga pemerintahan yaitu, eksekutif, legislatif dan yudikatif harus ditempatkan di dalam suatu hubungan resiprokal yang sama-sama melemahkan dan sama-sama menguatkan, tergantung situasi dan kondisinya.

Kalau begitu, bagaimana penerapan sistem checks and balances di Indonesia? Apakah sudah memenuhi tiga syarat yang sudah disebutkan? Apakah sudah terbentuk suatu sistem pemerintahan yang dapat mencegah penggunaan instrumen-instrumen pemerintahan oleh segelintir orang atau faksi untuk mencapai tujuan sepihak mereka dengan mengorbankan tujuan orang banyak?

Singkatnya, apakah sistem checks and balances sudah dijalankan dengan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah di Indonesia? Penulis akan membahas perkembangan sistem checks and balances di Indonesia terutama dalam hubungannya dengan pemenuhan syarat-syarat untuk melancarkan pelaksanaannya.

Konsep checks and balances adalah suatu hal yang baru dalam sejarah sistem pemerintahan Indonesia. Penyelenggaraan sistem pemerintahan di Indonesia sebelum Era Reformasi sangat didominasi oleh lembaga eksekutif (executive heavy), yaitu, oleh presiden dan pembantu-pembantunya di kabinet dan institusi-institusi fungsionaris negara lainnya. Setelah dipinggirkan dari proses pembuatan undang-undang oleh lembaga eksekutif selama hampir empat dekade, lembaga legislatif menemukan dirinya berada di posisi yang diuntungkan dalam rezim Reformasi.

Pada tahun 1999, PAH (Panitia Ad-Hoc) MPR memutuskan bahwa pembatasan kekuasaan eksekutif (presiden) dan penguatan lembaga legislatif (MPR dan DPR) akan menjadi prioritas dalam mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasca-Orde Baru.

Pembatasan kekuasaan lembaga eksekutif dan penguatan lembaga legislatif diwujudkan oleh MPR di dalam UUD 1945 amandemen pertama. Contohnya, Pasal 20 Ayat 2 pasca-amandemen memuat ketentuan yang menghendaki agar rancangan undang-undang yang diajukan baik oleh Presiden maupun DPR untuk dibahas secara bersama-sama.

Dalam UUD 1945 pra-amandemen, ketentuan tersebut tidak terkandung. Selain itu, Pasal 5 Ayat 1 di dalam UUD 1945 pasca-amandemen mengandung ketentuan menyatakan bahwa Presiden berhak untuk mengajukan rancangan undang-undang. Ketentuan tersebut tidak ada di dalam UUD 1945 praamandemen.

Pasal 5 Ayat 1 di UUD 1945 pra-amandemen memuat ketentuan yang memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk merancang undang-undang dengan persetujuan DPR. Dapat kita lihat, UUD 1945 pascaamandemen mendefinisikan dan mempertegas kewenangan DPR di dalam proses perancangan undang-undang, mana, dahulu kewenangannya hanya sebatas menyetujui RUU yang diajukan oleh Presiden.

Kekuasaan DPR semakin diperkuat ketika MPR menyetujui UUD 1945 amandemen kedua. Di dalam UUD 1945 amandemen kedua, DPR diberikan amanat untuk mengawasi pemerintah dengan menggunakan mekanisme interpelasi, angket dan pernyataan pendapat.

Amandemen UUD 1945 tidak hanya menyasar bidang legislatif, tetapi juga yudikatif. Pasal-pasal yang mengatur kekuasaan dan peran lembaga yudikatif juga disesuaikan dalam rangka membatasi kekuasaan eksekutif.

Di dalam UUD 1945 amandemen pertama, terdapat ketentuan yang mengharuskan Presiden untuk meminta pertimbangan MA sebelum memberikan grasi dan rehabilitasi. Selain itu, lembaga yudikatif juga dijadikan lembaga penyeimbang antara lembaga eksekutif dan legislatif. Ini tercermin dalam mekanisme pengangkatan hakim agung MA dan hakim MK (Mahkamah Konstitusi).

Hakim agung MA diseleksi oleh KY (Komisi Yudisial) dan diajukan kepada DPR sebelum akhirnya diangkat oleh Presiden. Sementara itu, kursi jabatan hakim MK yang berjumlah sembilan orang diisi oleh tiga orang yang diajukan oleh KY, tiga orang yang diajukan oleh DPR, dan tiga orang yang diajukan oleh Presiden. MK selaku lembaga yudikatif juga diberikan wewenang untuk memutuskan perkara antarlembaga pemerintah melalui.

