HomeRuang PublikMemahami Rumitnya Regionalisme Asia Timur

Memahami Rumitnya Regionalisme Asia Timur


Oleh: Adrian Aulia Rahman

PinterPolitik.com

Memasuki abad ke 21, konfigurasi politik dunia sedikit besarnya mengalami perubahan, terlebih dengan kebangkitan Asia yang tak terelakkan. Dalam bukunya yang berjudul Asia Hemisfer Baru Dunia, Kishore Mahbubani menerangkan ada tiga kemungkinan jalannya sejarah berikut dinamikanya, dalam membentuk konfigurasi politik dunia, terlebih Pasca Perang Dingin. 

Pertama, March to modernity. Perjalanan menuju modernitas ini merupakan salah satu dari tiga kemungkinan dinamika global abad 21 menurut Mahbubani. Prospek pertama ini menerangkan atau bisa juga disebut meramalkan, bagaimana negara-negara Asia (non-Barat) akan semakin mudah mengakses modernitas. March to modernity ini termanifestasi dalam keyakinan dan realita bahwa Asia akan menjadi pemeran utama politik dunia abad 21. 

Kedua, the Retreat into Fortresses (kembali ke benteng). Prospek kedua ini merupakan sebuah upaya pembatalan, atau penulis lebih meyakini upaya pencegahan, terjadinya prospek yang pertama tentang kebangkitan Asia menuju modernitas. 

Negara yang merasa keberatan akan terjadinya kebangkitan Asia tiada lain adalah negara-negara Barat, yang ingin selalu menggenggam status quo. Prospek ini, demikian papar Mahbubani, dapat sedikitnya terlihat dalam upaya-upaya proteksionisme dalam relasi ekonomi global. 

Ketiga, Triumfalisme Barat. Prospek tentang Triumfalisme Barat atau kejayaan Barat ini sempat mendapatkan angin segar pasca runtuhnya Uni Soviet dan usainya Perang Dingin. Francis Fukuyama menambah optimisme Barat dengan esai fenomenalnya yang berjudul The End of History, yang seakan mengkonfirmasi kemenangan mutlak kapitalisme dan demokrasi liberal barat. Namun kebangkitan Asia yang tak bisa dibendung serta deklinisme Barat, membatalkan prospek triumfalisme Barat ini. 

Dari tiga kemungkinan dinamika politik dunia abad ke 21 menurut Kishore Mahbubani yang telah dipaparkan, prospek paling realistis adalah kebangkitan Asia yang sedang melangkah menuju modernitas (March to Modernity). 

Tidak heran apabila muncul istilah bahwa Abad ke 21 adalah milik Asia. Asia akan menjadi pemain kunci dalam dinamika politik dunia, serta menjadi magnet bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendekat ke pusat dunia baru ini.  

Salah satu kawasan krusial di Asia yang sangat menonjol adalah Asia Timur. Asia Timur menjadi penggerak modernisasi Asia, yang tentu saja dimulai oleh Jepang sejak abad 19, diikuti oleh Korea, hingga bangkitnya sang Naga Asia, tiada lain adalah China. 

Menariknya, dinamika dan relasi geopolitik yang terjalin di Asia Timur, selalu melibatkan Amerika Serikat sebagai negara yang berkepentingan di kawasan ini.  

Tulisan ini akan mengetengahkan bagaimana Amerika Serikat terlibat di kawasan Asia Timur pada abad 21, mulai dari kebijakan pivot to Asia Presiden Obama, hingga perkembangan paling mutakhir yaitu diselenggarakannya KTT Camp David antara Amerika, Jepang, dan Korea Selatan. Serta diperlukannya suatu regionalisme Asia Timur untuk stabilitas kawasan itu. 

AS di Asia Timur: Sebuah Komitmen yang Langgeng 

Tahun 1853 mungkin menjadi awal mula keterlibatan Amerika Serikat di Asia Timur. Tahun 1853 tersebut, seorang perwira Angkatan laut Amerika Serikat bernama Matthew Calbraith Perry, yang kemudian lazim disebut Komodor Perry, tiba di Jepang. 

Kedatangan Komodor Perry tersebut merupakan upaya AS untuk membuka akses perdagangan Jepang dan mendobrak pintu tebal isolasionisme dan ekonomi autarki Kekaisaran Jepang.  

Jepang memasuki periode westernisasi, terutama sejak dicetuskannya Restorasi Meiji 1868. Bahkan Jepang dalam waktu yang cukup lama mengalami krisis identitas, terkait dengan ambisinya sebagai negara non-Barat yang ingin menjadi ‘masyarakat beradab Barat’. 

Dalam hal ini, Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang berperan besar dalam proses modernisasi Jepang.  

