Budaya asing dinilai kerap mengancam budaya lokal masyarakat. Lantas, bagaimana caranya suatu masyarakat dapat membentuk pertahanan kultural terhadap budaya asing?
Dalam diskusi di warung kopi, tiba-tiba seseorang menanyakan hal ihwal tentang tantangan Indonesia dalam 10 atau 30 tahun ke depan. Seperti apa dan apa mungkin kita masih berwajah ke-Indonesia-an atau akan terjadi penggusuran budaya secara halus?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu penyejukan hati dan pikiran – sesekali menyeruput kopi untuk menemukan jawabannya. Ada dua kemungkinan: kita dapat meleburkan budaya asing masuk ke sendi-sendi kehidupan kita dengan memainkan peran utama untuk menekan pengaruh dari luar atau, mungkin, kebiasaan asing yang justru menyeret kita mau tidak mau suka tidak suka untuk ikut serta mengampayekan budayanya.
Dalam konteks masyarakat, sebenarnya kita telah memiliki slogan “gotong royong” sebagai kata pemersatu. Kata tersebut sudah menjadi energi bahkan kekuatan spiritual dalam masyarakat.
Hubungan satu dengan yang lain dieratkan melalui jalan musyawarah yang menghasilkan suatu kesepakatan sehingga, pada titik ini, kebiasaan masyarakat kita telah terbangun relasi kekeluargaan dengan cara yang cukup sederhana, membelakangi egois, dan mendahulukan kebersamaan.
Paul B. Horton mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kelompok yang terbentuk dari individu-individu mandiri menempati wilayah yang cukup lama yang kemudian menciptakan budaya dari bermacam-macam interaksi di dalam masyarakat tersebut. Kekuatan pada masyarakat tercipta dari relasi-relasi yang mencolok seperti tergabungnya dalam berbagai kegiatan yang bersifat komunal dengan pendekatan budaya setempat.
Seberapa lama budaya masyarakat kita dapat bertahan dari gelombang kencang budaya asing? Jawabannya bergantung pada kita memahami budaya itu sendiri serta melakukan penyortiran terhadap potensi dan konsekuensi budaya lokal.
Budaya lahir dari akal pikiran yang kemudian akan membentuk pola tingkah laku masyarakat sehingga muncul suatu kebiasaan dan kemudian menghasilkan karya, cipta dan rasa. Karya dari sebuah budaya tercipta oleh kemampuan fisik manusia untuk menghadirkan suatu kemudahan berupa alat untuk menguasai alam kemudian dipersembahkan untuk kebutuhan manusia dari hasil buah pikir (material culture). Cipta dan rasa diciptakan melalui filsafat dan ilmu pengetahuan – Ia dilandasi pada mental dan jalan pikir (spiritual culture).
Budaya asing masuk ke Indonesia melalui jalan pembangunan dan globalisasi. Dalam tahapan-tahapan tertentu, negara belum dapat membendung laju budaya yang satu paket dengan bantuan pembangunan. Akhirnya, ancaman budaya lokal nyaris lumpuh di kalangan milenial – mati di kehidupan nyata dan lari dikejar waktu.
Tingginya minat kehidupan ala Barat mengundang keinginan masyarakat kita untuk menyontek mulai dari hidangan makanan sampai berbahasa asing. Tidak salah memang menggunakan bahasa asing sebagai serapan bahasa lokal karena teknologi yang kita gunakan sampai saat ini menggunakan teks bahasa asing di buku pedoman teknologi tersebut. Namun, banjirnya produk asing akan secara perlahan membumikan budaya asing menggantikan hasil karya masyarakat lokal secara sadar atau tidak sadar sekalipun.
Kebiasaan menyontek apa pun yang dibawa dari luar – apalagi sesuatu yang paradoks dengan kebiasaan masyarakat kita, esensinya adalah “pembantaian budaya” (cultural genocide) secara halus dengan menggunakan senjata informasi teknologi serta amunisi bermerek gaya hidup lewat media sosial. Senjata dan amunisi tidak menampakkan diri sebagai musuh nyata tetapi menghipnotis kekuatan yang selama ini terbangun dalam masyarakat dengan semangat gotong royongnya.
Untuk merekonstruksi pertahanan dari gelombang budaya yang masif perlu adanya pemahaman secara fundamental dan bersifat solutif. Hal pertama yang harus dibangun adalah tingkat kesadaran masyarakat yang mulai menipis tentang budayanya sendiri dimulai dari hal-hal sederhana mulai pada tingkat dini hingga tua, misalnya membangun silaturahmi serta pertemuan-pertemuan yang berangkat dari adat istiadat setempat meskipun dimensinya luas hingga aspek spiritualitas.
Beragam budaya memiliki filosofi yang berbeda mengingat puluhan ribu budaya lahir di satu negara. Meskipun demikian, warisan dari nenek moyang yang telah lama diajarkan, sedikit telah ditinggalkan seiring perkembangan zaman yang serba canggih, instan dan lama-kelamaan menjadi kebiasaan.
Perlu adanya pendidikan dari sejak lahir untuk menahan gelombang deras pengaruh luar. Sayangnya, pendidikan formal kita terlalu berorientasi pada profit yang didesain para predator pemodal sehingga makna pendidikan dan para lulusannya mengekor ke industri kekinian dan meninggalkan makna sejati dari pendidikan. Sulit rasanya mendobrak kekuatan modal, tetapi saya yakin semangat gotong royong masih terus disemai di lingkungan menengah kebawah.
Jika semangat itu sudah ada, lalu, apa yang pantas menjadi benteng pertahanan kita untuk menghadapi gempuran Westernisasi? Jawabannya adalah modal sosial. Modal ini yang membawa bangsa ini merebut kemerdekaan dari kolonialis, mengangkat derajat bangsa dari keterpurukan, dan membakar gelora semangat juang.
Dengan budaya musyawarah mufakat terus digelar tanpa embel-embel demokrasi adalah modal inti dari kelahiran bangsa ini yang termanifestasikan lewat sila keempat dalam Pancasila.
Karena demokrasi yang selama ini kita pakai selain produk asing juga merupakan demokrasi yang semu dalam praktik, menciptakan multi-partai dan faksi-faksi yang cenderung egois serta sistem pemilihan umum yang cacat – di mana suara terbanyak sebagai pemenang bukan hasil dari kesepakatan para ahli yang mumpuni melalui musyawarah mufakat.
Jadi, berapa lama lagi budaya kita akan terus bertahan dari ombak gelombang westernisasi yang agresif? Bergantung tingkat kesadaran masyarakatnya, jika dipahami bahwa masyarakat kita didewasakan melalui jalur musyawarah sesuai kodrat bangsa ini selama itu pula bangsa ini dapat menyortir mana yang baik dan buruk untuk kemajuan negara.
Jika musyawarah sebagai benteng pertahanan, lalu, apa pelurunya? Anak-anak milenial, mahasiswa, serta kelompok-kelompok yang bersedia melakukan perombakan melalui jalur pendidikan baik formal maupun informal dengan menjadikan diskusi sebagai lahan basah untuk mencapai perubahan.
Tulisan milik Ade Novianto, Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Satya Negara Indonesia.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.