Secara struktural, sudah terdapat perubahan yang signifikan dalam rangka menerapkan sistem checks and balances. Meskipun perubahan yang dilakukan tidaklah sempurna, peralihan dari tatanan pemerintahan yang didominasi oleh lembaga eksekutif menjadi lebih terbagi antara dua lembaga lainnya sudah merupakan hal yang baik.

Di dalam sistem politik pascareformasi yang mewadahi interaksi antarlembaga pemerintah, DPR selaku lembaga legislatif dapat mengawasi pelaksanaan kekuasaan eksekutif oleh lembaga eksekutif. Pengawasan tersebut dilakukan tanpa mengurangi hak lembaga eksekutif untuk mengajukan rancangan undang-undang yang dianggapnya penting.

Namun, dalam perancangan tersebut, lembaga eksekutif tidak dibenarkan untuk bertindak secara sepihak, melainkan harus berkoordinasi dan bekerjasama dengan DPR. Sebaliknya, DPR juga harus bekerjasama dengan lembaga eksekutif ketika merancang suatu undang-undang.

Maka dari itu, terbentuk suatu hubungan resiprokal yang sewaktu-waktu dapat membatasi dan melebihi kekuasaan masing-masing lembaga sesuai dengan situasi dan kondisi politik yang ada. Begitu pun dalam hubungan antara lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif serta yudikatif dan legislatif. Namun, dalam implementasinya belakangan ini, telah terjadi hal-hal yang membuat penulis ragu terhadap kemampuan masing-masing lembaga untuk menerapkan sistem checks and balances.

Pada tanggal 12 Mei 2020, DPR mengesahkan UU Corona. UU Corona ini merupakan kelanjutan legal dari Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang sebelumnya dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Dalam pembahasannya di dalam DPR, UU tersebut disetujui oleh delapan dari sembilan fraksi, mengecualikan fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kekompakan dalam mengesahkan UU tersebut membuat ragu beberapa akademisi terhadap pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR. Prof. M Fauzan, seorang pakar hukum tatanegara, mengungkapkan bahwa UU tersebut dapat dengan mudahnya lolos dari pembahasan di DPR tanpa melewati perdebatan yang sengit.

Selanjutnya, beliau juga menyatakan bahwa salah satu penyebab kekompakan DPR dalam menyetujui UU tersebut adalah, adanya solidaritas yang kuat antara lembaga eksekutif dan kekuatan-kekuatan politik yang ada di DPR. Artinya, terdapat suatu hubungan yang hangat antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif.

Untuk memahami pernyataan Prof. M. Fauzan sebelumnya, kita harus mengetahui komposisi partai-partai di dalam DPR. Pemilu legislatif tahun 2019 menghasilkan sembilan partai pemenang, lima di antaranya merupakan partai pengusung pasangan calon Jokowi-Ma’ruf. Sementara itu, empat partai lainnya mengusung pasangan calon selain Jokowi-Ma’ruf, yaitu pasangan calon Prabowo-Sandi.

Sistem legislatif di Indonesia tidak menyerupai sistem legislatif di negara-negara lain seperti Inggris, yang mengakui dan mengukuhkan keberadaan parlemen oposisi secara formal. Perbedaan dalam pengusungan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden RI dapat dijadikan parameter untuk menentukan partai-partai apa saja yang mendukung atau menentang (oposisi) pemangku jabatan eksekutif.

Poros oposisi di parlemen diperlemah dengan masuknya Prabowo ke dalam kabinet Presiden Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Pasalnya, Prabowo juga memutuskan untuk tidak meletakan jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Hal tersebut secara intrinsik dapat mengurangi kemampuan Partai Gerindra untuk menjadi oposisi yang efektif di DPR.

Selain itu, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat juga menunjukkan itikadnya untuk mendekati poros politik Presiden Jokowi. Hal ini menyisakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai satu-satunya partai oposisi yang memiliki komitmen untuk bertentangan dengan para pemangku jabatan di lembaga eksekutif dan partai-partai pengusungnya di parlemen.

Lemahnya oposisi di dalam parlemen menjadikan pelaksanaan fungsi pengawasan, yang merupakan salah satu komponen penting untuk penyelenggaraan checks and balances, hal yang rumit. Pasalnya, partai-partai yang ditugaskan untuk mengkritik lembaga eksekutif adalah partai-partai yang juga memiliki asosiasi yang erat dengan para pemangku jabatan eksekutif.

Meskipun lembaga legislatif sudah diberikan kekuasaan dan wewenang untuk mengawasi pelaksanaan kekuasaan eksekutif yaitu, merancang undang-undang, yang dalam kasus ini adalah UU Corona, DPR tidak menunjukan itikadnya untuk secara serius membahas dan mengkritik UU tersebut. Singkatnya, DPR tampaknya tidak memiliki political willuntuk memainkan perannya yang diberikan oleh UUD 1945 pascaamandemen, yaitu, sebagai pengawas lembaga eksekutif.

