HomeRuang PublikMemboikot Omong Kosong Politikus 2024

Memboikot Omong Kosong Politikus 2024

Oleh Al Mukhollis Siagian

Momen Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 – baik pemilihan presiden (Pilpres) maupun pemilihan legislatif (Pileg) – hanya selisih sekitar dua tahun dari sekarang. Namun, partai-partai politik sudah mulai mempersiapkan diri melalui kemungkinan-kemungkinan koalisi. Akankah ini jadi momen terulangnya omong kosong para politisi di tahun 2024?


PinterPolitik.com

Omong kosong ialah seni bersukacita dalam kepalsuan. Maka untuk menyelidiki omong kosong atau tidaknya retoris seseorang, prediktornya adalah negasi dari premis itu sendiri.

Salah satu fenomena paling menonjol dalam demokrasi Indonesia adalah realitas berkebalikan untuk mengesankan politikus berpenampilan heroik bagi publik. Para politikus dikemas seolah-olah peduli dengan nasib bangsa, tetapi tidak pernah diiringi dengan kehadiran pada kebenaran. 

Kebenaran dalam konteks state nation sendiri adalah tindakan-tindakan yang terpatri dari konstitusi (UUD 1945) dengan tolak ukur prinsip-prinsip konstitusional.

Kondisi tersebut diiringi dengan institusi politik Tanah Air yang tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Politikus mengecewakan publik dengan janji yang tidak mereka tepati.

Pilar-pilar demokrasi pun bekerja dengan volatilitas degradatif moral dan ambiguitas tata kelola. Tindakan mereka secara birahi-dominasi telah menciptakan jarak yang jauh untuk mencapai tujuan-tujuan Negara.

Mengacu pada maraknya politikus manipulatif dan subversi kebenaran itu, penulis berpikir lebih layak kiranya untuk disebut sebagai pegiat omong kosong daripada pembohong seperti kritikan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia “The King of Lip Service”. 

Kelindan politikus di alam demokrasi dengan nilai ketidakjelasan dan makna yang bersilangan telah mengaburkan prinsip konstitusional dan mempertebal tabir birahi terkait tujuan sepihak melalui kemasan.

Omong kosong politikus hadir dengan membawa tawaran kepada publik semacam pembaharuan dari kemandekan. Namun, ihwal yang tersirat mengenai sifatnya bahwa isi yang disampaikan (dengan semangat omong kosong) tidaklah untuk diwujudkan.

Meskipun berbeda konteks dengan “berbohong” yang nampaknya membawa harapan bagi publik, namun keduanya tetaplah mencerminkan mode representasi manipulatif. Dan perlu ditekankan bahwa omong kosong tidak hanya dalam ucapan, melainkan sampai kepada tindakan yang berkebalikan.

Hingga saat ini, sebagian besar dari publik masih cenderung menerima situasi demikian begitu saja. Mungkin salah satu faktornya dipengaruhi oleh pemahaman publik mengenai omong kosong belum mendapatkan posisi yang sama, atau bahkan lebih buruk dari berbohong.

Di sisi lain, beberapa dari kaum terdidik cukup percaya diri dengan kemampuan mereka untuk mengenali omong kosong lalu menghindarinya. Namun, banyak juga terperangkap di kemudian hari sehingga fenomena ini tidak menimbulkan banyak penyelidikan berkelanjutan oleh publik

Konsekuensinya, hingga saat ini omong kosong masih sering menjadi produksi dialektika para politikus, bahkan semakin buruk. Pembicaraan retoris para politikus penggiat omong kosong memiliki kapasitas untuk membentuk serangkaian masalah. Lebih luas lagi, untuk membangun realitas yang mengamankan posisi mereka (kekayaan dan ketenaran kelompok serta keturunannya) dengan cara-cara yang menggiurkan.

Begitu juga dengan institusi politik yang dapat terlihat kurang mengeksplorasi ide-ide sebagai latar belakang perdebatan politik untuk menciptakan premis intersubjektif luas yang mendefinisikan ruang lingkup secara filosofis-ideologis hingga tataran teknis untuk perwujudan nilai proporsional secara state nation.

Hal itu demi wacana komunikatif dan retorika politik yang bukan hanya sekadar epifenomena, tetapi sebagai peluang pembentuk realitas sosial yang benar-benar membawa pada arah kemajuan.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Salah satu teka-teki paling menarik yang muncul akhir-akhir ini adalah pertanyaan tentang bagaimana “ide baik bermutasi dengan tindakan buruk” dan terjebak dalam proses kebijakan jangka panjang.

Di sini-lah konsep omong kosong memiliki kegunaan, yakni untuk mengurai realitas berkebalikan tentang problematika publik yang mudah disangkal dengan menarik arsip pengetahuan otoritatif.

Contoh yang menonjol adalah tindakan para politikus di tingkat daerah ketika mendatangi publik dengan serangkain visi, misi, dan tawaran program “seolah-olah menyejahterakan”.

Itu terpampang jelas dalam baliho di setiap persimpangan jalan, media sosial, dan bahkan serangan fajar money politics di hari-H pemungutan suara. Kemudian, rakyat mendapati mereka melakukan korupsi.

Sejak tahun 2004 hingga 2021, Indonesia sudah mengantongi 167 eksekutif daerah (terdiri dari 22 gubernur dan 145 bupati/wali kota) yang terjerat proses hukum di KPK. Pada tataran legislatif daerah juga begitu marak, misalnya, KPK telah menetapkan 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka dugaan suap pada tahun 2018. Ada pula temuan teranyar bahwa sepanjang tahun 2021 terdapat 30 tersangka korupsi dari kalangan anggota DPR/DPRD.

