Site icon PinterPolitik.com

Memahami Hubungan Bahasa dan Hukum

memahami hubungan bahasa dan hukum

Kata “terima kasih” dalam berbagai bahasa. (Foto: Shutterstock)

Bahasa yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi menjadi dasar dan landasan atas terbentuknya peradaban masyarakat. Tentu, bahasa yang digunakan juga turut saling mempengaruhi terhadap hukum.


PinterPolitik.com

Keberadaan manusia di dunia (masyarakat) ditentukan oleh bahasa yang digunakannya di tengah masyarakat. Manusia adalah makhluk sosial yang hidup berkelompok (masyarakat) sebagai homo homini lupus, di mana bahasa yang digunakan oleh seseorang menjadi ukuran logika (kemampuan berpikir). 

Secara umum, bahasa adalah landasan terbentuknya peradaban masyarakat tersebut, di mana setiap orang yang menjadi anggota masyarakat saling berinteraksi dengan menggunakan bahasa. Bahasa dapat merekatkan (mempersatukan warga masyarakat) tetapi dilain pihak juga dapat mengakibatkan warga masyarakat yang  bersangkutan tercerai berai.

Sejarah kehidupan umat manusia telah menunjukkan betapa banyaknya kerusuhan, pertengkaran, dan, bahkan, peperangan terjadi akibat penggunaan bahasa yang salah atau tidak tepat. Penggunaan bahasa yang salah dapat menimbulkan rasa kebencian di antara warga masyarakat. 

Sebaliknya, penggunaan bahasa yang benar dapat membangun rasa persatuan di kalangan warga masyarakat dan memperlancar proses interaksi sosial sesama warga masyarakat. Singkatnya, setiap orang ditentukan keberadaannya dan posisinya di masyarakatnya berdasarkan kemampuannya dalam berbahasa.

Filsuf asal Tiongkok, Confusius (1551-479 SM), ketika ditanya, “Apa yang pertama kali akan Anda lakukan seandainya menjadi pemimpin negara?” pun menjawab, “Tentu saja meluruskan bahasa.” 

Pasalnya, jika bahasa tidak lurus, maka apa yang dikatakan oleh seseorang bukanlah apa yang dimaksudkannya. Dan, jika yang dikatakan bukan yang dimaksudkan, maka apa yang seharusnya diperbuat justru tidak diperbuat atau dipeebuat tetapi bukan seperti apa yang dimaksudkan. 

Jika perbuatan tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan, maka moral dan akhlak menjadi turun. Jika moral dan akhlak turun, maka keadilan tidak akan terwujud. 

Jika keadilan tidak terwujud, maka yang akan terjadi adalah kesewenang-wenangan. Ini adalah hal yang paling penting dari segala-galanya untuk dihindari bagi kepentingan rakyat.

Bahasa Lisan dan Tulisan

Bahasa yang pada awalnya berbentuk lisan (diucapkan atau oral). Kemudian, bahasa yang digunakna berkembang setelah diketemukannya tulisan oleh Bangsa Sumeria pada 3100 SM di masa Nabi Idris as yang berkembang juga menjadi bahasa tulisan. 

Meskipun bahasa lisan tetap berperan penting dalam interaksi personal – langsung di antara sesama warga masyarakat, bahasa tulisan dari waktu ke waktu semakin besar peranannya di dalam menyampaikan maksud seseorang kepada orang lainnya karena bahasa tulisan bisa menjangkau lebih banyak orang yang dituju dan tidak tergantung pada jaraknya. Tambahan lagi, di era modern saat ini (era digital), bahasa tulisan menjadi semakin besar peranannya.

Jika bahasa lisan dalam penggunaannya dapat dibantu dengan ekspresi nada (intonasi suara) maupun ekspresi anggota tubuh lainnya, maka bahasa tulisan akan sampai kepada pihak yang dituju tanpa ekspresi. Oleh karenanya, menggunakan bahasa tulisan harus lebih hati-hati, karena lebih mudah melahirkan kesalahpahaman bagi pihak yang dituju sehingga maksud yang disampaikan bisa salah dipahami oleh yang membacanya. 