Dalam upaya pemenuhan syarat ketiga checks and balances yang sudah disinggung sebelumnya, yaitu: “lembaga-lembaga pemerintahan harus ditempatkan di dalam suatu hubungan resiprokal yang sama-sama melemahkan dan sama-sama menguatkan, tergantung situasi dan kondisinya”, pemerintah Indonesia pascareformasi sudah membentuk mekanisme dan sistem yang cukup baik untuk menjamin adanya checks and balances antarlembaga. Namun, dalam kenyataannya, sesuai dengan kasus yang sudah dicontohkan sebelumnya, checks and balances antarlembaga sukar diwujudkan karena terjadi komplikasi politik partisan.

Komplikasi politik yang dimaksud adalah terbentuknya semacam hubungan saling menguntungkan antara presiden dan DPR. Maksudnya, parlemen yang komposisinya banyak terdiri dari partai-partai yang mengusung presiden dapat memanfaatkan kedekatannya dengan presiden untuk tetap berada di dalam lingkaran poros kekuasaan politik yang pada saat itu sedang dominan.

Manfaatnya, mereka dapat memperoleh kesempatan untuk ikut serta dalam pembentukan kebijakan dan peraturan pemerintah, serta mendapatkan alokasi jabatan menteri di dalam kabinet sang presiden. Sebaliknya, dalam hubungan saling menguntungkan tersebut, presiden dan anggota kabinetnya dapat berharap pada dukungan dan loyalitas DPR.

Kemampuan checks and balances yang lemah di sisi DPR dan presiden akan sangat menguntungkan siapapun orang atau kelompok yang ingin menghimpun kekuasaan dari kedua lembaga tersebut untuk memajukan agenda nya sepihak. Penghimpunan tersebut, terutama dalam proses pembuatan undang-undang, tidak hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, tetapi juga oleh lembaga legislatif.

Contohnya, ketika DPR mengesahkan UU KPK di tahun 2019. Dalam kasus tersebut, DPR terlihat dapat mengandalkan lembaga eksekutif, yaitu, presiden dan kabinetnya untuk memiliki persepsi dan pandangan yang sama dengannya perihal pembentukan UU KPK.

Ketidakmampuan lembaga-lembaga pemerintah dalam melaksanakan checks and balances tersebut terjadi karena sistem pemilihan umum yang dipakai di Indonesia tidak memberikan efek yang membahayakan kedudukan lembaga legislatif dan eksekutif. Pemilu di Indonesia seolah-olah hanya menjadi agenda rutin untuk memilih anggota legislatif dan pasangan presiden-wakil presiden.

Pemilu di Indonesia tidak seperti di Inggris, mana, pemangku jabatan perdana menteri dan seluruh kabinetnya selalu dibayang-bayangi oleh pemilihan umum awal (snap election) yang dapat terjadi ketika parlemen sudah tidak mendukung keberlangsungan kekuasaan kabinet sang perdana menteri; atau di AS, mana, setiap dua tahun sekali diadakan pemilihan umum untuk mengganti sepertiga anggota senat.

Di kedua negara tersebut, pemilu juga menjadi instrumen checks and balances yang dapat dipakai untuk mencegah penguatan suatu lembaga pemerintah. Dengan acapkali mengadakan pemilu, komposisi pemangku jabatan di lembaga legislatif dan eksekutif akan sering berubah. Sehingga, kemungkinan terbentuknya kubu-kubu yang kohesif dan terlalu kuat di antara para anggota parlemen dapat dikurangi.

Selain itu, hal tersebut juga akan mengurangi kemungkinan terbentuknya hubungan timbal balik yang sama-sama menguntungkan lembaga legislatif dan eksekutif. Publik akan diberikan kesempatan untuk menyuarakan preferensi mereka setelah mengevaluasi kinerja masing-masing pejabat atau partai dalam rentang waktu yang dekat.

Akibatnya, jika seorang anggota legislatif atau suatu partai yang mendukung kekuasaan presiden yang sedang menjabat ditemukan tidak memiliki kinerja yang bagus atau memuaskan, publik dapat memilih anggota atau partai lain untuk menggantikannya.

Indonesia masih belum dapat menyelenggarakan pemilu berkala yang dapat mengancam kedudukan para pemangku jabatan di lembaga legislatif dan eksekutif. Pemilu untuk memilih presiden dan lembaga legislatif diadakan selama lima tahun sekali tanpa adanya pemilu tambahan untuk mengganti sebagian anggota legislatif di dalam periode lima tahun tersebut.