Tak hanya itu, kondisi elite eksekutif di tingkat pusat juga tidak kalah menohok. Sudah banyak menteri yang tersandung kasus rasuah di KPK pasca Orde Baru, di antaranya Siti Fadillah Supari (Menteri Kesehatan 2004-2009 dan 2010-2014), Andi Mallarangeng (Menteri Pemuda dan Olahraga 2009-2012), Suryadharma Ali (Menteri Agama 2009-2014), Jero Wacik (Menteri ESDM 2011-2014) Idrus Marham (Menteri Sosial 2018), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga 2014-2019), Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan 2019-2020), Juliari P Batubara (Menteri Sosial 2019-2020) dan lainnya.

Sementara itu, di Parlemen Senayan, dapat terlihat dari sejumlah pimpinan DPR RI yang terjerat korupsi. Mereka di antaranya ada Azis Syamsuddin, Setya Novanto, dan Taufik Kurniawan serta 22 anggota DPR lainnya sepanjang kurun waktu 2014 sampai 2019.

Data di atas merupakan fakta dari perpolitikan dan demokrasi di Indonesia. Tapi tampaknya omong kosong masih begitu laris, sehingga sangat memungkinkan bahwa menghadapi omong kosong dengan “fakta” tidak mungkin menjadi strategi argumentatif.

Singkatnya, inilah yang membuat omong kosong jauh lebih berbahaya dan merusak secara sistematis daripada berbohong. Maka, publik perlu mengetahui mekanisme di mana omong kosong dapat diverifikasi menjadi dasar dari politikus yang telah meningkatkan akses publik ke gagasan yang tidak dapat diandalkan.

Dalam ruang politik, kebenaran manifesto ideologis biasanya diperebutkan, lalu dibangun secara filosofis, dan tunduk pada strategi teknis-sosiologis. Artinya, politikus penggiat omong kosong berpotensi hadir secara dominan dalam formasi politik demokrasi karena tidak memahami kerangka ideal tersebut.

Suburnya omong kosong itu dapat dijelaskan dari dua fenomena. Pertama, disebabkan terkikisnya hubungan kontekstual antara kebenaran faktual dan rasional. Kedua, melemahnya prasyarat institusional dari praktik politik konstitusional.

Baca juga :  2029 "Kiamat" Partai Berbasis Islam? 

Salah satu ahli yang fokus pada pembahasan omong kosong adalah Frankfurt. Pada tahun 2005, dia menyatakan bahwa omong kosong tidak dapat dihindari setiap kali keadaan mengharuskan seseorang untuk berbicara tanpa mengetahui apa yang dia bicarakan.

Dengan demikian, produksi omong kosong dirangsang setiap kali seseorang berbicara tentang beberapa topik melebihi pengetahuannya tentang fakta-fakta yang relevan dengan topik itu sendiri.

Pemilih ditempatkan tepat dalam situasi ini, saat mereka disuguhkan alternatif gagasan tentang hal-hal kompleks yang mereka pahami dengan buruk, di bawah batasan waktu yang tidak masuk akal, dan tanpa konsekuensi kesalahan yang terlihat. Tak heran, pandangan politik dari pemilih turut dan cenderung diliputi omong kosong.

Menurunnya intellectual capital dan social capital para politikus Indonesia untuk mengarusutamakan nilai-nilai konstitusional (UUD 1945) dan philosophische grondslag (Pancasila), telah membuka pintu lebar bagi kewacanaan di mana koherensi tujuan nasional dan kepalsuan empiris semakin tidak ada.

Hal tersebut mendorong keberhasilan omong kosong politik dalam dua cara utama. Pertama, kesia-siaan mendukung partai politik (parpol) yang tujuannya bukan lagi untuk mengelola negara atas kepentingan masyarakat luas, melainkan untuk memajukan karier politik para elit, melemahkan hubungan antara pemilih, aktivis, dan kaum terdidik. 

Hal itu berakibat pada mesin partai yang menjadi semakin jauh dari kepentingan yang mereka wakili dan enggan untuk mengekspresikan posisi kebijakan yang dapat diidentifikasi secara jelas.

Kedua, ketika keputusan kebijakan utama didorong oleh alasan teknokratis atau dibatasi oleh tekanan pasar ekonomis, hasil untuk mengembangkan kebijakan pro rakyat semakin berkurang. 

Problematika omong kosong politikus tidak berada dalam dimensi historis, melainkan masih berlangsung hingga saat ini. Maka, ada kemungkinan bahwa pada Pemilu 2024, publik Indonesia akan tetap berhadapan dengan politikus omong kosong.

Tendensi itu dikarenakan pesta demokrasi di tahun 2024 merupakan agenda terbesar sepanjang sejarah bangsa. Pemilihan eksekutif serta legislatif tingkat pusat dan daerah terjadi di tahun yang sama.

Sementara itu, para politikus yang akan mendatangi publik seolah masih belum menunjukkan perubahan lebih baik bagi kemajuan, plus untuk keluar dari kemandekan. Oleh karena itu, publik harus memboikot secara tegas dan terang-terangan politikus yang tidak layak untuk dipilih.

Sebagaimana data dan analisa di atas, omong kosong politikus dari tindakan berkebalikan seperti korupsi adalah bukti paling kasar yang dapat diamati. Sedangkan bukti halusnya, secara abstraksi harus dikembalikan pada penilaian kandidat berdasarkan intellectual capital dan social capital dalam koridor konstitusional.

Berani mengatakan tidak pada politikus omong kosong adalah suatu kemajuan dari perpolitikan bangsa ini. Bangsa Indonesia membutuhkan para pemimpin dan wakil rakyat yang memiliki kemampuan memformulasikan gagasan secara ideo-filosofis menuju perwujudan sosio-teknis dalam menjawab permasalahan publik.



Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...