Oleh karenanya, di dalam menggunakan bahasa tulisan diperlukan bantuan ilmu-ilmu bahasa (linguistik), seperti perbendaharaan kata yang cukup, tata bahasa, dan struktur kalimat yang berlaku pada bahasa yang bersangkutan. Ilmu Lingustik ini bisa berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lainnya.

Kesalahan dalam penggunaan bahasa lisan atau oral dapat secara mudah dan cepat diperbaiki sehingga dapat secara cepat dicegah timbulnya dampak yang negatif. Sementara, kesalahan dalam penggunaan bahasa tulisan memerlukan waktu yang relatif lebih lama untuk memperbaikinya sehingga tidak tertutup kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan sudah terjadi dan menyebar secara luas. 

Hal mana terutama terjadi pada kesalahan bahasa tulisan yang digunakan oleh kalangan media massa yang dibaca oleh banyak orang. Banyak sekali contoh kesalahan penggunaan bahasa tulisan oleh media massa yang menimbulkan akibat yang sangat merugikan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.

Guna mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan di dalam menggunakan bahasa tulisan ini, terutama di era digital kini. Banyak negara yang memberlakukan peraturan yang menetapkan sanksi bagi pengguna bahasa tulisan yang melakukan kesalahan.

Hukum dan Bahasa

Norma hukum sebagai pedoman tingkah laku sebahagian terbesar hadir dan bekerja di tengah-tengah masyarakat yang mana diaturnya dalam bentuk rangkaian kata-kata, baik secara tertulis maupun secara lisan. 

Sementara, sebahagian kecilnya, norma hukum hadir dalam bentuk tanda-tanda (semiotika), seperti misalnya rambu-rambu lalu-lintas. Namun, hukum sebagai tanda inipun kemudian harus dijelaskan dan dikomunikasi melalui rangkaian kata-kata.

Rangkaian kata-kata yang bersifat normatif (norma hukum) ini tentunya mengandung informasi yang berisikan pedoman tingkah laku yang diharapkan dipahami dan kemudian diikuti oleh warga masyarakat yang menjadi sasarannya. Agar informasi yang termuat pada suatu norma hukum dipahami oleh warga masyarakat, maka rangkaian kata-kata yang mengandung informasi itu harus sejalan dengan realitas bahasa yang hidup di tengah masyarakat yang bersangkutan. 

Rangkaian kata-kata (yang mengandung muatan normatif) yang berasal dari Bahasa Inggris, misalnya, akan sulit dipahami oleh warga masyarakat yang pada umumnya hidup dengan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi yang utama.

Bertitik tolak dari sini, maka norma hukum yang terwujud melalui rangkaian kata-kata berkaitan erat dengan kaidah-kaidah bahasa yang berlaku di tengah-tengah masyarakatnya sehingga norma hukum yang berlaku di Indonesia – yang mana dirumuskan melalui rangkaian kata-kata Bahasa Indonesia – tidak dapat dipisahkan dari kaidah-kaidah yang berlaku umum pada Bahasa Indonesia.

Ini pula kiranya yang menyebabkan antara hukum dan bahasa senantiasa terjadi hubungan timbal balik yang erat sekali. Perkembangan atau perubahan yang terjadi pada salah satu pihak akan langsung mempengaruhi pihak lainnya, demikian juga sebaliknya.

Perkembangan kehidupan suatu masyarakat salah satunya dapat dilihat dari perkembangan bahasanya karena bahasa akan selalu mengikuti perkembangan yang dialami oleh kehidupan masyarakatnya. Hal ini biasanya akan terlihat dari bertambahnya perbendaharaan kata-kata atau bertambahnya pengertian yang terkandung pada suatu kata atau istilah yang sudah ada sebelumnya. 