Di abad ke 20, kendati sempat menjadi musuh sengit dalam Perang Dunia II, Amerika Serikat sangat berperan dalam merekonstruksi Jepang pasca perang. Pasca perang dan pasca terbentuknya tatanan global 1945, Amerika meningkatkan komitmennya di Asia Timur baik secara politik, ekonomi, maupun militer.  

Selain Jepang, Korea Selatan yang belakangan menjadi salah satu macan Asia, juga memiliki hubungan erat dengan Amerika. Hubungan erat dan kuatnya komitmen AS terhadap Korea dimulai terutama pasca meletusnya perang di Semenanjung Korea tahun 1950. 

Komitmen Harry S. Truman juga Menlu Dean Acheson terhadap perjuangan Korsel melawan agresi komunisme dari Utara menancapkan basis dominasi AS di Korea Selatan (Republic of Korea/ RoK).  

Perang Dingin menjadi salah satu sebab terkuat komitmen AS kepada dua negara Asia Timur tersebut. Lantas bagaimana pada saat dunia menyaksikan runtuhnya Uni Soviet dan usainya Perang Dingin, apakah komitmen AS di Asia Timur akan berkurang, atau paling drastis apakah AS akan mengikuti langkah Inggris pada dekade 1960-an, dengan menarik diri dari Asia Tenggara? Jawabannya ternyata tidak. 

Hal ini dapat dilihat pada masa pemerintahan Obama, dimana sang presiden mencetuskan kebijakan yang dikenal dengan Pivot to Asia. Kendati kebijakan ini merupakan kebijakan yang lebih inklusif mencakup seluruh kawasan Asia, namun Asia Timur tetap menempati posisi yang spesial.  

Dalam tulisannya yang berjudul What Exactly Does It Mean That the U.S. Is Pivoting to Asia? yang dipublikasikan di The Atlantic, Matt Schiavenza menuangkan pandangan dan analisisnya mengenai kebijakan Pivot to Asia Presiden Obama. 

Menurutnya, kebijakan ini merupakan sebuah langkah strategis untuk me-re-orientasi kebijakan luar negeri AS, setelah di era sebelumnya lebih difokuskan pada belahan bumi Barat dan Timur Tengah, terutama pada masa pemerintahan George W. Bush.  

Langkah ini merupakan sebuah strategi geopolitik dan geostrategis AS untuk menjawab tantangan dari dinamika politik dunia abad 21 yang condong pada pesatnya pertumbuhan Asia, sebagaimana prospek March to Modernity Kishore Mahbubani. 

Schiavenza juga menerangkan bahwa langkah politik Obama ini juga dimaksudkan untuk mengimbangi kekuatan China yang sedang bangkit-bangkitnya. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa komitmen politik AS di Asia Timur semakin menguat. 

Diselenggarakannya KTT Camp David antara AS, Jepang, dan Korsel baru-baru ini, tepatnya pada 19 Agustus 2023, menjadi bukti yang memperkuat komitmen AS di Asia Timur. 

Joe Biden, yang merupakan mantan wakil presiden Obama yang kini menjadi Presiden, tidak jauh berbeda kebijakannya dengan Obama terkait dengan komitmennya di Asia Timur. 

Pertemuan ketiga negara ini sudah bisa ditebak arahnya. Isu yang dibahas tidak akan jauh-jauh dari ancaman China. Ketiga negara sepakat dan sepaham untuk ‘waspada’ akan ancaman China, terlebih atas klaimnya terhadap Laut China Selatan (LCS). Ketiga negara sepakat untuk memperkuat kerjasama militer untuk menghadapi tantangan-tantangan di kawasan. 

Bahkan sebagian pihak mengatakan pertemuan ini merupakan sebuah upaya menciptakan NATO di Asia Timur. Dapat disimpulkan, paling tidak sampai saat ini, Amerika memiliki komitmen yang langgeng terhadap Asia Timur.  

Perlunya Regionalisme Asia Timur 

Asia di Abad 21, selain menjadi pusat kebangitan dan pertumbuhan, juga menjadi medan konfrontasi para adidaya dunia. Amerika dan China menjadi aktor utama. 

Perebutan pengaruh di Asia dan Pasifik menjadi krusial dalam konstelasi politik dunia Abad 21. Tidak heran apabila Amerika berusaha mengubah orientasi kebijakan politik luar negerinya pada Abad 21, terutama pasca George W. Bush, ke kawasan Asia. 

KTT Camp David yang baru terlaksana menjadi bukti yang nyata. Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, dan Presiden Korea Yoon Suk Yeol bertemu dalam KTT tersebut. Fokus bahasan dalam pertemuan itu adalah menyangkut keamanan kawasan, termasuk ancaman China dan kerjasama militer antar ketiga negara. 