Artinya, Indonesia belum memenuhi syarat kedua yang disebutkan di atas dalam menyelenggarakan sistem checks and balances, yaitu: “pemilihan umum harus sering diselenggarakan tanpa membahayakan stabilitas pemerintahan dan penyusunan kebijakan jangka panjang”. Akibatnya, seperti dalam kasus pengesahan UU Corona dan UU KPK oleh DPR, terbentuk suatu kubu partisan yang cukup kuat untuk membentuk hubungan timbal balik yang menguntungkan antara DPR selaku lembaga legislatif dan presiden beserta kabinetnya selaku lembaga eksekutif.

Dalam kasus Indonesia yang terkini, parlemen yang secara mayoritas dikuasai oleh partai-partai pengusung presiden, karena tidak sering dirombak, tidak dapat menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik dalam rangka menyelenggarakan checks and balances antarlembaga.

Terakhir, Indonesia juga belum dapat memenuhi syarat pertama yang sudah disebutkan sebelumnya, yaitu: “metode pemilu yang digunakan untuk memilih pemangku jabatan publik di lembaga-lembaga pemerintah harus dibedakan antarlembaga”. Di AS, legitimasi seorang presiden dan anggota senat untuk menjabat diperoleh dari sumber yang berbeda.

Presiden AS dipilih oleh dewan pemilih yang terdiri dari individu-individu yang dipilih oleh rakyat. Sementara itu, anggota senat dipilih langsung oleh rakyat tanpa melalui perantara.

Perbedaan tersebut secara efektif membedakan sifat legitimasi yang dipegang oleh pemangku jabatan legislatif dan eksekutif dari sesamanya. Setelah mereka memahami perbedaan sifat dari legitimasi yang diperoleh, dan setelah menyadari bahwa keberlangsungan kekuasaan salah satu dari mereka tidak akan terpengaruh secara signifikan oleh yang lainnya, para pemangku jabatan legislatif dan eksekutif tidak merasakan adanya keharusan untuk mendukung satu sama lain dalam sebuah intrik politik.

Pasalnya, jika Partai Republik mengalami kekalahan dalam kontestasi untuk memperebutkan posisi presiden, mereka masih dapat memperoleh kedudukan yang signifikan di badan legislatif melalui kemenangan para calon anggota senat yang dipilih dengan menggunakan metode pemilihan yang berbeda. Hal tersebut mengurangi kemungkinan terjadinya politik patronase atau hubungan resiprokal yang sama-sama menguntungkan.

Sistem tersebut menempatkan poros kekuasaaan lembaga legislatif dan lembaga eksekutif pada jarak yang sama-sama jauh sehingga pelaksanaan checks and balances di antara keduanya dapat berjalan dengan baik.

Di Indonesia, pemilihan untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif dilakukan secara serentak. Selain itu, pemilihan umum di Indonesia diselenggarakan secara langsung, yaitu, tanpa perantara.

Artinya, semua pemilihan umum untuk memilih pejabat-pejabat publik diselenggarakan secara langsung. Pertama, keserentakan pemilu mengakibatkan banyak pemilih menjadi lebih fokus kepada pemilihan presiden. Kedua, sebagai akibat dari beralihnya fokus pemilih kepada pemilihan presiden, partai-partai yang berkompetisi untuk menguasai parlemen mengkhawatirkan kecenderungan pemilih untuk memilih partai yang mengusung salah satu calon tertentu.

Akibatnya, beberapa partai yang memutuskan untuk memanfaatkan popularitas pasangan calon tertentu untuk memperoleh pembagian kursi di DPR. Hal tersebut dapat menyebabkan terbentuknya hubungan timbal balik yang menguntungkan antara para pemangku jabatan eksekutif dan legislatif.

Di dalam hubungan tersebut, pelaksanaan checks and balances antarlembaga diragukan kemanjurannya. Sebab, para pemangku jabatan legislatif bersama dengan pejabat eksekutif saling membantu satu sama lain untuk memenangi pemilu dan mempertahankan kekausaannya.

Kesimpulannya, pelaksanaan checks and balances antarlembaga pemerintah di Indonesia masih harus diperbaiki lagi. Perubahan struktural melalui amandemen UUD 1945 di awal-awal Era Reformasi belum diikuti dengan perbaikan-perbaikan komponen lainnya yang dapat menyokong penyelenggaraan checks and balances, yaitu, sistem pemilu.

Jika sistem pemilu tidak segera diperbaiki, maka pelaksanaan checks and balances antarlembaga secara riil akan menjadi tidak efektif. Sebab, para pelaku politik yang ingin menggunakan instrumen-instrumen pemerintahan untuk mencapai tujuan-tujuan sepihak mereka masih dapat menghimpun kekuasaaan dengan cara mengikat satu sama lain dalam hubungan resiprokal yang saling menguntungkan.

Tulisan milik Bayu Muhammad Noor Arasy, Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version