Perkembangan yang dialami oleh bahasa ini secara langsung akan mempengaruhi hukum yang hadir di masyarakat dalam bentuk rangkaian kata-kata. Satu kata/istilah yang pada mulanya mengandung pengertian tunggal, kemudian karena perkembangan di bidang bahasa menyebabkan kata tersebut mempunyai beberapa makna/pengertian. 

Bilamana kata yang bersangkutan dipergunakan di dalam perumusan suatu norma hukum, maka informasi normatif (makna) yang diterima oleh warga masyarakat akan beragam pula. Akibatnya, aspek kepastian yang merupakan unsur esensial bagi suatu norma hukum menjadi terganggu sehingga norma hukum tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya di masyarakat. 

Sehubungan dengan hal ini kiranya dapat disimak pendapat Prof. Padmo Wahjono, SH, yang antara lain mengatakan:

“…di sini dapat dikatakan bahwa bahasa yang baik memberikan ‘wibawa’ kepada hukum, sedangkan hukum yang berwibawa akan menumbuhkan kepatuhan pada hukum tersebut.”

Sebaliknya, dari penjelasan di atas, maka perkembangan yang terjadi di bidang hukum juga dapat mempengaruhi bidang bahasa. Bilamana tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat membutuhkan lembaga-lembaga hukum baru – sementara pada perbendaharaan kata (kosa kata) belum memiliki kata yang dapat mewakili makna/pengertian dari lembaga hukum yang baru itu – maka tersedia sedikitnya tiga alternatif, yaitu:

  1. menambah makna baru (yang sejalan dengan makna lembaga hukum baru) pada kata yang ada dalam kosa kata;
  2. meminjam atau mengimpor kata dari kosa kata asing yang sesuai dengan makna lembaga hukum baru; atau
  3. menciptakan kata baru untuk menampung makna lembaga hukum yang baru tersebut, dan kata ini akan menambah kosa kata yang ada.

Setiap alternatif di atas memiliki segi positif dan segi negatifnya masing-masing.

Dari penjelasan singkat di atas, maka dapat diperoleh gambaran tentang keterkaitan erat antara Hukum dan Bahasa terutama sekali terdapat pada aspek “pilihan kata’ atau dalam ilmu linguistik dinamakan sebagai “diksi”.

Sehubungan dengan hal di atas, maka kiranya perlu diperhatikan pesan yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman dalam pidatonya pada pembukaan Simposium ‘Bahasa & Hukum’, di Medan tanggal 25 November 1974 lalu, di mana beliau mengatakan bahwa salah satu masalah utama dibidang ‘Bahasa & Hukum’ adalah masalah peristilahan hukum, terutama dalam hal menggantikan istilah-istilah hukum yang berasal dari kosa kata bahasa asing menjadi istilah-istilah Bahasa Indonesia hukum.

Di Indonesia sejak tahun 2008 telah diberlakukan Undang-Undang (UU) No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, UU ini kemudian banyak sekali dikritik karena dinilai telah membatasi kebebasan warga masyarakat dalam mengemukakan pendapatnya, padahal kebebasan mengemukakan pendapat merupakan salah satu hak asasi yang esensial di sebuah negara yang menganut paham demokrasi.

Berdasarkan informsi yang beredar di media sosial, rencana merevisi UU No. 11/2008 ini sudah masuk ke dalam Prolegnas yang insyaAllah akan segera dibahas oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Semoga revisi UU ITE ini akan tetap membuka lebar hak-hak rakyat untuk menyampaikan pendapatnya secara lisan dan tulisan, serta mendorong berkembangnya Bahasa Indonesia guna memajukan peradaban dan ilmu pengetahuan sehingga setiap niat ataupun rencana untuk menghapuskan mata pelajaran Bahasa Indonesia dari kurikulum pendidikan di Indonesia haruslah ditolak.

24 Maret 2023



Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Exit mobile version