Pertemuan ini menurut penulis mengindikasikan bahwa, selain relasi ekonomi yang sudah lama terjalin, keterikatan politis dan militer antara Amerika, Jepang, dan Korea, berusaha diperkuat dengan diselenggarakannya KTT Camp David tersebut. 

Terjadi persaingan militer yang tak terelakkan antara AS, Korea, dan Jepang di lain pihak, serta China dan Korea Utara di pihak lain. Hemat penulis, kendati bertujuan untuk meningkatkan keamanan kawasan, KTT tersebut justru akan semakin membuat kawasan Asia Timur menjadi tidak stabil dan dilingkupi curiga.  

Persekutuan abadi antara AS-Jepang-Korea Selatan, akan seiring sejalan juga dengan konfrontasi abadinya dengan China dan Korea Utara. Media Korea Utara, KCNA (Korean Central News Agency), menerangkan bahwa apabila terjadi latihan perang antara AS-Jepang-Korea Selatan, sebagai tindak lanjut dari KTT Camp David, maka pecahnya perang nuklir akan semakin potensial.  

Menurut penulis, problem utamanya adalah rasa saling curiga yang tak berkesudahan antara negara-negara Asia Timur sendiri, yang kemudian dimanfaatkan AS untuk memperkuat basis politis dan strategisnya. 

Bahkan sampai saat ini, prospek mengenai ‘pelepasan diri’ Jepang dan Korea Selatan dari dominasi AS, masih menjadi sesuatu yang cukup mustahil.  

Oleh karena itu, jika keamanan kawasan dan kerjasama konstruktif menjadi orientasi utama dalam dinamika politik Asia Timur, penulis berpendapat cara yang paling ampuh adalah membangun regionalisme Asia Timur yang independen. Untuk mencapainya, bisa dilakukan beberapa cara. 

Pertama, mengganti paradigma ideologis dengan paradigma pragmatis. Konfrontasi di Asia Timur besar sekali dipengaruhi oleh tatanan dunia saat Perang Dingin. 

Paradigma ideologis yang mengekang akan membuat jalinan relasi politik di kawasan ini menjadi tidak fleksibel karena dihambat oleh terjadinya ideologisasi kebijakan yang mengekang. 

Padahal, untuk menghadapi dunia yang serba berubah ini, fleksibilitas dan pragmatisme politik sangat diperlukan untuk mengamankan kepentingan nasional. Jepang dan Korea Selatan, begitupun China dan Korea Utara, sudah semestinya menyingkirkan rasa saling curiga secara politik warisan dari Perang Dingin. 

Keempat negara ini perlu membangun suatu kerjasama konstruktif dan berorientasi pada kepentingan nasional dan stabilitas kawasan. Diplomasi, dan bukannya konfrontasi, menjadi kunci mencapainya. 

Kedua, mengurangi pengaruh AS di kawasan. Kita sama-sama paham dan tahu bahwa AS sangat berkepentingan di Asia. Dan salah satu basis politik terkuat AS di Asia adalah di kawasan Asia Timur, dengan Jepang dan Korsel sebagai sekutu utamanya. Intervensi AS di Asia Timur perlu dievaluasi secara kritis, tentu oleh para aktor yang terlibat.  

Apakah masih diperlukan peran serta AS yang begitu besar dalam menjamin keamanan Asia Timur, terlebih dengan upayanya untuk membangun semacam aliansi militer baru di kawasan ini. Jepang dan Korea Selatan sendiri perlu meninjau ulang kembali kerjasama keamanannya dengan AS, yang bukannya akan menjamin keamanan, justru akan membangkitakan kemarahan dari China dan Korea Utara, dan menimbulkan ketidakstabilan kawasan. 

Dengan berkurangnya pengaruh dan intervensi AS di kawasan ini, suatu kerjasama solid dan relasi saling menghormati kiranya bisa diwujudkan. AS sudah cukup lama ‘berbaik hati’ menjadi penjaga keamanan kawasan orang lain, dan kini saatnya hengkang dari sana.  

Walaupun tentu saja tidak sesederhana yang dibayangkan, namun kedua cara diatas menurut penulis akan bisa mewujudkan regionalisme kawasan Asia Timur yang stabil, konstruktif, dan egaliter. Juga jangan dilupakan bahwa ikatan kultural di Asia Timur yang begitu kokoh secara historis akan membawa cita-cita regionalisme ini tidak sukar untuk diwujudkan.


Artikel ini ditulis oleh Adrian Aulia Rahman

Adrian Aulia Rahman adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...